Senin, 10 Juni 2013

Bandung

Kemarin malam seorang kawan bertanya, “kenapa kebanyakan orang yang pernah tinggal di Bandung akhirnya akan memiliki keinginan untuk hidup di sana? Saat mereka jauh, mereka seakan tak habis-habisnya membicarakan itu, ingin kembali lagi”. Seperti de javu, beberapa menit yang lewat membaca twit dari salah satu follower akun Pidibaiq yang juga bertanya hal hampir serupa, untuk kemudian di jawab dengan jawaban yang sangat sering diucapkannya, “bagiku Bandung bukan hanya masalah geografis, tapi juga melibatkan perasaan”. Saya benar senang. :)

Itu pagi di bulan Juni 2003, saat saya pertama kali pergi dari kampung, menuju satu kota yang terkenal sebagai salah satu tujuan sekolah favorit orang-orang di daerah kami. Saya tidak terlalu ingat apa alasan utama saya memutuskan untuk bersekolah di Bandung, tapi yang jelas kakak sepupu saya sudah lebih dulu menimba ilmu di kota itu. Atau karena saya hanya mengikuti trend saja waktu itu, untuk kemudian bisa dengan gagah menjawab pertanyaan orang-orang di kampung kami, bahwa saya melanjutkan sekolah ke kota Bandung, :) saya tidak terlalu ingat persisnya. Pergi ke terminal bus Simpang Nangko, terminal bus antar-kota yang luas tapi sepi itu, diantar menggunakan sepeda motor Suzuk*i Crystal oleh Ayah, dibekali uang Rp 350.000 di dompet, saya merantau. Ditutup dengan selayang mata memandang menuju sosok Ayah yang mengecil dan mengabur dibawa deru bus Putra Raf*lesia yang berjalan menjauh. Hingga akhirnya perjalanan lebih dari 30 jam itu berhenti di satu jalan besar dua-arah, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, di tengah gerimis pelan yang samar-samar.

Saya masih ingat betul satu langkah di depan pintu bus, sebelum turun. Dalam gumam, saya bicara sendiri, “Oh ini yang namanya Bandung?”, sembari melihat pukau pada gemuruh mobil yang melintas deras dan riuh orang-orang yang menyambut kenalannya datang dari jauh. Waktu berjalan lambat, saya sempat berdiskusi panjang dengan pikiran sendiri, tentang Bandung dalam cerita, dan tentang Bandung yang ini. :) Saya akhirnya tersadar dari lamunan, saat angin dari luar bus membentur. Dan entah bagaimana, saat itu saya seolah merasa bahwa saya akan tinggal di kota ini untuk waktu yang lama. Entah apa definisi “lama” saya waktu itu. Tapi benar itu lah yang saya rasakan, juga di tengah gerimis pelan yang samar-samar.

Satu tahun pertama, satu tahun kedua, satu tahun berikutnya, dan lagi. Bertemu dengan Bandung yang ini, dengan segenap roman yang terjilid dalam jutaan bab, saya mendatangi Bandung. Hingga saya berpikir bahwa saya seperti “jatuh cinta” dengan tanah ini, yang juga lengkap dengan rasa hormat. Saya tidak berbicara hanya dalam konteks keterbukaan kota ini terhadap para pendatangnya saja, juga bukan hanya tentang keramahan kotanya, atau cantik-menarik gadisnya yang tersohor hingga kemana-mana, juga serakan langkah dan pemikiran yang terbaur di setiap inci jalan-jalannya saja, kegembiraan-sedih hati-semuanya. Itu seperti sebuah harmoni yang menenangkan, digaungkan di barisan gunung-gunung penuh pesona di penjuru angin, dan saya mendengarkan, Seolah berganti kota ini yang mendatangi saya kini. Benar. Ajaib!

Tapi itu benar bukan obsesi. Nyatanya Ayah pernah berucap bahwa dalam hidup, kita hanya perlu menemukan suatu tempat yang menenangkan, untuk bisa merasa hidup dan menjalaninya. Saya berpikir dan merasa bahwa saya sepertinya menemukan “tempat yang menenangkan” itu. Mungkin itu adalah kota itu. Tapi dengan senang, saya tetap yakin bahwa keinginan untuk hidup di kota itu jauh dari kata (sekali lagi) obsesi. Bila kenyataan memang berkata sebaliknya, saya tidak terlalu berkeberatan juga untuk sesekali saja datang ke situ, bukan untuk pulang ke situ. :) Rasanya tak heran mendengar Pidibaiq selalu menjawab “bagiku Bandung bukan hanya masalah geografis, tapi juga melibatkan perasaan”. Saya pikir begitu. :)

Tak pernah berniat mencontek jawaban Kang Pidibaiq. :)
Cikarang, 10 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar