Jumat, 18 Juli 2014

Kartini (2) : Menjelang Ulang Tahun

Dan hari ini, tepat 5 tahun sudah gadis cantik itu pergi. Yang bila ingin lebih tepatnya lagi, maka akan saya sebutkan bahwa saat itu adalah di suatu pagi yang biasa di kota kami, mungkin pukul delapan hingga sembilan. Dimana pagi itu, pergilah dia diantar sang pemujanya yang jatuh bersedih sekali, mungkin karena terlalu terbawa suasana. Berikut juga seorang anak perempuannya yang tak henti tersedu di pelataran rumah sakit yang belum ramai, dengan Kota Curup yang diam memperhatikan. Juga lelakinya yang paling tampan yang saat itu tengah duduk sendiri di dalam kamar kos-kosan di daerah Bandung Utara mendengar kabar. –Dan apakah kamu tahu? Bahwa lelaki tertampannya itu adalah saya. ;)

Saya tiba di rumah merah jambu itu di setengah sebelas malam, lepas sebuah perjalanan yang sedikit panjang. Dan saya tiba, gadis cantik itu ternyata tengah beristirahat di antara gema lantunan Surah Yaasin di ruangan tengah rumah kami yang besar dan penuh dengan tetangga dan sanak saudara. Saya hampiri dia, ucapkan salam pelan-pelan, duduk yang manis, dia pasti gembira sekali. :)

Hingga di pagi menjelang siangnya yang ketiga, dan saya tahu, bahwa tak lebih dari dua hari lagi maka si cantik itu akan berulang tahun. Nah, waktu itu saya sedikit yakin, bahwa menghadiahi dia dengan sebuah tulisan ini adalah rencana yang mungkin bisa membuatnya tersenyum, atau bahkan tertawa –kami memang biasa melakukan kegiatan itu bersama-sama. Dan di atas pembaringan tempat dia biasa melepas lelah di hari-harinya yang biasa itu pula, saya tuliskan hadiah ini: sebuah hadiah ulang tahun. Sebuah tulisan sebagai bentuk hadiah yang nantinya saya bacakan tepat di depan kuburnya yang basah oleh guyuran air sungai saat hari ulang tahunnya itu datang, di antara kembang Kemboja dan melati yang baru saja lepas tertanam.

***
Untuk Kartiniwati Binti Abbas dan Semua Perjalanan Sebelumnya

Ada cerita yang terlalu sakral untuk dituangkan dalam barisan huruf, kata, kalimat.
Karena kian panjangnya jalan cerita, kian dalamnya hikmah, kian jauhnya layang mata memandang tak ada habisnya.
Tapi mengangkatnya jadi barisan kata-kata sederhana mungkin menjadikan diri sedikit lega, longgar beban rindu menghimpit hati jauh, bikin membiru.

Ada cerita yang terlalu eksotik untuk ditelantarkan di gudang memori tidak terpakai.
Karena khasnya bayangan masa lalu yang lewatannya ringan sekali melangkah masuk ke rongga dada, tapi susah sekali keluar lagi.
Semoganya bisa buat berpuas diri mabuk dalam kenangan bersama yang asik khas dahulu, tapi tak lupa berjalan lagi saat hati cerah kembali.

Ada cerita yang terlalu dramatis untuk dipandang sebelah mata, enggan ditilik dengan teliti.
Karena setiap detiknya adalah angin-angin dari surga, kicau-kicau burung pagi hari, derai hujan padang gurun terpanas.
Maka bayarlah lunas semua harga dengan kedermaan jiwa, kelapangan ingatan, biar berpuas semua diri, raga, rohani.

Ada cerita yang terlalu berdebur keras untuk disimpan dalam keheningan hati.
Karena kisahnya terlalu tepat menghujam sisi melankolis yang paling dalam, terlalu garang menghempas batas nurani yang paling lembut.
Dan mau tak mau, kisah ini jadi abadi mustahil terlupa.
Meski mungkin nanti semua serba jauh, oleh batas waktu-ruang-niatan.

Ada cerita yang terlalu menggembirakan untuk disambut dengan tawa, suka-suka.
Karena hakikat jalanan ceritanya tak terbatas akal, logika, dan kesadaran, tapi naluri keikhlasan berbuat dalam tetes keringat atau lebih lagi.
Hingga jatuhnya tiap tetesan air mata bukanlah luapan kesedihan berlebih, tapi ungkap kesyukuran dalam bahasa yang lebih tulus berperasaan sekaligus matang dalam logika.

Sebuah hadiah ulang tahun untuk Ibu (semoga dia suka...).
Ditulis di atas kasur tempat biasa dia berbaring melepas lelah, 220709.

Cikarang, 18 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar