Minggu, 30 Juni 2013

Malam Kawasan Industri

Hampir genap jam 22.00, saat tiba di pool bis Prima*jasa Jababeka sehabis perjalanan 4 jam dari Bandung. Dan selanjutnya saya memilih untuk melanjutkan berjalan kaki saja menuju kos-kosan di arah barat. Perjalanannya mungkin sekitar satu kilometer. Biasanya saya naik ojek dari sini, tapi karena ongkos ojek yang baru-baru ini naik (dari lima ribu menjadi enam ribu rupiah), maka saya pikir berjalan kaki sambil menikmati udara malam bisa jadi asik. Dan ternyata benar. Asik.

Di sepanjang perjalanannya, berpapasan dengan tak kurang dari seribu buruh pabrik wanita dengan seragam yang khas. Saya tahu, mereka adalah karyawan salah satu pabrik terbesar di Cikarang, perusahaan asing yang memproduksi mainan anak-anak berupa boneka barbie. Di sini, pabrik ini lumayan dikenal karena memiliki pekerja yang sangat banyak. Dan sepertinya saat ini ribuan buruh pabrik wanita ini sedang kebagian shift kerja malam. Saya tidak tahu persis jam kerjanya, tapi sepertinya shift mereka akan dimulai sekitar jam 22.30 atau 23.00 dan selesai mungkin besok pagi, mungkin jam 6 pagi.

Berjalan dalam keramaian seperti itu, saya berusaha sebisanya menyempatkan merekam sebanyak mungkin. Tentang ekspresi wajah, kisaran usia, model tas yang dipakai, kecepatan langkah, obrolan, model rambut, wangi parfum, dan yang lain. Beragam sekali. Mereka muda, cantik dan wangi. Berjalan dalam kecepatan langkah yang tinggi, tak ada obrolan, dengan tas selempang beraneka ragam. Sisanya berbeda, paling hanya beberapa. Lalu mencoba merasakan apa yang sedang mereka pikirkan itu jadi tidak terlalu susah, karena banyak, dengan tatapan mata yang seolah memiliki template khas, se-khas seragam kemeja coklat muda dan sedikit garis merah yang mereka kenakan.

Melewati gerbang pabrik yang sangat besar, saya berhenti sejenak. Mengamati daerah benderang ini berikut sivitasnya yang ramai, berikut tiga satpam berbadan kekar berjaga-jaga di sisi pagar. Di sebelah luar, di atas trotoar besar, enam pedagang kecil berjajar di kanan-kiri amparkan aneka roti, permen, kerupuk aneka bentuk, kacang tanah goreng. Beberapa buruh wanita memilah-milih sambil berjongkok menghalangi jalan, mungkin untuk belanja sedikit, sebagai kawan saat nanti diserang kantuk di tengah shift, semoganya begitu. Lalu setelah itu, segera masuk. Jauh di dalam, terlihat barisan mobil-motor berjejer rapi-rapi. Saya berpikir, ah, sepertinya tak ada istilah tidur di sini. :)

Saya selanjutnya mungkin bertanya kemana wanita-wanita ini berjalan semalam ini? Dan kenapa pergi saat malam sudah selarut ini? Juga banyak pertanyaan yang lain lagi. Bila nyatanya jawabannya adalah uang, saya ingin bertanya pada laki-laki mereka tentang pertanyaan serupa. Bapak, suami, anak, saudara. Saya hanya ingin tahu mereka akan menjawab apa. Benar-benar saya ingin tahu. Atau bila jawabannya mirip seperti para wanita karir perkotaan di kantor-kantor mewah, seperti karena suka saja, atau hobi, atau semacamnya, mungkin saya setidaknya bisa memberi pandangan, bahwa mungkin ada baiknya untuk mencoba hobi yang lain saja. :)

Atau mungkin tak sesederhana itu juga. Tapi kadang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana kadang bisa membuat kita tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tentang apa yang nyata, apa yang mimpi. Juga tentang ribuan pertanyaan yang membuat saya tetap terjaga hingga selarut ini.
Cikarang, 30 Juni 2013 

Rabu, 26 Juni 2013

Pelukan Sore

Ini sebuah edisi yang berbeda. Sesuatu yang saya tulis dengan perasaan dan ingatan yang lebih kental dan mendalam dari yang lain. Sebuah kesan yang saya alamatkan untuk dia saja, tak perlu melibatkan yang lain. Tentang bagaimana cara saya mengingat satu sosok termegah, yang terbalut dalam sudut-sudut yang tidak biasa, tapi sangat nyata. Tak peduli itu dulu, saat saya baru mulai belajar mengingat, tak peduli itu saat ini, benar-benar sama saja. Tentang potongan-potongan ingat yang kadang penuh, tapi banyaknya partial saja. Ah, tidak masalah.

Namanya Kartiniwati Binti Abbas. Ditulis lahir di sebuah kota kabupaten bernama Curup, di 23 Juli, tahun 1959, meski bukti photograph koleksi keluarga meyakini dia lahir di kisaran tahun tahun 1961. Menurut kabar dan cerita dari orang-orang yang pernah mengenalnya, dia menjelma menjadi seorang gadis (saya lebih senang mengingatnya sebagai seorang gadis) yang cantik, luwes dan dikenal ramah, juga mudah tersenyum. Saya masih ingat, dulu dia juga pernah beberapa kali bercerita bahwa dia selalu punya banyak kawan, dari pejabat-pejabat daerah hingga tukang-tukang becak di daerah itu. Sosok yang menyenangkan. Kata orang-orang seperti itu. Dan saya merasa beruntung untuk bisa mengenalnya secara langsung. Dapatkan cerita sendiri untuk menggambarkan siapa dia, lewat kumpulan kesan-kesan yang sederhana dan selalu diingat.

Bertemu dengannya adalah hal termewah yang pernah saya rasakan. Untuk berdialog bukan hanya tentang bagaimana cara mengungkapkan hal-hal yang tak terbatas pada kata-kata, tingkah laku, sorot mata, juga doa. Tapi juga sesuatu yang tetap bisa terasa, meski jauh, meski tak bertemu. Belajar tentang bagaimana mengungkapkan rasa cinta kepada orang tersayang, tentang bagaimana menerjemahkan kasih di senyapnya penggalan cerita, tentang bagaimana meninggalkan kesan-kesan yang akan tetap hidup sampai nanti-nanti. Lalu jelmakan dia dalam barisan memori yang terlalu kuat mengakar, mustahil terlupa. Ah, banyak. Rasanya itu terlalu banyak. Karena bercerita tentang dia artinya membuka kembali cerita hidup dari mula. Seperti membuka lembaran yang tak habis-habis. Tapi ceritanya asyik, bikin tak jemu untuk terus dibuka, kapanpun mau.

Adalah dipeluknya dalam segenap dekap di penghujung suatu sore yang menggema, lalu diciumnya di ubun-ubun yang basah oleh keringat sisa perjalanan hari itu. Juga tentang sorot mata yang selalu terlalu sakral untuk diangkat jadi sebuah cerita, seperti tulisan ini, tapi saya pikir bukan masalah. Semuanya tentang segala sesuatu yang hanya bisa dibaca dengan rasa. Ya, benar begitu. Seperti sebuah peluk yang menyentuh wajah dan semua yang terbaca adalah ketenangan. Saat lembut belainya menyentuh kedua bahu dengan segenap tulus, dan hela nafasnya yang sampai di sini, bikin terpana, di lengkung senyum yang selalu mengikuti kemana saya pergi. Ah benar ternyata, banyak sekali.

Hingga akhirnya, saat angin di pagi itu datang hampirinya, mengajaknya berjalan bersama dulu tinggalkan yang lain. Dan ya, dia pergi. Ah, nyatanya saya tak perlu sedih. Biarkan dia pergi, yakinnya nanti juga bertemu lagi. Meski nanti berjumpa dalam bentuk bahasa yang berbeda dari sebelumnya, toh dia tetap ada. Untuk sesekali dia datang lagi di temaram senja dan hujan yang datang pelan-pelan. Untuk rasakan lagi genggam tangannya di pergelangan mengajak bersama, meski sebentar, lalu pergi lagi bersama alunan adzan magrib dari masjid-masjid sekitar. Dan senangnya saya sudah merasa cukup. :)
Salam, Bu. :)
Cikarang, 26 Juni 2013

Senin, 24 Juni 2013

Di Pojok Sore (2)

Di penghujung sore ini, di tempat biasa, melihat lagi semua yang biasa. Ditemani matahari sore yang bersinar dengan senang dan gemilang. Mandi cahaya. Untuk kemudian duduk sendiri di bawah rimbunan mahoni berteman kopi hitam itu dan giliran orang-orang yang lewat kesana-kemari. Hoah, meleburkan sore dalam pikiran yang terus berjalan dan angin-angin yang sesekali datang. Segar sekali.

Rasanya saya sudah terlalu biasa sendiri. Hingga sore ini, saat datang sendiri pun tak merasa sedang sendiri. Ah, rasanya begitu saja. Karena sebenarnya saya selalu merasa mudah mencari kawan bicara. Seperti saat ini, beberapa preman kawasan yang biasa berbagi lapak di warung kecil ini pun datang dengan ramah mengajak habiskan sore bersama. Kami berniaga obrolan, apa saja. Satu-satu, hingga azan magrib yang datang seolah mengajak pulang. Dan merasa cukuplah untuk hari ini.

Awalnya saya tak terlalu mengerti mengapa saya suka sekali mendengarkan cerita. Cerita apa saja, dari siapa saja. Hingga akhirnya saya sadar bahwa semua itu seolah bisa membantu saya mencapai orgasma dalam menjalani cerita sehari-hari. Kadang hanya sepintas saja, tapi banyaknya saya dengarkan dengan segenap sungguh. Untuk sekedar melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang yang berbeda. Tak selalu cerita yang bagus dan menarik memang, toh sari pati suatu cerita itu tidak melulu berarti seru. Kadang hanya dua penggal kalimat yang tak sengaja terdengar dari obrolan telpon, kadang cerita panjang-lebar yang berputar-putar, kadang cerita renungan yang menderu hingga habis isya, dan banyak.

Mungkin banyak yang berpikir, untuk apa mendengarkan hal-hal seperti itu, karena kita sendiri pun sudah terlalu banyak cerita pribadi yang lebih pantas untuk dipikirkan. Tapi saya pikir bukan begitu. Untuk saya, melihat dan mendengarkan itu seperti santapan rohani. Untuk dapat melihat sudut cerita yang tak berbatas pada kata ganti saya, kamu, dia, kami, mereka. Hingga akhirnya hanya terbatas pada satu kata ganti saja, ya, itu saya. Saya saja.
Cikarang, 24 Juni 2013

Sabtu, 22 Juni 2013

Komentar untuk Rhenald Kasali

“Mental kita mengatakan kita tidak ingin dikuasai asing karena perusahaan asing sudah terlalu banyak. Asing dikesankan menguasai karena asing mengambil terlalu banyak dalam bentuk cost recovery dan sebagainya. Tetapi, sekali lagi, yang punya modal dan teknologi ya siapa lagi kalau bukan asing? Bukan melatih diri agar lebih cerdik, melainkan kita selalu hanya ribut. 
- Rhenald Kasali dalam tulisan 'Sebuah Awal dari Kesulitan Besar’.

Kamu bicara terlalu besar, Prof! Bicara panjang-lebar tentang energi alternatif terbarukan dan hal-hal hebat lainnya. Kau bicara saja semaumu, sambil duduk santai di kursi malas di teras rumah yang serba ada. Salah satu wakil cendekia di negeri ini yang berargumen ilmiah nan hebat tentang harga BBM yang melambung lagi per 22 Juni 2013.

Akan seperti ini, seperti juga di acara-acara perdebatan di televisi, saat orang-orang kecil mulai mendebat dan menusuk dengan kata-kata “harga itu terlalu berat untuk kami” berikut pernyataan-pernyataan berikutnya, lantas akhirnya para cendekia akan menjawab “ya kalau kalian tidak setuju, memang kalian punya alternatif pemecahan lain dari masalah ini?” Ah, saya mulai malas berkomentar lebih lanjut kalau sudah seperti ini. Bila sedang mau, tentunya rakyat miskin akan menjawab: ya kalian lah yang memikirkan tentang itu, kalian para cendekia tanah ini, kalian para pejabat yang kami pilih dan kami gaji, kenapa menyerang balik pertanyaan kami dengan bahasa yang menyindir???

Mungkin dia berpikir ini untuk kebaikan semua dalam jangka panjang, berbicara tentang kelangsungan industri, ketenagakerjaan, ketahanan pangan, dan yang lain. Tapi nyatanya, coba lihat di pasar-pasar yang hidup di dini hari, para pedagang panggul di sudut-sudut kampung, nelayan kecil di pesisir pantai tak ternama, dan masih banyak lagi. Siapa yang mau ribut? Tak ada yang mau ribut! Tapi kalau harga terlalu tinggi, itu terlalu berat. Itupun kalo Prof Rhenald Kasali mengerti apa arti “terlalu berat”.

Kalau memang BBM naik adalah opsi yang terbaik, saya yakin semua orang bisa terima dan tetap mencoba bertahan hidup seperti biasa.
Saya hanya tidak suka cara orang ini berpendapat di depan publik.
Cikarang, 22 Juni 2013

Kamis, 20 Juni 2013

Berkawan

Rasanya tak terlalu berlebihan bila saya berkata: saya punya banyak kawan, dan selalu punya banyak kawan. Dan saya selalu senang untuk mengungkapkan itu ke siapapun, karena saya pikir memang begitu. Tak ada yang perlu dibuat-buat, dilebih-lebihkan. Seperti itu. Saya masih ingat, di November 2012 dulu, saya pernah menulis satu status di jejaring sosial: “Satu kawan bertanya malam ini, "kawan itu apa?". Menjawab: mari jalan sejenak lewati keramaian orang berlalu-lalang, juga di jalanan sepi itu. Dan tersenyum. Saya pikir begitu saja. :)”. Beberapa kawan berkomentar bahwa tak terlalu paham maksudnya apa, lalu arti kawan itu apa? Dan entah kenapa, saat itu saya lebih memilih untuk tidak menjawab apapun, saya pikir ya biarkan saja.

Kita bisa saja setiap hari berkumpul di satu tempat tertentu. Menghabiskan waktu untuk saling berdialog tentang semua hal, saling melihat, atau saling diam saja hingga kita merasa cukup untuk hari itu, dan lalu pulang. Kadang kita berpikir bahwa merekalah yang disebut kawan. Padahal tidak! Saya yakin sekali. Bukan seperti itu!

Saya pikir, awal suatu perkawanan dimulai dari sendiri. Dengan semampunya memposisikan diri sebagai kawan terhadap orang lain. Bersikap yang layak. Benar-benar tak mesti selalu menjadi orang yang menyenangkan bagi orang lain. Juga bukan berarti menjadi orang yang selalu seenaknya saja. Kadang perlu berbagi tawa ceria, kadang saling bersilang-paham, kadang saling merasa kesal, ah itu biasa, jangan terlalu dibawa-bawa. Untuk kemudian membawa kita ke pemahaman bahwa kita saling berbeda, dan di situlah, saya pikir, proses berkawan mulai berlangsung.

Nyatanya kita memang tak bisa selamanya terus berkumpul, sama-sama. Kadang perjalanan seorang kawan mesti berlanjut ke cerita yang lain, termasuk kita. Kadang karena kesibukan lain yang bertambah drastis, kadang pergi atau pulang ke kota lain, kadang bertemu tempat berkumpul lain yang dipikir lebih asyik, atau kadang cuma sudah malas saja. Saya pikir itu semua bukan masalah. Toh berkawan bukan untuk selalu bertemu setiap saat juga. Karena setiap orang memiliki pemikirannya yang masing-masing, langkahnya yang masing-masing dan keputusannya yang masing-masing. Memang nyatanya setiap kita berbeda. Tak perlu memaksa. Selama tetap bisa bersikap selayaknya kawan, meski kini saling jauh, saling berjarak waktu, bukan masalah.

Tapi itu menjadi berat (saya tak menyebut ini salah) bila nyatanya nanti kita mulai saling terlupa. Lupa bila pernah bersama. Karena sekarang sudah kadung asyik dengan yang lain, jadi benar lupa pada jalan menuju tempat yang dulu biasa kita gunakan untuk sekedar habiskan obrolan. Maka berkunjunglah kembali ke sini, sekali-kali. Tak perlu saat memang sedang butuh, tak perlu saat sedang merasa bosan dengan yang biasa, tak perlu saat sedang ada waktu luang saja. Karena berkawan bukan hanya perihal niaga manfaat dan merasa nyaman. Saya pikir jauh lebih dari itu.

Ya, saya pikir berkawan itu adalah tentang saling mengingat. Dan selalu saja butuh waktu untuk menyebut kita selalu saling mengingat. Sedang berkunjung dan tukar dialog adalah beberapa cara terbaik untuk bisa selalu saling mengingat. Untuk memelihara memori, memelihara ingat bahwa kita tak sendiri, terus dan lagi. :)

Cikarang, 20 Juni 2013

Senin, 17 Juni 2013

Adalah Kita

Kapan terahir bertemu orang yang menganggap dirinya tak memerlukan orang lain untuk diajak bicara? Mungkin sama saja saat kita bertanya mengapa orang ini terlalu suka berbicara? Lalu bertanya lagi tentang kekurangan yang lain saat menemui seseorang yang tak cukup pendiam, juga tak cukup aktif bertanya semua hal, ini-itu. Lebih jauh, juga tak suka sendiri, ingin ditemani. Sesekali memang berkata senang sendiri, nyatanya saat sepi, pusing sendiri. Menjadi penanya dan pengeluh-kesah adalah kita.

Dengarkan denting senar gitar akustik yang mengalir renyah di sela-sela hingar-bingar sepi. Senandungkan kepak-kepak sayap serangga malam yang hilir-mudik, masuk keluar kamar. Terbang bersama angin-angin dan sinar bulan yang tertutup awan. Menilai bagus dan tertawa suka-suka pada apa yang kita suka, juga berekspresi sekenanya saat merasa jemu. Berlarian di tepian pantai saat muda, berlari-larian tak lelah pula saat terserang malas. Membentak lurus pada pengganggu dan membelai lembut pada kekasih, karena menjadi perasa dan berekspresi adalah kita.

Menjalani wisata rohani dan tunduk hikmat di suasana keagamaan yang sendu dan penuh pikat. Melihat bintang jatuh untuk kemudian bertanya ada apa di luar sana, kemana dia bergerak, apakah kesini? Saat pikiran bekerja coba masuki ruang metafisik dan roh-roh di dalamnya, lalu berkata seolah yang lain tak pernah tahu. Kadang menyembunyikan rasa berdosa di dalam lemari kayu di rumah yang lama, juga senang saat menyadari yang lain tahu bila tengah berbuat kebajikan. Berketuhanan yang meragam-ragam adalah kita.

Menembaki semesta dengan buah pikir adalah kita. 
Menerjemahkan rasa takut dalam baris doa-doa adalah kita.
Cikarang, 17 Juni 2013

Sabtu, 15 Juni 2013

Kotak-Kotak Pertanyaan

Saya mendengar di awal malam. Rasanya saya jadi terlalu gelisah untuk tidak mengangkat sari ceritanya ke dalam sini, sekarang juga. Tentang kegelisahan terhadap rangkaian peristiwa yang terlalu sering terjadi di sekitar kita. Yang sayangnya kadang kita masih terlalu sibuk untuk memikirkan hal-hal yang kadang dianggap terlalu sepele padahal nyata dan menampar-nampar dalam beringas. Rasanya sudah ratusan kali saya mendengar kisah-kisah nyata serupa. Lalu apa kini? Saya coba tuangkan di sini:

Pernahkah mendengar seksama satu obrolan sederhana di satu warung kopi persinggahan? Berkisah seorang bapak dengan gerobak dorong buah-buahannya terparkir di depan warung akan keluh-kesahnya terhadap PLN. Tentang permintaannya 6 bulan yang lalu untuk mengalirkan listrik ke rumah gubuknya di ujung kampung. Yang sayangnya, susahnya seolah sampai ke langit! Sedang seorang pengembang perumahan elit di kaki satu bukit itu meminta hal serupa untuk ratusan rumah yang baru rampung dibangunnya. Itu tinggal minta di pagi hari, dan abacadabra sorenya terang benderang sudah, malamnya serupa siang.

Pernah mendengar seorang tetangga di kampung yang tertangkap mencuri 3 ekor ayam jago, diteriaki maling sampai ke langit, lalu hancur digebug massa hingga babak belur, biru padam. Mukanya lebam sebesar tinju. Setelah polisi datang dan diamankan, diinterogasi dengan gagang pistol membentur kening hingga berdarah mengucur di baju depan. Lalu kita mendengar hingga bosan di semua media massa tentang mafia pajak Gayus Tambunan. Maling triluan rupiah diketahui seluruh bangsa dari kampung hingga Istana Negara, lenggang-kangkung nonton kejuaraan tenis dunia dengan topi dan rambut samaran yang menjijikkan.

Pernah mendengar seorang pasien miskin di rumah sakit mengantri di UGD 3 hari. TIGA HARI. Setelah dokter datang melihat pakaian lusuh dan mencium bau badan pasien yang menyengat, dokter membuang muka. Masih berlama dengan hal remeh. Apa masih perlu satu hari yang lain untuk menunggu? Atau bila pasien akhirnya kadung meninggal dunia di teras UGD untuk menjawab “kematian itu sudah urusan takdir?”. Ahhhh. Beda halnya saat seorang ibu muda berdandan high class turun dari mobil merah mewahnya diantar supirnya yang sigap dengan pakaian rapi. Rumah sakit bertindak cepat, bergerak lebih cepat dari malaikat!

Pernah mendengar seorang nenek penjaja gorengan keliling kecurian uang Rp 350.000 di 
gubuk kecil miliknya. Melapor ke polisi pagi itu, dan entah akhirnya polisi meneruskan laporan itu atau tidak, saya tak pernah tahu pasti. Yang saya tahu jelas, hari itu tidak. Mau menunggu apa lagi, Pak polisi??? You lose your fu*king mind? Beda cerita bila seorang istri pejabat daerah kehilangan anting dan mencurigai pembantunya yang mencuri, 30 menit kemudian 2 orang polisi sudah tiba di depan rumah untuk menyelidiki.

***
Ini kisah-kisah nyata! Dan masih terlalu banyak cerita serupa di keseharian kita, tetap terus berlangsung di setiap detik saat kawan-kawan membaca tulisan sederhana ini. Yang anehnya, apakah hanya saya sendiri yang pernah merasakan kegelisahan serupa tentang hal-hal yang memuakkan ini? Atau semua orang juga memikirkannya, tapi kadung merasa tak bisa apa-apa juga. Atau berpikir terlalu sekali lewat saja dan kemudian merasa cukup? Apakah tak merasa ada yang salah?

Beberapa isi cerita dikombinasi dengan lagu Dinding Kiripit milik Doel Sumbang
Cikarang, 15 Juni 2013

Jumat, 14 Juni 2013

B E L A J A R

Saya teringat dulu, saat saya akhirnya memutuskan untuk tidak lebih jauh tenggelam dalam masalah politik kenegaraan yang biasa kami diskusikan panjang-lebar di forum-forum kemahasiswaan di seantero Bandung Raya, atau hal-hal berbau perdebatan kusir yang giat didengungkan oleh radio-tv-internet-koran-majalah-buletin tanpa henti kala itu. Alasannya banyak dan sedikit rumit. Tapi singkatnya, sepertinya bisa saya rangkum dalam satu cerita sederhana: “Saat sekelompok mahasiswa berdemonstrasi di satu jalan kota untuk memprotes kenaikan BBM yang mereka pikir akan membebani rakyat kecil, dan sebagai konsekuensinya kerumitan lain terjadi di lokasi yang sama saat itu: seorang ibu hamil di dalam sebuah mikrolet jadi terhalang untuk bisa pergi periksa ke suatu rumah sakit, juga pedagang rokok ketengan dan air mineral yang panen raya mendadak karena pendemo yang jadi ramai berbelanja, atau seorang tukang becak yang mengeluh karena tak ada penumpang yang bisa diangkut karena mahasiswa yang penuh di jalanan". Untuk kemudian ada yang bertanya, "siapa yang salah? Mahasiswa atau tukang becak?" Atau bisa saya sedikit perumit pertanyaannya dengan: "ini tukang becak yang belum kesampaian ilmunya mahasiswa, atau sebaliknya?”. Dan setelah melalui satu proses berpikir, akhirnya saya bersimpulan: “Ya, biarkan saja seperti itu. Biarkan saja seperti itu!”. Satu hal yang saya tahu pasti, bahwa ini benar bukan bentuk sikap apatis, ketidakpedulian. Hingga kini, saya lebih memilih untuk memikirkan hal-hal yang lebih “ringan” saja. Sebagian menganggap saya menyerah? Saya terima. :) 
Di cerita yang lain, seorang kawan beropini: “sepertinya  menjadi mahasiswa jurusan seni lebih enak, mereka bisa berekspresi bebas tanpa harus meniru pemahaman yang dianggap benar oleh sang guru”. Hmmm, saya bukan mahasiswa jurusan seni. Selama ini saya lebih banyak belajar science. Tapi saya pikir sama saja. Saya pikir begitu. :)

Kita tahu, bahwa kita exist bukan untuk menentukan siapa yang salah, tapi untuk mencapai satu tujuan. Bila tujuan itu adalah sebuah titik di satu tempat di dalam sebuah lingkaran, maka kita akan membuat sebuah gerakan yang berbeda dan sangat masing-masing untuk mencapai titik tersebut. Sedang di dalam lingkaran tersebut, setiap kita berada di lokasi yang berbeda-beda, yang kita sendiri pun tak tahu dimana persisnya lokasi kita terhadap titik tuju. Nyatanya saya pikir perjalanan kita ini tidak sesempit kata benar dan salah, bukan? Itu terlalu relatif. Bagaimana mungkin kita bisa menilai orang lain menuju arah yang benar atau tidak, bila nyatanya kita sendiri tidak pernah tahu persis dimana posisi kita terhadap tujuan?

Dan ya, saya disini hanya berbicara tentang apa makna belajar yang ada di kepala saya saja. Tentang berusaha melihat suatu kejadian dengan keterbukaan pikiran yang serba lapang dan toleransi yang bikin asyik. Yang tidak melulu menyempitkan masalahnya dengan menentukan siapa yang lebih baik dari yang lain, siapa yang lebih mengerti dari yang lain, siapa yang lebih mulia dari yang lain. Karena akhirnya, saya pikir semuanya tetap sama saja, tak ada yang berbeda, yang itu-itu juga. Karena belajar pun bukan hanya sebuah simpulan salah-benar, tapi proses. Sebut itu proses melihat lebih teliti tentang apa yang tengah terjadi, untuk selanjutnya dipahami, lalu dicerminkan dalam kemampuan bersikap yang layak terhadap yang lain. Ya, saya pikir disini kita hanya sama belajar, benar-benar tanpa perlu selalu saling menilai untuk menyalahkan bila berbeda. :)

Cikarang, 15 Juni 2013

Rabu, 12 Juni 2013

Edisi Ulang Bulan

Genap sebulan sudah blog ini aktif, dengan total penayangan sejauh ini 1.004. Saya berterima kasih kepada semua kawan yang sudah menginspirasi setiap ceritanya, mengomentari sedikit, atau juga membaca sekali lewat. Dan maaf bila ada isi cerita yang kurang asik, tidak seru, bukan masalah.

***
Begini, setiap kali saya menulis di blog ini, seperti juga saat ini, saya selalu berpikir “kemana tulisan kawan-kawan yang selalu saya ingat sebagai orang-orang yang cakap menulis itu?” (saya tidak akan menuliskan nama mereka satu-persatu di sini, akan terlalu penuh). Saya pikir mungkin sebagian dari mereka hanya kurang terlalu suka menuangkan tulisan-tulisannya lewat media blog atau media publik yang lain. Juga mungkin mereka sudah punya, tapi saya saja yang belum tahu. Atau mungkin hanya berhenti saja menulis karena minim waktu luang atau kesibukan yang lain. Kenapa bisa begitu? :)

Untuk saya, saya hanya ingin menulis, untuk sesekali menceritakan hal-hal yang ada di kepala saya dengan satu arah. Untuk kemudian bisa diapresiasi oleh orang lain dalam bentuk yang bebas. Pujian, biasa saja, kritikan, hinaan, saya pikir sama saja. Itu membuka pikiran menjadi lebih luas dari batas biasa. Apalagi untuk dianggap hebat atau hal wah yang lain, hahaa, jauh sekali dari itu. Saya hanya ingin menulis, tak harus bagus, tak mesti taat pada pakem-pakem penulisan yang rumit. Karena juga tak ada pakem-pakem rumit dalam berpikir.

Menulis itu tentang membiarkan orang lain menyelam sebebas-bebasnya di kepala kita. Untuk coba melahirkan kesalingmengertian dan toleransi, hingga lebih asik dalam mengenal. Bila berhasil, kita bisa senang. Dan kalaupun tidak, bukan juga jadi alasan untuk hilang senang, toh nanti bisa kita coba lagi. :)
Cikarang, 13 Juni 2013

Senin, 10 Juni 2013

Bandung

Kemarin malam seorang kawan bertanya, “kenapa kebanyakan orang yang pernah tinggal di Bandung akhirnya akan memiliki keinginan untuk hidup di sana? Saat mereka jauh, mereka seakan tak habis-habisnya membicarakan itu, ingin kembali lagi”. Seperti de javu, beberapa menit yang lewat membaca twit dari salah satu follower akun Pidibaiq yang juga bertanya hal hampir serupa, untuk kemudian di jawab dengan jawaban yang sangat sering diucapkannya, “bagiku Bandung bukan hanya masalah geografis, tapi juga melibatkan perasaan”. Saya benar senang. :)

Itu pagi di bulan Juni 2003, saat saya pertama kali pergi dari kampung, menuju satu kota yang terkenal sebagai salah satu tujuan sekolah favorit orang-orang di daerah kami. Saya tidak terlalu ingat apa alasan utama saya memutuskan untuk bersekolah di Bandung, tapi yang jelas kakak sepupu saya sudah lebih dulu menimba ilmu di kota itu. Atau karena saya hanya mengikuti trend saja waktu itu, untuk kemudian bisa dengan gagah menjawab pertanyaan orang-orang di kampung kami, bahwa saya melanjutkan sekolah ke kota Bandung, :) saya tidak terlalu ingat persisnya. Pergi ke terminal bus Simpang Nangko, terminal bus antar-kota yang luas tapi sepi itu, diantar menggunakan sepeda motor Suzuk*i Crystal oleh Ayah, dibekali uang Rp 350.000 di dompet, saya merantau. Ditutup dengan selayang mata memandang menuju sosok Ayah yang mengecil dan mengabur dibawa deru bus Putra Raf*lesia yang berjalan menjauh. Hingga akhirnya perjalanan lebih dari 30 jam itu berhenti di satu jalan besar dua-arah, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, di tengah gerimis pelan yang samar-samar.

Saya masih ingat betul satu langkah di depan pintu bus, sebelum turun. Dalam gumam, saya bicara sendiri, “Oh ini yang namanya Bandung?”, sembari melihat pukau pada gemuruh mobil yang melintas deras dan riuh orang-orang yang menyambut kenalannya datang dari jauh. Waktu berjalan lambat, saya sempat berdiskusi panjang dengan pikiran sendiri, tentang Bandung dalam cerita, dan tentang Bandung yang ini. :) Saya akhirnya tersadar dari lamunan, saat angin dari luar bus membentur. Dan entah bagaimana, saat itu saya seolah merasa bahwa saya akan tinggal di kota ini untuk waktu yang lama. Entah apa definisi “lama” saya waktu itu. Tapi benar itu lah yang saya rasakan, juga di tengah gerimis pelan yang samar-samar.

Satu tahun pertama, satu tahun kedua, satu tahun berikutnya, dan lagi. Bertemu dengan Bandung yang ini, dengan segenap roman yang terjilid dalam jutaan bab, saya mendatangi Bandung. Hingga saya berpikir bahwa saya seperti “jatuh cinta” dengan tanah ini, yang juga lengkap dengan rasa hormat. Saya tidak berbicara hanya dalam konteks keterbukaan kota ini terhadap para pendatangnya saja, juga bukan hanya tentang keramahan kotanya, atau cantik-menarik gadisnya yang tersohor hingga kemana-mana, juga serakan langkah dan pemikiran yang terbaur di setiap inci jalan-jalannya saja, kegembiraan-sedih hati-semuanya. Itu seperti sebuah harmoni yang menenangkan, digaungkan di barisan gunung-gunung penuh pesona di penjuru angin, dan saya mendengarkan, Seolah berganti kota ini yang mendatangi saya kini. Benar. Ajaib!

Tapi itu benar bukan obsesi. Nyatanya Ayah pernah berucap bahwa dalam hidup, kita hanya perlu menemukan suatu tempat yang menenangkan, untuk bisa merasa hidup dan menjalaninya. Saya berpikir dan merasa bahwa saya sepertinya menemukan “tempat yang menenangkan” itu. Mungkin itu adalah kota itu. Tapi dengan senang, saya tetap yakin bahwa keinginan untuk hidup di kota itu jauh dari kata (sekali lagi) obsesi. Bila kenyataan memang berkata sebaliknya, saya tidak terlalu berkeberatan juga untuk sesekali saja datang ke situ, bukan untuk pulang ke situ. :) Rasanya tak heran mendengar Pidibaiq selalu menjawab “bagiku Bandung bukan hanya masalah geografis, tapi juga melibatkan perasaan”. Saya pikir begitu. :)

Tak pernah berniat mencontek jawaban Kang Pidibaiq. :)
Cikarang, 10 Juni 2013

Sabtu, 08 Juni 2013

Cerita Hari Ini

Ini, cerita yang ditulis oleh seorang kawan, Tentang rentetan peristiwa hari itu dan bergiat mencari hikmah-hikmah di sekitarnya. Silahkan membaca. ;)

***

Malam minggu 01 Juni 2013, seperti biasa selepas maghrib ada jadwal sharing ilmu kehidupan dan belajar berbahasa inggris. Ada yang tidak biasa pada siang dan menjelang sore harinya, setelah paginya dihabiskan dengan berolahraga joging dan bermain futsal, dilanjutkan dengan job dari istri untuk cuci karpet rumah dan selepas itu ada amanah yang harus saya sampaikan segera, yaitu amanah uang sedekah dari teman untuk pembangunan asrama putri di pesantren. Setelah bersihkan badan segera pergi ke ATM dan belanja 32 zak semen sesuai permintaan sang Donatur. Di sela-sela transaksi saya berbicang dulu dengan pemilik toko dengan harapan bisa dapat discount atau dapat harga yang bagus. Alhmd....dapat discount juga Rp. 16.000,-. Dari material bergegas langsung ke area pesantren....di sana ternyata sudah ramai anak-anak dan pengasuh pesantern menyambut......tatapan optimis dan kebahagian mereka terpancar jelas. Sang Ustad langsung memanggil anak-anak santri untuk berkumpul di salah satu sudut area tersebut...." Anak-anak.... Ini pak Asep membawa sebagian kecil impian kalian..mari berdo`a bersama untuk kebaikan dan amal sedekah dari temannya pak Asep ini"....Dalam hati saya berbicara....Indah dan ni`mat sekali susana sore itu.

Setelah sampai di rumah, istriku tercinta berkata..." pak....malam ini mengajar ya..?" Saya tidak langsung menjawab, karena aktivitas ini sudah berjalan cukup lama dan dia tahu itu. Tetapi akhirnya saya jawab juga.."Ya, bu"....pertanyaan dari istriku itu menyembunyikan sesuatu, saya tahu itu. "Memangnya kenapa bu?" saya bertanya lagi...dan ternyata malam itu dia ingin saya libur  mengajar dulu dan menghabiskan malam bersama keluarga (Istri sdg berbadan dua-Red). Sempat "STOP" terdiam beberapa detik dan berfikir langkah apa yang saya harus ambil. Saat itu pk. 16.00 "Ok bu, gimana kalau sekarang kita siap2 untuk jalan dan berbelanja kebutuhan keluarga untuk sebulan dan pulang sebelum waktu Isya (19.00)". Istriku pun setuju dan kita jalan-jalan sore itu sampai malam, dia dan anak-anak terlihat bahagia. Di sela-sela berbelanja saya telpon pihak pesantren kalau jadwal mundur  menjadi selepas Isya atau pk.19.30. Saya berfikir nggak apa-apa jadwal mundur satu jam tetapi dua kepentingan bisa saya laksanakan.

Malam pun tiba, sampai di rumah sekitar pk. 18.55, "alhamdulillah" dalam hati ku bertutur.."masih ada waktu untuk siap-siap pergi mengajar". pk. 19.15 dua anak laki-laki perwakilan santri menjemput (memang seperti itu setiap malam minggu, mereka menjemput). "walaikumsalaam jawab ku, tunggu di kelas saja ya....19.30 saya menyusul". Setelah anak santri pergi, saya bersegara ambil bahan dan alat/media mengajar, tidak lupa saya bawa EPSON S110 LCD projector. Tidak lupa pula pamit sama istri untuk mengajar sampai pk. 22.00 WIB.

Sesampainya di halaman pesantren, saya dihampiri oleh semua santri dan mereka mengucapkan "salam" mencium tangan saya, dalam hati saya berkata "anak-anak berlebihan, belum pantas diri ini diperlakukan seperti itu". Mereka terlihat pada semangat dan tersenyum lebar, padahal saya tahu kegiatan pesantren sebelumnya banyak dan padat.

Tanpa menunggu lama kelaspun dimulai, "Anak-anak...saya minggu lalu memberi tugas membaca" kataku, Anak-anak menjawab "ya pak, kami sudah membacanya"...."very good" kata ku. Memang seminggu sebelumnya saya bawa dua buah buku (pinjam dari club baca di kantor kami-Red)  sebagai
tugas membaca. Buku yang pertama adalah bertemakan "keajaiban air mata" (tugas santri laki-laki) dan buku kedua adalah bertemakan "SENYUM" tugas santri perempuan). "Ok...selagi saya mempersiapkan laptop, proyektor dan speaker aktif, silahkan satu orang perwakilan masing-masing untuk maju ke depan dan bercerita tentang isi bukunya".

Uum langsung angkat tangan..."saya pak", "boleh silahkan" kataku. "ayo...siapa wakil lai-lakinya?.." "Saya pak Asep"...ternyata itu Dollar, ini nama sebenarnya. Orang tuanya adalah TKI bertahun-tahun di Saudi Arabia dan memang sering membawa uang dollar. Dolar ini sangat serius dalam belajar tapi juga humoris, prestasi menghapal Al-Qur`an nya juga paling menonjol, sudah 7 juz dia hapal.

Saya perhatikan Uum bercerita cukup lancar, sedikit gugup tetapi ucapannya mengalir hal-hal tentang "senyum", yang saya takjub adalah untaian kata penutupnya, dia lakukan closing dengan " Dunia dengan senyum tidak akan ada penindasan, kekerasan bahkan peperangan". Sebentar saya tertegun...."alhmd Uum sudah bisa mengerti isi buku"..sy berujar dalam hati.

Lain halnya dengan Dollar, dengan menggebu2 dan suara lantang dia mengawali dengan berbicara seperti ini. "Kawan-kawan ijinkan saya berbicara bagaimana memelihara kesehatan mata kita"......"beng..!!!" saya dibuat kaget, "ada apa dengan Dollar, ko` nggak nyambung dengan inti bahasan bukunya" dalam hati saya berbicara. Saya nggak interupsi dia, saya biarkan dia sampai selesai. Tapi uniknya selama Dollar berbicara kita dibuat tertawa terus menerus, para santri tertawa lepas......dalam hatiku berkata "apakah Dollar tidak membaca dan tidak faham?". "Ok applause buat mereka berdua..!!" tepuk tanganpun riuh mengisi ruangan kelas.

Dari kejadian itu saya jadi bisa mengukur kapasitas dan kemampuan mereka, bahkan saya yakin tidak semua anak-anak membaca buku yang saya tugaskan, tetapi tidak mengapa, tidak ada rasa kecewa ataupun marah. Saya tidakingin tahu siapa yang membaca dan siapa yang tidak, yang jelas saya hanya bisa menunjukkan kepada mereka ini contoh santri yang mau membaca dan ini yang tidak membaca.

Tetap semangat ya nak...!

Ditulis oleh: Asep Aripin.

Rabu, 05 Juni 2013

Pengantin Baru

“Panganten anyar, diuk ngarendeng. Meunang dangdan, direnceng-renceng. Enggeus biasa da ilaharna, pada ngagonjak ku sarerea.
Dina poe harita, manehna keur bahagia. Tepak-toel geugeut pisan, dunya asa nu duaan.”

(*terjemahan bebas)

“Pengantin baru, duduk bersebelahan. Setelah berdandan, cantik-tampan sebegitu rupa. Yang lain bercanda menggoda, itu biasa.
Dan di hari itu, mereka bahagia. Saling bercanda dalam kasih, rasanya dunia ini milik mereka.”


Mendengarkan lagu yang dipopulerkan oleh seniman sunda (Alm.) Darso berjudul Panganten Anyar ini seolah mengajak kita melihat bentuk rasa senang dari kacamata yang lebih luas. Di saat seseorang tengah menikmati rasa bahagia yang sederhana dan berhasil menularkan rasa itu kepada yang lain dalam definisi bahagia yang berbeda. Benar suatu rasa yang hebat dan menguniversal. Dan meski dengan ungkapan-ungkapan dari bahasa keseharian yang umum dan aliran nada yang ramai, Darso malah sangat berhasil membawa kesan-kesan puitis yang kental. Melahirkan banyak emosi yang dapat dengan mudah dirasakan oleh siapapun, membawa semua tenggelam dalam rasa senang yang meluap-luap.

***
Saya jadi berpikir, akan sangat sempurna bila di acara pernikahan saya nanti, ada seorang kawan yang menyanyikan lagu ini, dan itu akan jadi sangat menyenangkan. Ikut berbahagia, ikut merasakan apa yang (mungkin) saya rasakan waktu itu, berbaur dalam suasana yang sama, meski bentuk yang berbeda, tapi tetap sama gembira. :)

Terinspirasi oleh pernikahan adik seorang kawan yang sedang berlangsung saat ini. Sayang saya tak bisa datang, tapi semoga doa dan pikiran saya saja sudah cukup.
Selamat bergembira, Ki.

Cikarang, 6 Juni 2013

Selasa, 04 Juni 2013

Bersyukur

Rasanya itu satu tahun yang lewat, ketika seorang kawan bercerita tentang masalah yang tengah merundungnya kala itu. Tidak detail memang, tapi sepertinya saya sedikit mengerti. Saya pikir pemecahannya mungkin bisa sangat sederhana tapi rumit, saya berkomentar, “orang-orang tua kita dulu selalu berpesan agar kita senantiasa bersyukur atas semua yang kita punya, maka hidup kita akan tenang. Sepertinya itu saja kunci jawabannya, bersyukur. Tapi kawan, sayangnya, saya sendiri sepertinya juga masih susah bersyukur, jadi saya belum punya tips and trick khusus untuk bisa seperti itu”. Dan dialog kami waktu itu pun hanya berakhir di diam yang panjang. Hal yang hampir sama persis dengan dialog hari ini, dengan seorang kawan yang lain. Bedanya, kali ini dialog tersebut ditutup dengan kami yang lebih memilih mengalihkan topik ke hal yang lain saja. Sama saja. :)

Pengalaman memang selalu saja mengajarkan banyak hal. Karena tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama, maka hal yang diajarkannya pun kadang berbeda, kadang sedikit sama, atau bahkan kadang salinan. Termasuk mengajarkan arti benda-benda, kata sifat, kata kerja, dan yang lain. Termasuk mengajarkan tentang arti kata “bersyukur”. Di antaranya tersebut, tak ada yang lebih salah dibandingkan dengan yang lain. Tapi saya pikir selalu ada yang lebih baik. Ya, seperti itu saya pikir.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)*, disebutkan bahwa bersyukur merupakan suatu kata yang menggambarkan rasa terima kasih, rasa lega, rasa cukup, dan senang. Tapi menurut saya, pengertian “syukur” jauh lebih megah dari itu. Tak pernah kehilangan passion untuk berusaha dengan segenap hati untuk menjadi lebih baik, berkembang, bertumbuh, juga meresap sempurna di makna kata ini. Tak perlu hawatir, saat orang lain malah mengartikannya sebagai bentuk “hilang syukur”. Karena seperti yang saya sampaikan di bagian yang lebih awal tadi, bahwa pengalaman mengajarkan kita untuk mendefinisikan sesuatu secara lebih pribadi, tak ada yang lebih buruk, hanya ada yang lebih baik.

Cikarang, 4 Juni 2013

Sabtu, 01 Juni 2013

Taman Saturnus

Selepas magrib ini, dengan motor matic putih itu, saya melaju pelan menyusuri panjangnya Jl. Soekarno-Hatta menuju Jalan Taman Saturnus di perumahan Metro, Bandung. Entah kenapa kali ini saya bisa langsung sampai, padahal sebelum-sebelumnya, hilang arah di perumahan ini merupakan satu hal yang wajib. Saya akui jalan di perumahan ini merupakan salah satu yang paling susah diingat. Sedang Jalan Merkuri merupakan jalan favorit saya saat nyasar. Merupakan satu ritual bagi saya untuk berputar-putar dulu di pedalaman Merkuri untuk bisa sampai di Taman Saturnus. Tapi kali ini tidak, mungkin saya mulai ingat.

Sesampainya, disuguhkan segelas kopi hitam panas oleh seorang kawan yang tengah hamil tua untuk temani saya dan suami terkasihnya mengobrol habiskan malam. Temanya bermacam dan bebas. Dimulai dari cerita berkebun, hilang kontrol di lapangan futsal, kawan lama yang mulai sombong tapi selalu menginspirasi, hingga lembur mengerjakan satu project IT. Bebaskan apa yang kami ingin ceritakan, maka kami bicarakan.

Dan kopi enak ini sudah setengah habis, kami mulai membuka ide yang lain. Diskusikan beberapa kemungkinannya berikut langkah-langkah strategis yang mungkin dilakukan. Kami sepertinya mulai memasuki lingkaran ide yang menarik. Bahas lebih lanjut, dan memutuskan untuk mencoba melakukannya. Katanya tak perlu terburu-buru tapi juga tidak untuk terlalu lamban. Hasilkan sebuah wacana menarik yang cukup untuk membuat saya berpikir keras sepanjang malam.

Kami selalu tahu, bahwa bercerita bebas di bawah kopi hitam dan udara malam adalah sebuah langkah. Dari sini lahir ide-ide terliar yang bisa membawa kami ke realitas kekinian, tuntutan dan masa depan. Juga seperti hari-hari kemarin saat kami memulai dialog di dinginnya malam kaki Tangkuban, tentang hal-hal yang nampak jauh lebih besar dari sekedar dua anak dari kampung yang tengah belajar hidup di tanah rantauan.
Bandung, 1 Mei 2013