Rabu, 26 Juni 2013

Pelukan Sore

Ini sebuah edisi yang berbeda. Sesuatu yang saya tulis dengan perasaan dan ingatan yang lebih kental dan mendalam dari yang lain. Sebuah kesan yang saya alamatkan untuk dia saja, tak perlu melibatkan yang lain. Tentang bagaimana cara saya mengingat satu sosok termegah, yang terbalut dalam sudut-sudut yang tidak biasa, tapi sangat nyata. Tak peduli itu dulu, saat saya baru mulai belajar mengingat, tak peduli itu saat ini, benar-benar sama saja. Tentang potongan-potongan ingat yang kadang penuh, tapi banyaknya partial saja. Ah, tidak masalah.

Namanya Kartiniwati Binti Abbas. Ditulis lahir di sebuah kota kabupaten bernama Curup, di 23 Juli, tahun 1959, meski bukti photograph koleksi keluarga meyakini dia lahir di kisaran tahun tahun 1961. Menurut kabar dan cerita dari orang-orang yang pernah mengenalnya, dia menjelma menjadi seorang gadis (saya lebih senang mengingatnya sebagai seorang gadis) yang cantik, luwes dan dikenal ramah, juga mudah tersenyum. Saya masih ingat, dulu dia juga pernah beberapa kali bercerita bahwa dia selalu punya banyak kawan, dari pejabat-pejabat daerah hingga tukang-tukang becak di daerah itu. Sosok yang menyenangkan. Kata orang-orang seperti itu. Dan saya merasa beruntung untuk bisa mengenalnya secara langsung. Dapatkan cerita sendiri untuk menggambarkan siapa dia, lewat kumpulan kesan-kesan yang sederhana dan selalu diingat.

Bertemu dengannya adalah hal termewah yang pernah saya rasakan. Untuk berdialog bukan hanya tentang bagaimana cara mengungkapkan hal-hal yang tak terbatas pada kata-kata, tingkah laku, sorot mata, juga doa. Tapi juga sesuatu yang tetap bisa terasa, meski jauh, meski tak bertemu. Belajar tentang bagaimana mengungkapkan rasa cinta kepada orang tersayang, tentang bagaimana menerjemahkan kasih di senyapnya penggalan cerita, tentang bagaimana meninggalkan kesan-kesan yang akan tetap hidup sampai nanti-nanti. Lalu jelmakan dia dalam barisan memori yang terlalu kuat mengakar, mustahil terlupa. Ah, banyak. Rasanya itu terlalu banyak. Karena bercerita tentang dia artinya membuka kembali cerita hidup dari mula. Seperti membuka lembaran yang tak habis-habis. Tapi ceritanya asyik, bikin tak jemu untuk terus dibuka, kapanpun mau.

Adalah dipeluknya dalam segenap dekap di penghujung suatu sore yang menggema, lalu diciumnya di ubun-ubun yang basah oleh keringat sisa perjalanan hari itu. Juga tentang sorot mata yang selalu terlalu sakral untuk diangkat jadi sebuah cerita, seperti tulisan ini, tapi saya pikir bukan masalah. Semuanya tentang segala sesuatu yang hanya bisa dibaca dengan rasa. Ya, benar begitu. Seperti sebuah peluk yang menyentuh wajah dan semua yang terbaca adalah ketenangan. Saat lembut belainya menyentuh kedua bahu dengan segenap tulus, dan hela nafasnya yang sampai di sini, bikin terpana, di lengkung senyum yang selalu mengikuti kemana saya pergi. Ah benar ternyata, banyak sekali.

Hingga akhirnya, saat angin di pagi itu datang hampirinya, mengajaknya berjalan bersama dulu tinggalkan yang lain. Dan ya, dia pergi. Ah, nyatanya saya tak perlu sedih. Biarkan dia pergi, yakinnya nanti juga bertemu lagi. Meski nanti berjumpa dalam bentuk bahasa yang berbeda dari sebelumnya, toh dia tetap ada. Untuk sesekali dia datang lagi di temaram senja dan hujan yang datang pelan-pelan. Untuk rasakan lagi genggam tangannya di pergelangan mengajak bersama, meski sebentar, lalu pergi lagi bersama alunan adzan magrib dari masjid-masjid sekitar. Dan senangnya saya sudah merasa cukup. :)
Salam, Bu. :)
Cikarang, 26 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar