Jumat, 04 Juli 2014

Di Pojok Sore (13) : Perlu Tak Perlu

Menjelang penghujung sore dimana kamu sedang merasa luar biasa adalah suatu pertanda bagus. Sebaiknya kamu berdiam saja dulu di situ, menunggu dialog-dialog terbaik datang menghampirimu dengan caranya yang menarik sekali.

Seperti sore yang tadi. Saat tiba-tiba saya mendapat ide untuk berbuka puasa di penjaja kopi keliling di gerbang kantor kami yang megah di belakang sana. Sementaranya, duduk-duduk menunggu sore yang beranjak habis, seorang kawan menyapa lewat aplikasi chatting ternama di dunia maya. Dia bertanya tadi, kiranya mengapa saya belum pulang padahal hari sudah sesore ini, tak seperti biasanya, katanya begitu. Saya tertawa sendiri membacanya. Lalu obrolan-obrolan singkat yang lain mengalir setelahnya, kami bicara tentang hal-hal yang sama sekali tak spesifik. Hingga akhirnya dia bercerita tentang kondisi keuangannya yang saat ini sedang tak terlalu bagus. Saya tanyakan padanya: “kenapa bisa seperti itu?”. Lantas dia menjawab bahwa semua uang yang dia miliki sudah jelas alokasinya. Dan obrolan itu jadi semakin asik.

Saya:” Saran saya begini: sebaiknya kamu segera jajanin uang yang kamu punya sekarang untuk sesuatu yang ga perlu, sekali-kali
Kawan-1: “Ga bisa, Kak. Kaya yang udah saya bilang tadi bahwa uang saya pas-pasan
Saya: “Ya, gapapa. Kamu jajanin barang atau apapun yang menurut kamu ga perlu aja, sekali-kali
Kawan-1: “Hah, saya ga kepikir ada sesuatu yang saya anggap ga perlu, Kak. Baju baru, celana baru, sepatu baru, tas baru, make-up baru. Saya pikir itu semua perlu
Saya: “(sambil tertawa lepas karena sedikit kaget mendengar jawabannya) Cool! Sekarang pikirkan, kamu cuma perlu jajan sesuatu yang menurut kamu ga perlu, sekali-kali
Kawan-1: “Apa contoh hal yang ga perlu?
Saya: “Saya gatau, hahaa. Pastinya itu cuma kamu sendiri yang tahu

Saya sudahi obrolan kami yang tadi sampai di situ. Saya biarkan dia berpikir sendiri dulu. Lanjut berpamit padanya untuk pulang, saya berjalan perlahan ke luar dari gedung ini. Dan pikiran saya masih berputar pada obrolan kami yang tadi. Untuk kemudian teringat pada obrolan yang lain di sore kemarin, bersama kawan yang lain.

Kawan-2: “Kamu tadi buka puasa makan apa?
Saya: “Saya makan sapo tahu
Kawan-2: “Wah, enak. Saya suka sapo tahu
Saya: “Sebenarnya saya kurang suka sapo tahu
Kawan-2: “Loh, kenapa tadi kamu makan sapo tahu?
Saya: “Kayanya saya ga selalu makan yang saya suka
Kawan-2: “Ah!

Heheu. Kadang saya berpikir, bahwa menjalani hal yang tak saya sukai adalah seperti melihat sesuatu dari sudut yang berbeda. Hingga akhirnya saya mengetahui alasan di balik mengapa saya tak menyukai hal tersebut. Untuk kemudian saya menyadari pula alasan mengapa orang lain malah menyukai hal yang tidak saya sukai. Saya merasa pikiran saya lebih terbuka setelahnya. Saya tak lagi sekedar membiarkan orang lain berbeda dari saya, tapi lebih jauh dari itu, saya pikir saya mulai memahami mengapa kami ditakdirkan menyukai hal yang berbeda.

Dan mungkin sama saja, saat kemarin sore saya memutuskan untuk membeli sebuah jam tangan yang menurut saya sangat-sangat mahal. Dengan segenap kesadaran, saya eling sepenuhnya, bahwa nantinya jam tersebut tak akan pernah lebih dari sekedar jam saja. Akan tidak terlalu berguna, tapi tetap saja, saya ingin membelinya. Saya hanya ingin mengetahui alasan mengapa saya selalu berpikir bahwa membeli barang mahal tak masuk akal ini bukanlah hal yang saya sukai. Sekali-kali. :)

Cikarang, 4 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar