Kemarin malam seorang
kawan bertanya, “kenapa kebanyakan orang yang pernah tinggal di Bandung akhirnya
akan memiliki keinginan untuk hidup di sana? Saat mereka jauh, mereka seakan tak
habis-habisnya membicarakan itu, ingin kembali lagi”. Seperti de javu, beberapa menit yang lewat
membaca twit dari salah satu follower akun Pidibaiq yang juga bertanya
hal hampir serupa, untuk kemudian di jawab dengan jawaban yang sangat sering diucapkannya, “bagiku Bandung bukan hanya masalah geografis, tapi juga melibatkan
perasaan”. Saya benar senang. :)
Itu pagi di bulan Juni
2003, saat saya pertama kali pergi dari kampung, menuju satu kota yang terkenal
sebagai salah satu tujuan sekolah favorit orang-orang di daerah kami. Saya tidak
terlalu ingat apa alasan utama saya memutuskan untuk bersekolah di Bandung,
tapi yang jelas kakak sepupu saya sudah lebih dulu menimba ilmu di kota itu. Atau karena saya hanya mengikuti trend saja waktu itu, untuk kemudian bisa dengan gagah menjawab
pertanyaan orang-orang di kampung kami, bahwa saya melanjutkan sekolah ke kota
Bandung, :) saya tidak terlalu ingat persisnya. Pergi ke terminal bus Simpang Nangko, terminal bus antar-kota yang luas tapi sepi itu, diantar menggunakan sepeda
motor Suzuk*i Crystal oleh Ayah, dibekali uang Rp 350.000 di dompet, saya merantau. Ditutup dengan selayang mata memandang menuju sosok Ayah yang mengecil dan mengabur dibawa deru bus Putra
Raf*lesia yang berjalan menjauh. Hingga akhirnya perjalanan lebih dari 30 jam itu berhenti
di satu jalan besar dua-arah, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, di tengah gerimis pelan
yang samar-samar.
Saya masih ingat betul satu
langkah di depan pintu bus, sebelum turun. Dalam gumam, saya bicara sendiri, “Oh
ini yang namanya Bandung?”, sembari melihat pukau pada gemuruh mobil yang
melintas deras dan riuh orang-orang yang menyambut kenalannya datang dari jauh. Waktu berjalan lambat, saya sempat berdiskusi panjang dengan
pikiran sendiri, tentang Bandung dalam cerita, dan tentang Bandung yang ini. :)
Saya akhirnya tersadar dari lamunan, saat angin dari luar bus membentur. Dan entah bagaimana, saat itu saya seolah merasa bahwa saya akan tinggal di kota ini untuk waktu yang lama. Entah
apa definisi “lama” saya waktu itu. Tapi benar itu lah yang saya rasakan, juga di tengah gerimis pelan yang samar-samar.
Satu tahun pertama, satu
tahun kedua, satu tahun berikutnya, dan lagi. Bertemu dengan Bandung yang ini,
dengan segenap roman yang terjilid dalam jutaan bab, saya mendatangi Bandung. Hingga saya berpikir bahwa saya seperti “jatuh cinta” dengan tanah ini, yang juga lengkap dengan rasa hormat. Saya tidak berbicara hanya dalam konteks keterbukaan kota ini terhadap para pendatangnya saja, juga bukan hanya tentang keramahan kotanya, atau cantik-menarik
gadisnya yang tersohor hingga kemana-mana, juga serakan langkah dan pemikiran
yang terbaur di setiap inci jalan-jalannya saja, kegembiraan-sedih hati-semuanya. Itu
seperti sebuah harmoni yang menenangkan, digaungkan di barisan gunung-gunung penuh
pesona di penjuru angin, dan saya mendengarkan, Seolah berganti kota ini yang mendatangi saya kini. Benar. Ajaib!
Tapi itu benar bukan obsesi. Nyatanya
Ayah pernah berucap bahwa dalam hidup, kita hanya perlu menemukan
suatu tempat yang menenangkan, untuk bisa merasa hidup dan menjalaninya. Saya berpikir
dan merasa bahwa saya sepertinya menemukan “tempat yang menenangkan” itu. Mungkin
itu adalah kota itu. Tapi dengan senang, saya tetap yakin bahwa keinginan untuk hidup
di kota itu jauh dari kata (sekali lagi) obsesi. Bila kenyataan memang berkata sebaliknya, saya tidak
terlalu berkeberatan juga untuk sesekali saja datang ke situ, bukan untuk pulang
ke situ. :) Rasanya tak heran mendengar Pidibaiq
selalu menjawab “bagiku Bandung bukan hanya masalah geografis, tapi juga
melibatkan perasaan”. Saya pikir begitu. :)
Tak pernah berniat mencontek jawaban
Kang Pidibaiq. :)
Cikarang, 10 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar