Kamis, 31 Juli 2014

Dam di Sore-Sore

Pesawahan di kampung kami, dan Dam itu ada di daerah pojok kanan dari gambar ini, jauh di situ. :)
Hari beranjak sore. Dan letih dari sekolah tadi sudah terbayar lunas oleh menu santap siang yang ala kadarnya, tapi selalu saja enak. Ibu saya pintar sekali memasak. Dan di rumah, saya tak akan makan kurang dari 2 piring sekali makan –selain karena masakannya yang enak, saya juga selalu diminta oleh ayah untuk makan yang banyak :D. Ayah selalu katakan seperti ini: “bagaimana kamu bisa punya tenaga yang cukup untuk belajar, bermain dan bekerja kalau kamu makan hanya sedikit? Sekarang makanlah yang banyak!”. :D Dan satu lagi, saya pikir menu makanan kami sedikit khas bila dibandingkan dengan menu makanan orang di tempat lain. Menu kami selalu hanya satu jenis saja. Kalau sambal ikan, ya hanya nasi dan sambal ikan saja. Kalau sayur telor, ya hanya nasi dan sayur itu saja. Jarang sekali kami punya menu lebih dari satu jenis di satu kali makan. Dan saya belum pernah menemukan menu makan yang serupa di tempat lain. :D

Jam sudah lebih sore, tapi itu tak akan pernah jauh dari jam 3 hingga setengah 4. Maka saya akan keluar rumah untuk memenuhi panggilan kawan-kawan sebaya atau menjemput kawan-kawan yang lain di rumahnya masing-masing. Kami akan pergi bermain. Bermain apa saja. Pilihan bermain kami banyak sekali. Kami akan bermain apapun sesuai dengan musimnya. Musim kelereng, musim layangan, musim buah, musim satria baja hitam, musim gambaran, sebut saja. Tapi ada satu yang tak pernah lepas, dan itu adalah: bermain di sawah. Musim permainan boleh saja berganti-ganti, tapi kami tetap saja kembali ke sini, ke pesawahan ini. Kami akan berjalan jauh menyusuri pematang sawah yang rasanya tak habis-habis hingga di kaki bukit itu, untuk sekedar mencuri bengkuang, untuk ikut mengambil sisa panen mentimun setelah pemiliknya selesai memanen, untuk mencari ikan di sepanjang saluran irigasi yang dibatasi rerumputan, untuk memakan kacang panjang di sepanjang jalan saat kami lapar di perjalanan, untuk bermain tarzan-tarzanan menyebrangi saluran air besar dengan pelepah kelapa tua yang menggantung, untuk ikut merayakan panen padi, dan banyak lagi, dan apa saja. Hingga saatnya kami lelah, maka kami akan menuju ke tempat ini. Kami biasa menyebutnya Dam.

Dam. Saya yakin sekali, meski tak terlalu tinggi, kamu tak akan berani melompat dari atas situ. :p
Tempat ini sederhana sekali. Hanya sebuah aliran air yang lumayan tinggi untuk ukuran anak-anak serta kedalamannya yang pas. Dan airnya sedari dulu memang tak terlalu jernih, tapi kami benar-benar menyukainya. :) Dan sesampainya di sini, kami akan berlomba membuka baju dan celana masing-masing untuk kemudian terjun bebas dengan berbagai gaya dari jembatan pembatas itu menuju riuhan air di sebelah bawah. Pekik dan tawa kami membahana di seantero pesawahan sepanjang sore itu. Bermain power ranger sambil berpura-pura berkelahi di dalam air, mengeluarkan air irigasi yang masuk ke dalam telinga dengan cara yang khas, berpura-pura meniru jurus Wiro Sableng “Berjalan di atas Air”, ah banyak sekali, banyak sekali. Dan mandi di sore yang cerah di tempat ini selalu kami lakukan hampir di setiap hari yang ada. Percayalah, kami melakukannya hampir setiap hari. Kami merasa gembira sekali setiap hari. Kalian akan merasa iri atas apa yang pernah kami lakukan di tempat ini di masa-masa kecil kami. :)

***
Dan hampir dua puluhan tahun sudah, di suatu pagi Jumat yang cerah dan langit kaki Kaba-Basah yang bersih sekali, akhirnya saya datang berkunjung lagi ke sini. Sesampainya, berjalan turuni anak tangga betonnya yang gagah, saya duduk di pinggirannya. Saya mencium lagi aroma khas dari tempat ini. :) Wangi air yang berdebur tak henti di Dam ini. Benar-benar. Saya ingat sekali aroma ini, sejernih saya mengingat siapa nama orang tua saya. Saya tersenyum selepasnya. Terlepas tinggalkan masa kini, saya menuju ke barisan sore itu bersama kawan-kawan melompat dari atas situ sambil tertawa. Ya, saya katakan: tempat ini adalah tempat yang paling menyenangkan di muka bumi!

Curup, 25 Juli 2014 – Cikarang, 31 Juli 2014

Selasa, 22 Juli 2014

Sebuah Komentar

“Ucapan SELAMAT utk OWI terpilih menjadi PRESIDEN RI. Selamat bagi cukong2 mafia kapitalis Tiongh*a spt J*mes Riyadi, Eka Cipt* dkk. Selamat karena Sistim Outsourching tidak jadi dihapus. Selamat buat penjahat BLB*, anda tidak jd ditahan dan boleh masuk ke Indonesia menguras uang negara ini lagi. Selamat buat kaum n*srani karena betul2 kompak mematuhi pemimpin kalian sedangkan ummat islam di Indonesia mengacuhkan perintah para ulamanya. Selamat buat AS karena Newmont dan Freeportnya tidak jadi diNasionalisasi oleh kami. Selamat buat Syiah, Kaum Liberal dan Plural karena ajaran kalian lebih membuai hati dibanding ajaran tauhid. Selamat buat M*ga karena bisa menjual lagi aset-aset negara. Selamat buat ummat islam yang memilih Jok*wi karena anda membuka kembali jalan PDI-P menolak Perda dan UU syariat agama kalian. Selamat buat warga B*tawi muslim yg memilih Owi karena kalian memilih Ah*k jadi Pemimpin Negeri Betawi ini. Sekali lagi, Selamat bagi Owi Owi!” – Samsul Komar.

***
Adalah sebuah komen di laman fb di atas. Saya cuplik sejelas-jelasnya, juga saya tuliskan sejernih mungkin siapa nama penulisnya. 

Membacanya, entah bagaimana saya merasa terpanggil untuk menuliskan sedikit komentar pribadi di blog ini. Sambil mendengarkan Alexi Murdoch nyanyikan lagu “Blue Mind”-nya dalam ketenangan yang luar biasa lewat sebuah komputer lipat tua, dan sekarang saya tahu harus menuliskan apa.

Menurut saya, pernyataan dari seseorang yang seperti ini adalah contoh sebuah penyakit yang hanya akan sembuh dengan dibiarkan seiring waktu. Sekarang biarkan saja kegelisahannya mendengkur sekeras yang dia inginkan, biarkan kebenciannya tenggelam sejauh yang dia inginkan. :)

Cikarang, 22 Juli 2014

Minggu, 20 Juli 2014

Kabar dari Bandung (4) : Belut Sawah di Baleendah

Beberapa saat setelah kedua anak itu muncul dari baris rumah di kaki bukit
Hari masih termasuk siang, dan kami sudah memutuskan pulang. Tak seperti biasanya memang kami pulang saat waktu masih di kisaran ini, tapi bukan pula berarti karena kami sudah memiliki jadwal masing-masing yang lain sore ini. Itu hanya sebatas ingin pulang lebih awal saja, tak ada yang lain. Untuk kemudian mengendarai motor matic berwarna hijau muda itu perlahanan di sepanjang perjalanan pulang, kami bicara tentang banyak hal. Meski semua obrolannya tak spesifik, tapi sepertinya kami senang-senang saja. Hingga akhirnya kawan yang ini mengingatkan sebuah percakapan singkat di pagi yang tadi, bahwa hari ini dia ingin membeli belut.

Berjalan perlahan, dan penjual belut pinggir jalan itu kami temukan. Saat itu, dia tengah melayani seorang pembeli yang lain: seorang tentara paruh baya berpangkat sersan kepala. Tentara yang saya lupa namanya ini membeli 2 kilogram belut yang sudah dibersihkan dan 1 ekor ikan gabus sebesar lengan dewasa yang masih dibiarkan hidup dalam plastik transparan. Semua barang beliannya itu dipisahkan dalam dua kantong plastik yang berbeda. Satu kantong plastik berisi 1 kg belut dan ikan gabus, sedang satu kantong plastik lagi berisi hanya 1 kg belut saja. Begitu permintaan dari Sersan itu. Dan diikuti dengan keramahan yang luar biasa dari penjualnya. Ah, senang sekali saya melihatnya. :)

Dan kawan yang ini juga tak mau ketinggalan. Menanyakan harga, dan dengan tangkas katakan bahwa dia memesan setengah kilo saja. Pesankan untuk sekalian dibersihkan dulu, akhirnya penjual itu bergerak sigap beraksi dengan kain lap, ember dan guntingnya. Menunggu dan memperhatikan sekitar, juga dua orang anak yang terlihat berjalan di kejauhan ke arah kami di pinggir jalan ini, sesegeranya saya mengeluarkan kamera dari dalam tas yang tergeletak di atas jok motor. Dan saya pikir memotret kedua anak yang berjalan di pematang sawah kaki bukit itu adalah ide yang bagus. Ah, sebenarnya  saya hanya sedang membayangkan saya dan seorang kawan kecil saya dulu yang tengah berjalan di suasana yang lebih-kurang mirip seperti ini. Meski sepertinya pemandangan di kampung kami sedikit lebih dramatis dari tempat ini. :)

Dan tepat saja ternyata. Keduanya menghampiri kami. Mungkin lebih tepatnya menghampiri pedagang belut ini. Dan di selanya itu, kami berempat memulai beberapa dialog singkat. Mereka malu-malu, kami senyum-senyum. Pedagangnya bergerak di antara deru kendaraan-kendaraan yang lewat.

Saya unggahkan beberapa foto kedua anak itu di laman fb milik saya. Harapannya, nanti di satu hari yang lain, mereka akan mendatangi saya lagi untuk menyambung obrolan kami yang malu-malu kemarin.
Bandung, 20 Juli 2014

Jumat, 18 Juli 2014

Kartini (2) : Menjelang Ulang Tahun

Dan hari ini, tepat 5 tahun sudah gadis cantik itu pergi. Yang bila ingin lebih tepatnya lagi, maka akan saya sebutkan bahwa saat itu adalah di suatu pagi yang biasa di kota kami, mungkin pukul delapan hingga sembilan. Dimana pagi itu, pergilah dia diantar sang pemujanya yang jatuh bersedih sekali, mungkin karena terlalu terbawa suasana. Berikut juga seorang anak perempuannya yang tak henti tersedu di pelataran rumah sakit yang belum ramai, dengan Kota Curup yang diam memperhatikan. Juga lelakinya yang paling tampan yang saat itu tengah duduk sendiri di dalam kamar kos-kosan di daerah Bandung Utara mendengar kabar. –Dan apakah kamu tahu? Bahwa lelaki tertampannya itu adalah saya. ;)

Saya tiba di rumah merah jambu itu di setengah sebelas malam, lepas sebuah perjalanan yang sedikit panjang. Dan saya tiba, gadis cantik itu ternyata tengah beristirahat di antara gema lantunan Surah Yaasin di ruangan tengah rumah kami yang besar dan penuh dengan tetangga dan sanak saudara. Saya hampiri dia, ucapkan salam pelan-pelan, duduk yang manis, dia pasti gembira sekali. :)

Hingga di pagi menjelang siangnya yang ketiga, dan saya tahu, bahwa tak lebih dari dua hari lagi maka si cantik itu akan berulang tahun. Nah, waktu itu saya sedikit yakin, bahwa menghadiahi dia dengan sebuah tulisan ini adalah rencana yang mungkin bisa membuatnya tersenyum, atau bahkan tertawa –kami memang biasa melakukan kegiatan itu bersama-sama. Dan di atas pembaringan tempat dia biasa melepas lelah di hari-harinya yang biasa itu pula, saya tuliskan hadiah ini: sebuah hadiah ulang tahun. Sebuah tulisan sebagai bentuk hadiah yang nantinya saya bacakan tepat di depan kuburnya yang basah oleh guyuran air sungai saat hari ulang tahunnya itu datang, di antara kembang Kemboja dan melati yang baru saja lepas tertanam.

***
Untuk Kartiniwati Binti Abbas dan Semua Perjalanan Sebelumnya

Ada cerita yang terlalu sakral untuk dituangkan dalam barisan huruf, kata, kalimat.
Karena kian panjangnya jalan cerita, kian dalamnya hikmah, kian jauhnya layang mata memandang tak ada habisnya.
Tapi mengangkatnya jadi barisan kata-kata sederhana mungkin menjadikan diri sedikit lega, longgar beban rindu menghimpit hati jauh, bikin membiru.

Ada cerita yang terlalu eksotik untuk ditelantarkan di gudang memori tidak terpakai.
Karena khasnya bayangan masa lalu yang lewatannya ringan sekali melangkah masuk ke rongga dada, tapi susah sekali keluar lagi.
Semoganya bisa buat berpuas diri mabuk dalam kenangan bersama yang asik khas dahulu, tapi tak lupa berjalan lagi saat hati cerah kembali.

Ada cerita yang terlalu dramatis untuk dipandang sebelah mata, enggan ditilik dengan teliti.
Karena setiap detiknya adalah angin-angin dari surga, kicau-kicau burung pagi hari, derai hujan padang gurun terpanas.
Maka bayarlah lunas semua harga dengan kedermaan jiwa, kelapangan ingatan, biar berpuas semua diri, raga, rohani.

Ada cerita yang terlalu berdebur keras untuk disimpan dalam keheningan hati.
Karena kisahnya terlalu tepat menghujam sisi melankolis yang paling dalam, terlalu garang menghempas batas nurani yang paling lembut.
Dan mau tak mau, kisah ini jadi abadi mustahil terlupa.
Meski mungkin nanti semua serba jauh, oleh batas waktu-ruang-niatan.

Ada cerita yang terlalu menggembirakan untuk disambut dengan tawa, suka-suka.
Karena hakikat jalanan ceritanya tak terbatas akal, logika, dan kesadaran, tapi naluri keikhlasan berbuat dalam tetes keringat atau lebih lagi.
Hingga jatuhnya tiap tetesan air mata bukanlah luapan kesedihan berlebih, tapi ungkap kesyukuran dalam bahasa yang lebih tulus berperasaan sekaligus matang dalam logika.

Sebuah hadiah ulang tahun untuk Ibu (semoga dia suka...).
Ditulis di atas kasur tempat biasa dia berbaring melepas lelah, 220709.

Cikarang, 18 Juli 2014

Selasa, 15 Juli 2014

Sebuah Pertanyaan dari Restoran Mewah

Ngebaca satu status dari seorang kawan yang baik sekali. Dan kira-kira isinya begini:

Harus banget update status buka puasa di restoran mewah? Pake Path yang terhubung ke Twitter dan Facebook juga? Supaya apa? Supaya dunia tau?

Saya senyam-senyum sendiri aja ngebacanya. Lebih tepatnya sebenarnya saya bingung T.T. Dan saya emang sering senyam-senyum kalo lagi bingung sendiri. :D

Hmm, apa ya. Kalau seandainya kawan tersebut bertanya ke saya, mungkin jawabannya saya bakal: "cuma pengen aja, ahahaa". Bukan biar semua dunia tahu, bukan karena biar saya terlihat banyak duit juga. Ah, buat apa juga ya dunia tahu kalau saya banyak duit? Bahkan saya sering pura-pura keliatan banyak duit aja yang padahal semua orang tahu saya ga punya, ahahaa. Mungkin lebih tepatnya karena saya atau semua orang lain sedang bahagia dan pengen berbagi ke siapapun yang mau membaca dan mendengarkan, atau saya sedang pengen aja. Gitu kan ya? :p

Mungkin ga ada bedanya juga kalau saya pasang status sedang berbuka puasa bukan di tempat mewah. Dan di bawahnya saya akan menuliskan: “jangan salah, ini bukan berarti saya ga punya duit. Sebenarnya saya sedang banyak duit, dan sekarang saya lagi nyamar ga punya duit aja, B-)”. Ah, sama aja kan ya? Bahwa kadang orang-orang hanya melakukan sesuatu yang dia pengenin aja. Dan kalau sekarang seseorang tersebut sedang pengen berekspresi kaya gitu, apa iya harus dibenturkan? “Biarin aja padahal mah, :D

Atau gini: “kenapa saya ikut musingin juga status kawan yang tadi ? Kan toh itu mungkin dia sedang pengen aja juga? Ahahaaa”. Ya, ga ada yang salah juga. Adalah sebuah relativitas atas semua pertanyaan dan penjelasan. Termasuk yang ini. Dan kita akan selalu berpikir berlandaskan itu salah satunya, relativitas. :)

Selamat Ramadhan, selamat berbuka dimanapun. Silahkan merasa bahagia bagi yang sedang pengen. :D
Cikarang, 15 Juli 2014

Minggu, 13 Juli 2014

Hidup dan Kehidupan : Sebuah Abstraksi

Ah, lagi. Saat malam semakin tinggi, dan pertanyaan seputar hidup dan kehidupan itu datang lagi di antara purnama Ramadhan yang sempurna dan Bandung yang tengah mendung. Juga seorang kawan yang bercerita tentang apapun yang dia inginkan dan regukan kopi yang mulai dingin.

Kini bertanya dia: "mengapa kita mengenal banyak orang hanya untuk melupakannya secara sadar ataupun tidak nanti-nanti? Rasanya ini salah sekali!"

Ah, Kawan, saya pikir hidup dan kehidupan adalah tentang merasa. Saya pikir merasa adalah hal yang paling esensial dari keduanya. Seperti halnya malam ini, saat kau bertanya tentang hal itu di antara reguk kopi dan purnama. Saat kau merasakan dialog kita ini semakin menjauh nanti-nanti, di saat itu pula saya pikir kamu benar-benar hidup dan tak terbantahkan. Dan entah ini salah atau benar, tapi seperti yang selalu saya ucapkan, bahwa sepertinya hidup dan kehidupan bukanlah tentang salah dan benar. Bukan. Bukan. :)


Di pertengahan Ramadhan tengah malam
Bandung, 14 Juli 2014

Rabu, 09 Juli 2014

"Tuhan" di Jalur Gaza

Saya muslim-kristen-katolik-hindu-budha, bahkan yang tak ber-Tuhan
Saya melayu-batak-sunda-jawa-dayak-cina-papua
Saya coklat-kuning-putih-hitam-memerah
Saya hutan-laut-pantai-kota-dan pedalaman

Pagi ini saya melihat tiran membunuh bangsa di Palestina 
Pagi ini saya melihat Gaza memerah dari tangis ayah-ibu-anak-sanak-saudara

Dan tiran itu adalah kumpulan musuh yang kuasanya seolah Tuhan
Dengan tank dan sekumpulan pembunuh berbaris dia datang
Serupa wabah dia menyerang
Saudara saya sedang puasa

Tiran itu adalah lambang yang dikutuk Tuhan dari nirwana
Dia bergaya seolah manusia di jalur Gaza
Mengambil nyawa serupa yang tak dikenal
Saudara saya sedang puasa

Tiran itu tak tersentuh tangis dan sedu-sedan
Bergerak dia dalam popor-popor senapan
Menembak, menusuk, tepat di dada, memotong kaki-tangan-kepala
Saudara saya sedang puasa

Tiran itu adalah yang terburuk dalam sejarah
Menunjuk seolah Tuhan padahal bukan
Tiran itu adalah yang terburuk dari semesta
Menggeram seolah Tuhan padahal bukan


Cikarang, 9 Juli 2014

Selasa, 08 Juli 2014

Selamat Sore, Indonesia

Selamat sore, Indonesia! Untuk reuni akbar kita semester ini
Juga untuk jamuanku terhadapmu yang terasa hambar saja
Pada menu harian kopi pahit yang sudah terlanjur dingin
Pada semangatku dan mu yang mulai kendur
Pada semestamu yang berpesta dalam buncahan panik membahana

Selamat sore, Indonesia! Untuk sudi hadir di undangan kepedihan raya
Di sela-sela kesibukanmu mengatur jadwal kenegaraan
Pada safarimu yang kian kemari, menari, pesta-pora
Pada paksaanmu untuk menelan gula kata gombal
Pada tanah kelahiranku yang kausimpan rapi dalam kocek ajaibmu

Selamat sore, Indonesia! Untuk ujar congkakmu tentang keadilan sosial
Senang berkaca pada tembok-tembok muram apartemen mewah
Pada pejabat korupmu yang tak kenal siapa
Pada punggawa istanamu yang senang sekali memerintah tanpa kerja
Pada kaum lusuhmu yang kian hari kian meregang,

Selamat sore, Indonesia! Untuk kembang nostalgia kita yang sebentar lagi gugur
Ditimpa cahaya sepenggalan serta langit mendung yang keseringan gagal hujan
Pada mahkotamu yang terlalu sombong, terlalu bergaya
Pada mahligaimu yang terlampau seronok mata
Pada pucuk-pucuk harapan anak bangsa terlena

Selamat sore, Indonesia! Untuk lembaranmu yang padat cerita
Tersekat kini pada pintu baja murni yang mustahil untuk kudobrak
Tersimpan di sana bara digjaya purbakala, super lautan klenik tetap lestari

Indonesia, selamat sore!

Persada, 2006

Senin, 07 Juli 2014

Selamat 9 Juli 2014

Yang satu gagah, yang satu santai. Keren semua.
Sepertinya saya beruntung untuk tidak memiliki ketertarikan yang terlalu menggebu di bidang politik kenegaraan. Dan mungkin hal ini membuat sebagian orang menilai saya adalah seorang yang tak memiliki kepedulian yang cukup pada masa depan negara. Seperti pertanyaan dari penjual kopi dengan kumisnya yang tanggung tapi selalu disukai istrinya itu: “bahkan kamu belum tahu akan memilih atau tidak di 9 Juli nanti? ckckck”. Tentunya saya tak akan mengajak kawan yang ini berdebat tentang hal tersebut. Saya sedang ingin obrolkan hal yang lain saja, atau buatkan saya segelas kopi yang lain, atau roti harga seribu yang itu, atau apa saja. :)

Sepertinya saya beruntung untuk tidak terpusingkan oleh profil dan kelemahan kandidat presiden kami tersebut. Entah bagaimana, saya pikir itu tak menarik. Saya hanya tahu beberapa saja informasi positif tentang mereka. Dan kalau seandainya nanti saya memilih, sepertinya saya sudah tahu siapa yang akan saya pilih. Saya pikir itu saja sudah cukup untuk saya. Saya tak akan mencoba mempengaruhi siapapun atas pilihan saya tersebut, saya pikir biar saja semua orang memilih siapapun yang dia inginkan.

Sepertinya saya beruntung untuk tidak ikut merasakan kebencian pada kedua pasangan orang-orang hebat itu. Saya pikir mereka berdua sama bagus, sama wibawa, sama tegas, sama baiknya. Visi, misi, dan strategi yang berbeda dari keduanya adalah jalan yang sudah mereka pikir dan pilih dengan baik-baik. Saya akan yakin, mereka akan melakukan yang terbaik. Dan saya pikir pemilu kita tahun ini adalah salah satu yang terbaik. Kita yang sudah semakin mengerti, punya dua pasangan kandidat yang baik, ah, mau apa lagi?

Sepertinya saya sangat beruntung karena tak peduli pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan golput. Saya juga tak akan pernah mengajak siapapun untuk membangkang atau mengikuti fakta tersebut. Silahkan ikuti bagi yang mau, dan silahkan jangan bagi yang tidak.

Sepertinya saya beruntung karena kemarin seorang tua itu berpesan bahwa sebaiknya 9 Juli ini saya memilih. Pilihan saya bisa apa saja, satu di antara keduanya. Dan ingat, satu saja, katanya begitu. :) Dan sepertinya saya mengerti, mungkin memang sebaiknya saya memilih. Maka besok, 9 Juli 2014, baiknya saya berdandan setampan mungkin pagi-paginya, berjalan semangat menuju TPS, memilih salah satu dari keduanya, dan yang mana saja.

Dan untuk orang-orang yang menilai Jokowi haram untuk dipilih, atau Prabowo adalah yang terburuk dan “something evil”, saya katakan begini: kayanya kamu kurang minum air. :D
Cikarang, 8 Juli 2014

Suatu Malam di Akhir Perjalanan Tiga Hari

Akhirnya langkah kakimu sampai juga di tempat ini. Di panjang giliran pasar kerajinan kayu-rotan yang dulu hanya hinggap di lamunanmu dan seorang kawan. Yang sayangnya saat ini kau berjalan hanya sendiri, tanpa dia ikut serta ramaikan suaka cerita yang dari dulu sudah menjadi semacam keinginan yang sesak betul. Dan kau pun tetap tersenyum. Menggelandangi santai-santai sudut-sudut Rajapolah yang khas.

Memang tak ada yang salah bila saat ini pikiranmu berkata seandainya saja dia ada. Bergandengan tangan belanja mata. Bertukar suasana hati, saling riang gembira. Inginnya habiskan malam ini dengan bersama duduk-duduk saja di pinggirannya. Menikmati keanggunan jalan-jalan lebar yang mulai sepi karena malam yang semakin naik. Hingga angin terasa dingin, beranjak melihat tempat persinggahan lain di sekitar sini.

Saat ini, bermacam ruko mini, besar, dan biasa-biasa saja tawarkan harga untuk sebuah jerih payah. Persis seperti lelanamu kali ini, dan juga kemarin-kemarin. Pun nyala-nyala lampion warna-warni menari-nari di pinggir-pinggir. Dan seperti laron kau datang! Sekadar melihat dari dekat, biar puas mata, hati, jiwa. Leburkan mimpi-mimpi dahulu dalam pejammu sebentar saja. Tidak perlulah terlalu lama dan didramatisir berlebih.

Mencoba masuki satu ruko sederhana, kau benturkan matamu di barisan kerajinan yang terlihat relatif murah dari yang lain. Kau cobalah memulai dialog: “yang ini berapa?”, seorang itu menjawab pendek dan tersenyum: “lima ribu pas mazzz”. Senyummu mengembang, kau coba keluarkan beberapa lembar ribuan dari saku celana: “saya ambil dua, enam ribuan saja”. Dialog terputus, kau berjalan meninggalkan, dua tanganmu memegang cindera mata, memperhatikan perlahan.

Sungguh cukuplah bagimu bunyi tok-tok-tok-tok dari kerajinan yang kau beli. Berpuaslah jiwa-ragamu bayarkan kontan keinginanmu dari dulu berkunjung ke sini. Dengan pulang membawa oleh-oleh kecil, sederhana, tapi semoga saja bisa selalu membuatmu ingat.

Didedikasikan untuk seorang kawan. Mungkin lain kali kita bisa ke sini ;)
Rajapolah, Tasikmalaya, 2009

Jumat, 04 Juli 2014

Di Pojok Sore (13) : Perlu Tak Perlu

Menjelang penghujung sore dimana kamu sedang merasa luar biasa adalah suatu pertanda bagus. Sebaiknya kamu berdiam saja dulu di situ, menunggu dialog-dialog terbaik datang menghampirimu dengan caranya yang menarik sekali.

Seperti sore yang tadi. Saat tiba-tiba saya mendapat ide untuk berbuka puasa di penjaja kopi keliling di gerbang kantor kami yang megah di belakang sana. Sementaranya, duduk-duduk menunggu sore yang beranjak habis, seorang kawan menyapa lewat aplikasi chatting ternama di dunia maya. Dia bertanya tadi, kiranya mengapa saya belum pulang padahal hari sudah sesore ini, tak seperti biasanya, katanya begitu. Saya tertawa sendiri membacanya. Lalu obrolan-obrolan singkat yang lain mengalir setelahnya, kami bicara tentang hal-hal yang sama sekali tak spesifik. Hingga akhirnya dia bercerita tentang kondisi keuangannya yang saat ini sedang tak terlalu bagus. Saya tanyakan padanya: “kenapa bisa seperti itu?”. Lantas dia menjawab bahwa semua uang yang dia miliki sudah jelas alokasinya. Dan obrolan itu jadi semakin asik.

Saya:” Saran saya begini: sebaiknya kamu segera jajanin uang yang kamu punya sekarang untuk sesuatu yang ga perlu, sekali-kali
Kawan-1: “Ga bisa, Kak. Kaya yang udah saya bilang tadi bahwa uang saya pas-pasan
Saya: “Ya, gapapa. Kamu jajanin barang atau apapun yang menurut kamu ga perlu aja, sekali-kali
Kawan-1: “Hah, saya ga kepikir ada sesuatu yang saya anggap ga perlu, Kak. Baju baru, celana baru, sepatu baru, tas baru, make-up baru. Saya pikir itu semua perlu
Saya: “(sambil tertawa lepas karena sedikit kaget mendengar jawabannya) Cool! Sekarang pikirkan, kamu cuma perlu jajan sesuatu yang menurut kamu ga perlu, sekali-kali
Kawan-1: “Apa contoh hal yang ga perlu?
Saya: “Saya gatau, hahaa. Pastinya itu cuma kamu sendiri yang tahu

Saya sudahi obrolan kami yang tadi sampai di situ. Saya biarkan dia berpikir sendiri dulu. Lanjut berpamit padanya untuk pulang, saya berjalan perlahan ke luar dari gedung ini. Dan pikiran saya masih berputar pada obrolan kami yang tadi. Untuk kemudian teringat pada obrolan yang lain di sore kemarin, bersama kawan yang lain.

Kawan-2: “Kamu tadi buka puasa makan apa?
Saya: “Saya makan sapo tahu
Kawan-2: “Wah, enak. Saya suka sapo tahu
Saya: “Sebenarnya saya kurang suka sapo tahu
Kawan-2: “Loh, kenapa tadi kamu makan sapo tahu?
Saya: “Kayanya saya ga selalu makan yang saya suka
Kawan-2: “Ah!

Heheu. Kadang saya berpikir, bahwa menjalani hal yang tak saya sukai adalah seperti melihat sesuatu dari sudut yang berbeda. Hingga akhirnya saya mengetahui alasan di balik mengapa saya tak menyukai hal tersebut. Untuk kemudian saya menyadari pula alasan mengapa orang lain malah menyukai hal yang tidak saya sukai. Saya merasa pikiran saya lebih terbuka setelahnya. Saya tak lagi sekedar membiarkan orang lain berbeda dari saya, tapi lebih jauh dari itu, saya pikir saya mulai memahami mengapa kami ditakdirkan menyukai hal yang berbeda.

Dan mungkin sama saja, saat kemarin sore saya memutuskan untuk membeli sebuah jam tangan yang menurut saya sangat-sangat mahal. Dengan segenap kesadaran, saya eling sepenuhnya, bahwa nantinya jam tersebut tak akan pernah lebih dari sekedar jam saja. Akan tidak terlalu berguna, tapi tetap saja, saya ingin membelinya. Saya hanya ingin mengetahui alasan mengapa saya selalu berpikir bahwa membeli barang mahal tak masuk akal ini bukanlah hal yang saya sukai. Sekali-kali. :)

Cikarang, 4 Juli 2014