Rasanya itu sekitar hampir
dua minggu yang lewat, saat terjadi keributan lagi di ranah persepakbolaan
Indonesia. Bus yang ditumpangi para pemain Persib menuju stadion GBK
diserang oleh oknum-oknum dari Jakarta hingga rusak berat. Kaca-kaca bus hampir
hancur semua. Atau bahkan ada satu pemain Persib yang berfoto memegang sebuah
batu sebesar tiga kepal lengan dewasa yang masuk ke dalam bus. Hingga akhirnya
bus tersebut memutuskan untuk kembali ke Bandung saja. Tidak melanjutkan ke GBK karena terlalu bahaya.
Sesampainya di Bandung,
bus Persib dijemput oleh ribuan bobotoh (bukan hanya Viking) di pintu tol
Pasteur. Sebagai bentuk “perhatian” yang menunjukkan bahwa mereka tak sendiri,
bahwa Persib itu jauh lebih besar dari sekedar puluhan crew yang berada di
dalam bus itu saja! Para permain Persib disambut. Bandung menyambut. Memang itu
kenyataannya. Meski ada beberapa hal yang disayangkan seperti aksi sweeping terhadap kendaraan plat B (asal Jakarta) yang dilakukan beberapa oknum bobotoh,
tapi tidak parah. Hanya kecil saja. Dan saya pikir itu wajar. Kemarahan sesaat
yang saya pikir masih wajar. Masih sangat wajar.
Beberapa hari berikutnya, seorang kawan berkomentar
di status jejaring sosialnya, bahwa The Jak-mania dan Bobotoh sebaiknya berhenti
tolol-tololan karena ini hanya soal bisnis. Ah, saya jadi ingin berkomentar. Melihat
masalah ini dari kacamata saya sendiri saja. Kacamata yang terbentuk dari ribuan
lembar kesan dan pengalaman di hampir satu dekade saya hidup di sana. Ah,
entahlah. Tapi saya sendiri kurang sepaham dengan istilah “hanya soal bisnis”
ini. Saya pikir, saya menolaknya. Mungkin memang ada sebagian orang dari
manajemen Persib dan warga Bandung yang memang hanya melihat ini sebagai
perkara bisnis. Tapi saya juga yakin, di massa yang jauh lebih besar lagi, Persib
bukan hanya perkara bisnis. Bukan!
Kita selalu tahu, bahwa salah
satu cara untuk menilai suatu budaya yang hidup di suatu tempat adalah dengan menelisik
lebih teliti akan karya-karya para seniman-budayawannya. Bukan melihat dari tingkah
lakunya, tapi melihat dari nilai karya yang mereka lahirkan. Bukan begitu? Kang
Ibing, salah satu seniman terbesar (kalau tidak boleh saya sebut sebagai yang
terbesar) asal kota Bandung, mengungkapkan di lagu “Jung Maju Maung Bandung”,
bahwa pemain Persib itu adalah Jalu Bandung (Laki-laki Bandung). Saya pikir,
ini menggambarkan suatu simbol. Simbol yang terlalu besar untuk diintimidasi
dan berharap tak ada reaksi besar yang dihasilkan. Seperti petikan lagunya “Hey
Persib Bandung, jung padungdung geura tarung, geura tandang diiring pidu’a abah/
hey ulah rek keueung, sing reugreug teuneung
ludeung...” (terjemahan bebas: Hey Persib Bandung, pergilah bertarung, dan akan
diiringi oleh segenap doa dari abah (sebutan orang tua) / hey, jangan takut! Kuatkan hati...). Coba resapi pelan-pelan, bagaimana sebegitu kuatnya mereka
mengakar. Saat mereka dianggap sebagai seorang anak laki-laki yang berangkat dari
rumah diiring doa dari sang ayah, kakek, keluarga. Bagaimana bisa menyebut ini hanya sebatas bisnis?
Atau pernahkah
sekali-kali datang ke Stadion Siliwangi atau ke Si Jalak Harupat, meleburkan
diri bersama para bobotoh (bukan hanya Viking), melihat langsung para pemain Persib bermain bola? Juga melihat pasangan kakek-nenek dengan baju bertuliskan "Pangeran Biru" di antara keramaian dan sorak sorai saat Eka Ramdani mencetak gol
dari luar kotak penalti? Dan rasakan emosinya. Saya pikir ini bukan hanya soal bisnis!
Atau seorang kawan yang
rela bolos kerja satu jam dan akhirnya dipecat dari tempat kerja karena terlalu ingin melihat Persib
menang main bola lawan Persija Jakarta di Si Jalak Harupat? Bagaimana dia tidak
seperti itu, nyatanya dia pernah berkisah, dulu saat masih duduk di bangku SD dan diajak
oleh sang kakek untuk melihat langsung pertandingan Persib vs Petrokimia Putra di Senayan dan sekaligus jadi juara di Liga Indonesia pertama tahun 1994/1995. Sesampai di
Bandung, jalanan Bandung dipenuhi gaungan lagu Kang Ibing di setiap sudut. Para
pemain dan (bahkan) suporter yang menonton langsung di Gelora Senayan disambut
bak pahlawan menang perang. Kawan tersebut bercerita “mungkin kamu tidak tahu
bagaimana perasaan seorang anak kecil dengan genggaman tangan kakek menyaksikan
Bandung, kota kami, sebegitu gembira”. Dan lagi-lagi, saya pikir ini bukan hanya soal bisnis!
Ah, masih terlalu banyak!
Rasanya ini bisa jadi sebuah buku bila saya tuliskan semua apa yang ada di
kepala saya, bahwa saya meyakini ini bukan hanya sesederhana perkara bisnis saja,
setidaknya menurut saya itu bukan. Atau mungkin sebaiknya ditutup dengan ini
saja, di petikan terakhir, seniman terbesarnya berujar:
"Persib, Maung Bandung.
Persib, Jalu Bandung.
Persib, Urang Bandung.
Persib nanjung mawa
ngaran urang Bandung!"
Cikarang, 2 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar