Kamis, 06 Juni 2019

Langit Jingga - Takbir Bumi Pat Petulai

Tanah Rejang, Bumi Pat Petulai

Lihat, Bang. Bukankah takbir di tanah ini terasa jauh lebih sakral dari yang biasa kita temukan di ibukota, dimana teriakan Allahu Akbar-nya selalu saja diiringi kepalan tinju dan wajah amarah? Karena takbir di tempat ini adalah renungan pelan para tetua kampung di antara doa-doa selepas solatnya yang panjang di atas karpet tipis hijau tua dan hamparan kain putih sepanjang shaf. Karena takbir di sini adalah gelak tawa anak-anak pemukul bedug di halaman masjid kami yang putih di pinggir saluran irigasi besar seusai waktu Isya. Karena takbir di sini adalah doa Ibu-ibu berpenutup kepala selendang tipis dengan kitab suci di pelukan menyusur jalan raya. Dan sebelum jauh merantau dari rumah, setahuku takbir itu memang seperti itu. Mendengar dan mengucapkannya membuat hatimu tenang, tubuhmu tenang.

Di kota besar ternyata takbir tak melulu seperti itu. Takbir biasa dipekikkan setelah memperolok orang lain. Takbir biasa ditunjukkan dengan tinju terkepal dan kemurkaan. Dan nyata saja hal itu membuatku bingung. Guru mengaji dan agamaku dulu – kami biasa memanggilnya Pak Burhan, bukan dengan kata “Ustad” yang akhir-akhir ini rasanya seperti terlalu mudah disematkan ke seseorang – pernah berujar bahwa ketenangan adalah yang akan kau dapatkan saat mengucap nama Tuhan. Tapi sepertinya di kota tidak seperti itu, setidaknya begitu yang kulihat. Entahlah, Bang. Kurasa apa yang kutemukan di sana terlalu bertentangan dengan apa yang sebelumnya kuperoleh di tanah ini.

Pernah aku mendengar sebuah ceramah Jumat di tanah perantauan. Sedikit banyak sang Khatib bercerita bahwa pekik takbir bisa membangkitkan semangat para sahabat nabi di medan perang, atau mengobarkan patriotisme para pejuang saat perang kemerdekaan. Aku mengangguk-angguk. Hal serupa juga berulang kali kudengar dari para Khatib di tanah ini. Sedikit kuhubungkan dengan kepalan takbir dengan muka angker yang umum kutemui di perantauan, mungkin itu salah satu alasan mereka untuk menghabisi hal-hal munkar di kota besar. Ah, aku selalu tercenung lama bila seseorang mulai berbicara serupa itu. Tapi hatiku merasa itu bukan hal yang benar. Yang sayangnya ilmu agamaku tak pernah cukup tinggi untuk bisa berdialog dan menjelaskan pada mereka tentang apa yang kupikirkan. Selain itu, kupikir mendebat urusan Tuhan dengan orang-orang ini adalah kesiasiaan. Mereka tak terlalu peduli dengan kegelisahan yang kualami, karena sepertinya mereka sudah bersimpulan bahwa aku tak tahu apa-apa. Dan mungkin sekali memang mereka benar. Tapi siapa yang tahu?

Satu lagi yang mungkin berbeda, yang mungkin akan kau temui langsung di satu hari nanti. Rombongan motor berpakaian putih dan peci haji di jalan raya ibu kota yang menurutku terkadang lebih beringas dari preman-preman di kampung ini. Bagaimana bisa? Ya, aku pun kadang tak habis pikir. Imam solat Ashar kami dulu sering datang langsung ke masjid dari sawah tempat dia bekerja seharian itu. Dengan parang berkilat tergantung dalam sarungnya di pinggang kiri, yang selalu diletakkannya di pinggir pelataran sebelum masuk ke masjid, tak pernah sekalipun membuat kami takut. Tapi entah kenapa rombongan berkopiah bermotor itu bisa membuatku merasakan ancaman?

Agar kau tahu, Bang, bahwa ayah bukan seorang ahli agama, dan tak punya kapasitas yang baik untuk menyimpulkan apapun tentang agama, apalagi Tuhan.

Curup, Juni 2019