Jumat, 14 Juni 2013

B E L A J A R

Saya teringat dulu, saat saya akhirnya memutuskan untuk tidak lebih jauh tenggelam dalam masalah politik kenegaraan yang biasa kami diskusikan panjang-lebar di forum-forum kemahasiswaan di seantero Bandung Raya, atau hal-hal berbau perdebatan kusir yang giat didengungkan oleh radio-tv-internet-koran-majalah-buletin tanpa henti kala itu. Alasannya banyak dan sedikit rumit. Tapi singkatnya, sepertinya bisa saya rangkum dalam satu cerita sederhana: “Saat sekelompok mahasiswa berdemonstrasi di satu jalan kota untuk memprotes kenaikan BBM yang mereka pikir akan membebani rakyat kecil, dan sebagai konsekuensinya kerumitan lain terjadi di lokasi yang sama saat itu: seorang ibu hamil di dalam sebuah mikrolet jadi terhalang untuk bisa pergi periksa ke suatu rumah sakit, juga pedagang rokok ketengan dan air mineral yang panen raya mendadak karena pendemo yang jadi ramai berbelanja, atau seorang tukang becak yang mengeluh karena tak ada penumpang yang bisa diangkut karena mahasiswa yang penuh di jalanan". Untuk kemudian ada yang bertanya, "siapa yang salah? Mahasiswa atau tukang becak?" Atau bisa saya sedikit perumit pertanyaannya dengan: "ini tukang becak yang belum kesampaian ilmunya mahasiswa, atau sebaliknya?”. Dan setelah melalui satu proses berpikir, akhirnya saya bersimpulan: “Ya, biarkan saja seperti itu. Biarkan saja seperti itu!”. Satu hal yang saya tahu pasti, bahwa ini benar bukan bentuk sikap apatis, ketidakpedulian. Hingga kini, saya lebih memilih untuk memikirkan hal-hal yang lebih “ringan” saja. Sebagian menganggap saya menyerah? Saya terima. :) 
Di cerita yang lain, seorang kawan beropini: “sepertinya  menjadi mahasiswa jurusan seni lebih enak, mereka bisa berekspresi bebas tanpa harus meniru pemahaman yang dianggap benar oleh sang guru”. Hmmm, saya bukan mahasiswa jurusan seni. Selama ini saya lebih banyak belajar science. Tapi saya pikir sama saja. Saya pikir begitu. :)

Kita tahu, bahwa kita exist bukan untuk menentukan siapa yang salah, tapi untuk mencapai satu tujuan. Bila tujuan itu adalah sebuah titik di satu tempat di dalam sebuah lingkaran, maka kita akan membuat sebuah gerakan yang berbeda dan sangat masing-masing untuk mencapai titik tersebut. Sedang di dalam lingkaran tersebut, setiap kita berada di lokasi yang berbeda-beda, yang kita sendiri pun tak tahu dimana persisnya lokasi kita terhadap titik tuju. Nyatanya saya pikir perjalanan kita ini tidak sesempit kata benar dan salah, bukan? Itu terlalu relatif. Bagaimana mungkin kita bisa menilai orang lain menuju arah yang benar atau tidak, bila nyatanya kita sendiri tidak pernah tahu persis dimana posisi kita terhadap tujuan?

Dan ya, saya disini hanya berbicara tentang apa makna belajar yang ada di kepala saya saja. Tentang berusaha melihat suatu kejadian dengan keterbukaan pikiran yang serba lapang dan toleransi yang bikin asyik. Yang tidak melulu menyempitkan masalahnya dengan menentukan siapa yang lebih baik dari yang lain, siapa yang lebih mengerti dari yang lain, siapa yang lebih mulia dari yang lain. Karena akhirnya, saya pikir semuanya tetap sama saja, tak ada yang berbeda, yang itu-itu juga. Karena belajar pun bukan hanya sebuah simpulan salah-benar, tapi proses. Sebut itu proses melihat lebih teliti tentang apa yang tengah terjadi, untuk selanjutnya dipahami, lalu dicerminkan dalam kemampuan bersikap yang layak terhadap yang lain. Ya, saya pikir disini kita hanya sama belajar, benar-benar tanpa perlu selalu saling menilai untuk menyalahkan bila berbeda. :)

Cikarang, 15 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar