Selasa, 02 Juli 2013

PERSIB : Sebuah cinta atau perkara bisnis?

Rasanya itu sekitar hampir dua minggu yang lewat, saat terjadi keributan lagi di ranah persepakbolaan Indonesia. Bus yang ditumpangi para pemain Persib menuju stadion GBK diserang oleh oknum-oknum dari Jakarta hingga rusak berat. Kaca-kaca bus hampir hancur semua. Atau bahkan ada satu pemain Persib yang berfoto memegang sebuah batu sebesar tiga kepal lengan dewasa yang masuk ke dalam bus. Hingga akhirnya bus tersebut memutuskan untuk kembali ke Bandung saja. Tidak melanjutkan ke GBK karena terlalu bahaya.

Sesampainya di Bandung, bus Persib dijemput oleh ribuan bobotoh (bukan hanya Viking) di pintu tol Pasteur. Sebagai bentuk “perhatian” yang menunjukkan bahwa mereka tak sendiri, bahwa Persib itu jauh lebih besar dari sekedar puluhan crew yang berada di dalam bus itu saja! Para permain Persib disambut. Bandung menyambut. Memang itu kenyataannya. Meski ada beberapa hal yang disayangkan seperti aksi sweeping terhadap kendaraan plat B (asal Jakarta) yang dilakukan beberapa oknum bobotoh, tapi tidak parah. Hanya kecil saja. Dan saya pikir itu wajar. Kemarahan sesaat yang saya pikir masih wajar. Masih sangat wajar.

Beberapa hari berikutnya, seorang kawan berkomentar di status jejaring sosialnya, bahwa The Jak-mania dan Bobotoh sebaiknya berhenti tolol-tololan karena ini hanya soal bisnis. Ah, saya jadi ingin berkomentar. Melihat masalah ini dari kacamata saya sendiri saja. Kacamata yang terbentuk dari ribuan lembar kesan dan pengalaman di hampir satu dekade saya hidup di sana. Ah, entahlah. Tapi saya sendiri kurang sepaham dengan istilah “hanya soal bisnis” ini. Saya pikir, saya menolaknya. Mungkin memang ada sebagian orang dari manajemen Persib dan warga Bandung yang memang hanya melihat ini sebagai perkara bisnis. Tapi saya juga yakin, di massa yang jauh lebih besar lagi, Persib bukan hanya perkara bisnis. Bukan!

Kita selalu tahu, bahwa salah satu cara untuk menilai suatu budaya yang hidup di suatu tempat adalah dengan menelisik lebih teliti akan karya-karya para seniman-budayawannya. Bukan melihat dari tingkah lakunya, tapi melihat dari nilai karya yang mereka lahirkan. Bukan begitu? Kang Ibing, salah satu seniman terbesar (kalau tidak boleh saya sebut sebagai yang terbesar) asal kota Bandung, mengungkapkan di lagu “Jung Maju Maung Bandung”, bahwa pemain Persib itu adalah Jalu Bandung (Laki-laki Bandung). Saya pikir, ini menggambarkan suatu simbol. Simbol yang terlalu besar untuk diintimidasi dan berharap tak ada reaksi besar yang dihasilkan. Seperti petikan lagunya “Hey Persib Bandung, jung padungdung geura tarung, geura tandang diiring pidu’a abah/ hey ulah rek keueung, sing reugreug  teuneung ludeung...” (terjemahan bebas: Hey Persib Bandung, pergilah bertarung, dan akan diiringi oleh segenap doa dari abah (sebutan orang tua) / hey, jangan takut! Kuatkan hati...). Coba resapi pelan-pelan, bagaimana sebegitu kuatnya mereka mengakar. Saat mereka dianggap sebagai seorang anak laki-laki yang berangkat dari rumah diiring doa dari sang ayah, kakek, keluarga. Bagaimana bisa menyebut ini hanya sebatas bisnis?

Atau pernahkah sekali-kali datang ke Stadion Siliwangi atau ke Si Jalak Harupat, meleburkan diri bersama para bobotoh (bukan hanya Viking), melihat langsung para pemain Persib bermain bola? Juga melihat pasangan kakek-nenek dengan baju bertuliskan "Pangeran Biru" di antara keramaian dan sorak sorai saat Eka Ramdani mencetak gol dari luar kotak penalti? Dan rasakan emosinya. Saya pikir ini bukan hanya soal bisnis!

Atau seorang kawan yang rela bolos kerja satu jam dan akhirnya dipecat dari tempat kerja karena terlalu ingin melihat Persib menang main bola lawan Persija Jakarta di Si Jalak Harupat? Bagaimana dia tidak seperti itu, nyatanya dia pernah berkisah, dulu saat masih duduk di bangku SD dan diajak oleh sang kakek untuk melihat langsung pertandingan Persib vs Petrokimia Putra di Senayan dan sekaligus jadi juara di Liga Indonesia pertama tahun 1994/1995. Sesampai di Bandung, jalanan Bandung dipenuhi gaungan lagu Kang Ibing di setiap sudut. Para pemain dan (bahkan) suporter yang menonton langsung di Gelora Senayan disambut bak pahlawan menang perang. Kawan tersebut bercerita “mungkin kamu tidak tahu bagaimana perasaan seorang anak kecil dengan genggaman tangan kakek menyaksikan Bandung, kota kami, sebegitu gembira”. Dan lagi-lagi, saya pikir ini bukan hanya soal bisnis!

Ah, masih terlalu banyak! Rasanya ini bisa jadi sebuah buku bila saya tuliskan semua apa yang ada di kepala saya, bahwa saya meyakini ini bukan hanya sesederhana perkara bisnis saja, setidaknya menurut saya itu bukan. Atau mungkin sebaiknya ditutup dengan ini saja, di petikan terakhir, seniman terbesarnya berujar:

"Persib, Maung Bandung.
Persib, Jalu Bandung.
Persib, Urang Bandung.
Persib nanjung mawa ngaran urang Bandung!"

Cikarang, 2 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar