Senin, 30 September 2013

Jayagiri: Sebuah Pengantar

Bukit rendah di timur gerbang Jayagiri
Adalah sebuah desa di kecamatan Lembang, Bandung Barat. Namanya Jayagiri. Nama suatu daerah yang menjadi lebih dikenal berkat sebuah lagu berjudul “Melati dari Jayagiri”, gubahan seorang seniman dan pendaki gunung senior asal kota Bandung, abah Iwan Abdurrahman, di tahun 1968. Saya tak akan membahas kontroversi seputar lagu ini di sini, karena saya benar tak terlalu peduli tentang ada atau tidaknya tangkai melati di Jayagiri. Tapi yang jelas, baris sajak di lagu ini memang dengan gemilang berhasil menggambarkan keindahan Jayagiri dengan luapan emosi yang tak sedikit. Atau juga lagu “Jayagiri” karya Doel Sumbang yang menggambarkan Jayagiri sebagai sebuah cerita cinta. Ah, sama bagusnya saya kira.

Saya sendiri selalu mengingat Jayagiri sebagai gugusan aneka pepohonan hijau di lembah-bukitnya berikut kumpulan cerita yang asik di suatu pagi yang biasa. Di dalamnya juga aliran sungai jernih yang beberapa, dan angin-angin dari Tangkuban di atas sana. Dulu, saya biasa tiba di tempat ini di kisaran jam 6 pagi. Saat udara sekitar masih sedikit terlalu dingin, dengan suara fauna nocturnal hutannya yang sekali-kali, dan pos penjaga gerbang yang masih kosong. Begitu yang selalu saya ingat, selepas baris mahoni meraksasa di sepanjang jalannya menuju ke sini hampir habis di pelataran gerbang beratap ilalang itu.

Saya akan lebih senang berdiam di Jayagiri di sekitar sini saja. Di dekat sebuah warung penjaja sarapan sederhana tak jauh dari gerbang - ah, ternyata saya sudah lupa nama ibu penjaga warungnya, mungkin saya memang sudah terlalu lama tak mampir ke sana, heheu. Di sini, mungkin tak banyak yang tahu ada gugusan Eucalyptus di bawah sana, juga aliran sungai kecil memanjang sejernih-jernih bermuara ke suatu pesawahan sempit dan keluarga pak tani di salah satu sudutnya. Atau bentukan bukit di belakang sana dengan kemiringan tanahnya yang lebih rendah, saat bergoyang gesekan dedaun pinusnya ditiup angin pagi musim kemarau, hingga terdengar tiupan serupa bunyi seruling mengiang di reguk kopi yang tadi dibawa-bawa dari bawah sana.

Ya, saya memulai mengenal Jayagiri dari titik ini. Saat itu belumlah berniat langsung menapaki setapak jalanan menanjak menuju utara yang berliku dan rasa lelahnya yang hampir pasti. Saya memilih berdiam saja sedikit lebih lama di sekitar sini. Saya merekam, saya memperhatikan. Saya berpikir, bila nanti saatnya tiba, saya akan mencoba menapaki Jayagiri lebih jauh dari sini, tapi kini tak perlulah terburu-buru dulu. Begitu saya berpikir waktu itu. :)
Cikarang, 30 September 2013

Sabtu, 28 September 2013

Pertanyaan Berulang dan Liska Berlian

Di antara lantunan penyanyi cafe asik tembangkan hits milik Andre Hehanusa dan udara malam Bandung yang segar, dia bercerita banyak hal dan apa saja. Sesekali saya memberikan komentar sederhana yang kadang mungkin tidak terlalu nyambung juga (heheu), tapi banyaknya saya mendengarkan saja. Senang saya menyimaknya. Hingga tiba di suatu giliran, saat dia membahas tentang hal-hal yang tidak terlalu dia sukai. “Ah, aku tak terlalu menyukai diberi pertanyaan serupa yang berulang, apalagi saat aku tengah merasa letih, fuhh, waktunya sungguh tak tepat.”, begitu dia berujar. Mendengarnya saya tersenyum sendiri, diam saja, mendengarkan saja.

***

Saya teringat. Saya juga begitu hingga beberapa waktu yang lalu. Sama persis seperti itu. Saya benar tak menyukai diberi pertanyaan serupa yang berulang-ulang. Saya kesal bila diberi pertanyaan seperti itu. Inginnya, bila saya sudah pernah menjawab sekali, saya ingin orang yang bertanya tersebut langsung mengerti, dan jangan bertanya pertanyaan yang sama lagi nanti-nanti. Ahahaa. Tapi beruntungnya, saya memiliki seorang kakak perempuan yang sangat manis. Dia mengajarkan saya tentang banyak hal, dan sangat betah membantu saya memahami beberapa hal di antaranya. Dia jarang berbicara frontal di depan saya dengan menyalahkan, marah atau sejenisnya. Banyaknya dia hanya mengikuti dulu saja apa yang saya inginkan. Dan bahkan terkadang dia sampai meminta maaf sambil tersenyum bila di suatu saat dia memberikan saya pertanyaan berulang dan saya malas menjawab atau menjawabnya dengan nada yang tidak menyenangkan (ah, saya jadi malu mengingatnya, hahaa).

Dan hingga di suatu ketika, akhirnya saya menyadari bahwa itu hanyalah sebuah pertanyaan, tak lebih dari itu. Tak lebih dari itu. Dan saya mungkin tinggal memberikan jawaban saja, juga dengan cara yang lebih menyenangkan. Saya pikir, saya benar tak layak berbicara dengan nada bicara yang tidak menyenangkan di depan dia. Terserah dia mau mengajukan pertanyaan berulang, atau di waktu yang saya nilai tidak tepat, atau apapun. Mungkin dia hanya lupa kalau sudah pernah memberikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, atau sebelumnya dia belum terlalu mengerti dengan jawaban yang pernah saya berikan, atau dia hanya ingin bertanya lagi saja, saya pikir sama saja. Tak selamanya juga dia harus selalu mengikuti suasana hati saya terlebih dahulu untuk bertanya tentang banyak hal. Begitu kan ya? :)

Tapi saya tak pernah menyesal pernah bertindak tidak menyenangkan seperti itu, bahkan terhadap orang-orang terdekat yang menyayangi saya sekalipun. Karena saya tahu, bahwa belajar memahami adalah masalah waktu. Saya mungkin hanya perlu waktu sedikit lebih panjang untuk akhirnya bisa mengerti.
Didedikasikan untuk Liska Berlian dan terima kasih untuk pengertiannya. :)
Bandung, 29 September 2013

Jumat, 27 September 2013

Kabar Dari Bandung

Saya mendengar kabar, Bandung sore ini diguyur hujan. Ah, mendengarnya saja saya sudah senang. Entah bagaimana saya merasa seperti sangat diberkati saat melihat hujan sore mengguyur kota itu. Tak peduli saya melihatnya dari titik mana, tapi saya pikir hujan di kota itu semuanya mirip, seperti itu. Seperti sesuatu yang mendamaikan, berikut nuansa riang-gembiranya yang menyatu dalam tarian sore anak-anak yang berlarian di tengah hujan. Benar begitu saya menilai dan mengingatnya. :)

Sekarang teringat, bahwa hampir sebagian besar tulisan saya dulu-dulu bercerita tentang hujan di Bandung tengah sore. Tentang apa saja. Seperti tulisan yang saya tulis di akhir 2008 ini. Kalau tak salah, saya menulisnya di bulan Oktober 2008 di kampung yang ceria itu, Cilimus. Saat sendiri melihat hujan mengguyur Bandung dengan gembira. Saya masih ingat, di siangnya yang mendung itu saya lepas berjalan kaki dari Kampus Gajah di tengah kota. Melepas letih, saya tidur-tiduran tapi tak kunjung juga jatuh terlelap. Dan saat rintik hujan satu-satu mulai turun dan terdengar, saya keluar. Duduk sendiri di depan teras kamar kos-kosan, di hadapan pot bunga krisan merah tua yang saya rawat dari pedagang bunga di depan itu. Ah, masa itu. Saat-saat dimana saya mulai merasa bahwa belajar itu adalah tentang suka-suka. :)
Cikarang, 27 September 2013

***

Kabar Dari Bandung

Bulir-bulir hujan turun jatuh pada serangkaian bunga mangga yang menggantung.
Jadikan tetesannya satu-satu yang ramai sekali saat jatuhannya mampir di tiap sudut-sudut daun.
Kemudian meneteslah lagi.
Mengalirlah sampai jauh sekali.

Wahai Sang Panembrama.
Kau tahu, saat ini hujan datang, dan ceritapun datanglah.
Ditemanimu dalam gerak diam burung-burung pembawa risalah hujan.
Menembang cerita keseharian tanah ini yang ramah dalam tepa slira, senyum penghias, serta dialog singkat tapi selalu saja sarat hikmah.
Menambah jelang sejoli, bergerak cintanya, kala tersenyum, tawa, serta malu-malunya asik berniaga dengan jutaan kisah kasmaran.
Asik berniaga dengan jutaan basahnya sore Priangan diguyur hujan.

Bandung, akhir 2008

Rabu, 25 September 2013

Bandung Di Sana Tengah Hajatan

Pagi Cikarang sedang cerah-cerahnya tadi. Saat berjalan pelan mengendarai motor pinjaman dari seorang kawan yang saat ini sedang berada di Singapura. Saya berujar sendiri di perjalanan tadi: “jarak 100 kilometer itu tak jauh!”. Sambil tertawa di hati saya menyanggah sendiri: “bila tak jauh, lalu mengapa saya masih di sini?”. Menjawab lagi: “sekarang saya mau berangkat bekerja dulu”. Lalu terakhir, saya menjawab dengan kompak dan senang: “Ya, oke kalau begitu!”. Dan sekarang saya sambung lagi ceria yang tadi sempat terselip penggal obrolan saya yang lain. Hah.

Masih tadi, siang Cikarang seperti sedang berpesta-pesta. Mataharinya luar biasa. Dalam obrolan yang singkat, akhirnya saya mengajak seorang kawan untuk keluar dulu sebentar dari sini. Kami menikmati santapan alakadarnya, juga air hangat yang habis bergelas-gelas. Sambung tukar bicara, kami ceritakan semua hal, tak ada yang spesifik. Memang kami tak berniat bicara serius-serius, hanya melantur kemana-mana. Atau kadang diselingi kelakar penjaga warung dan pengunjung lain yang sama saja. Kami semua menikmati panas Cikarang di bawah sini.

Sore menjelang ashar yang ini. Saat Cikarang diterjemahkan lewat jendela kaca yang besar sebagai lambai mahoni ditiup angin-angin dan mandi cahaya. Duduk saja saya diam melihat ke luar kini. Seperti diajak berdialog sebentar, saya berucap lagi: “100 kilometer itu tak jauh!”. Sambil tersenyum sendiri saya mengalah, “Ya, jarak itu hanya masalah tempuh!”.

Selamat hari pindah ke Alun-alun, Bandung. :)
Cikarang, 25 September 2013

Selasa, 24 September 2013

B E L A J A R (2)

Sepanjang sore yang menarik. Menjalaninya dengan seorang kawan yang lain. Saat lepas magrib yang ini kami berjalan bersama-sama, obrolkan satu cerita dengan tema yang lebih spesifik dari yang kemarin-kemarin. Darinya, saya menyadari bahwa saya tak tahu apa-apa dibanding dia. Padahal bila (harus) membandingkan dari jenjang pendidikan, saya mungkin beberapa kali berada di atas kawan tersebut. Tapi nyatanya, di sini saya dibuatnya merasa tak tahu apa-apa. Dan di detik itu pula, saya diajarkannya dengan baik dan sangat perlahan. Saya mendengarkan.

Sama halnya seperti dulu-dulu. Saat saya sesekali mengajak kawan-kawan dari Kampus Gajah yang terkenal pintar itu untuk mendatangi beberapa kawan di Sasana Budaya Ganesha sedang berlatih wall-climbing di dinding-dindingnya beraneka bentuk dan warna. Dilihat sekilas, terlihat sangat sederhana, dan dengan sedikit perhitungan sepertinya semua orang bisa melakukannya, hanya begitu-begitu saja. Lepas saling memperkenalkan mereka, saya meminta kawan-kawan dari kampus gajah untuk mencobanya juga, menapaki points di dinding-dinding itu satu persatu. Mencoba beberapa kali, dan ternyata susah. Tak genap 6 point saja, kawan-kawan tersebut terjatuh. Tak kuat bercampur susah memindahkan tangan dan kaki di formasi points yang kelihatannya gampang-gampang saja tadi. Ah, ternyata tak semudah itu ya? :)

Berulang kali saya ucapkan ini. Bahwa setiap kita hebat di ceritanya masing-masing. Selama tak saling merasa lebih hebat satu sama lain, saya pikir kita akan merasa lebih senang dalam berkawan dan menjalani cerita sehari-hari. Tak perlulah merasa besar kepala, karena hidup tak pernah bercerita tentang satu hal yang kita kuasai saja. Kadang dibuatnya kita merasa sangat gemilang di satu cerita, kadang dibuatnya kita merasa hilang tak tahu apa-apa di cerita yang lain. Hingga sebagian kita kadang menjadi minder lalu mundur teratur kembali ke zona nyamannya sendiri, padahal saya pikir benar tak perlulah seperti itu. Cukup dengan merasa masih saling belajar, berdialoglah kita lebih asik dan terbuka dalam dinamika keseharian di angin-angin sore menjelang malam yang ini atau kapanpun. Lebih asyik.
Cikarang, 24 September 2013

Minggu, 22 September 2013

Pagi di Jababeka

Subuh sabtu. Di tengah rasa kantuk, akhirnya saya terbangun juga. Teringat bahwa pagi ini ada janji bertemu dengan seorang kawan baik di kota itu. Berencana menggunakan jasa bus komersil jam 6 ini, bergegas saja saya menuju kamar mandi. Setelahnya tunaikan doa sejenak, berucap syukur yang sekali-sekali, saya bersiap. Dengan ransel hijau itu, beberapa lembar baju dan peralatan lain saya siapkan. Harapannya biar lebih asik nanti di Bandung, tak kurang apa-apa.

Pagi lepas pukul 5.20, terang langit masih malu-malu. Saya berjalan meninggalkan bangunan putih itu, mencari ojeg di pangkalan dekat kos-kosan yang biasanya ramah menawarkan jasa dengan biaya yang biasa. Ternyata belum ada, semua masih sangat sepi. Walau akhirnya menunggu tak genap 5 menit, sudah ada yang menghampiri saya entah dari mana. Perjalanan kami itu dekat, hingga 5 menit berselang, saya sudah berdiri di hadapan 4 bus bertuliskan Bandung – Jababeka berjejer rapi di pinggir jalanan besar ini. Udara masih sangat segar, beranjak, saya naiki bus terdepan. Terlihat tak lebih dari 10 orang sudah duduk bersantai di barisan kursi warna biru tua. Saya pilih kursi kosong di baris ketiga sebelah kiri, biar matahari pagi bisa langsung menemui saya di sepanjang perjalanan menuju timur nanti.

Keberangkatan bus masih cukup lama, setidaknya 25 menit lagi. Setelah menyimpan ransel di atas kursi biru itu, saya melangkah turun menuju sebuah warung kecil penjual kopi yang sederhana. Di bawah sana, terlihat sekumpulan supir dan kernet bus tengah asik minum kopi-mengobrol di lapak warung yang sempit. Lepas memesan kopi panas, saya memilih memisah dulu dari kumpulan bapak-bapak yang menyenangkan ini. Saya hanya sedang ingin duduk sendiri dulu, menikmati pagi di sini yang sekali-kali.

Kursi sederhana di bawah rindang Mahoni 2-3 tahunan ini pun jadi tujuan. Di bawahnya saya menghirup pagi Cikarang pelan-pelan di antara langit yang tengah mendung, tapi tidak dengan saya di sini. Diantarnya semua lamunan tentang seri perjalanan dulu dan kini yang liar, jauh dan melelahkan, tapi tetap saja asik. Hingga, entah bagaimana, membawa saya ke sini, di detik ini, saat Bandung menjadi tujuan saya bersiap sepagi tadi. :)
Cikarang, 23 September 2013

Kamis, 19 September 2013

Mencari

Tidaklah masalah kamu ingin pergi jauh mencari tahu siapa dirimu. Mencari tahu apa yang kamu mau, atau pernyataan-pernyataan sejenis yang lain. Benar! Sekarang pergilah kamu dalam gembira dan doa-doa, semoga perjalananmu nanti tetap terjaga dalam cerita-cerita yang baik dan menenangkan. Begitu saja doanya. :)

Saya jadi teringat. Seorang kawan pernah berkisah bahwa dulu dia pernah mencari tahu siapa dirinya lewat ribuan perjalanan dan renungan panjang yang melelahkan. Pergilah dia ke seluruh penjuru negeri, hutan, gunung, laut, samudera. Untuk kemudian merenung dan mulai menemukan singkapan-singkapan yang menggugah. Juga seorang kawan yang lain lagi akhirnya berucap, sejauh dan sebetahnya saya melelana, akhirnya saya hanya ingin pulang, kembali ke pelukan kekasih. Ah, bisa sekali dia mengungkapkannya. Kekasih. Siapa atau apa yang dia maksud dengan kata itu? Saya pikir mungkin ada baiknya saya tak perlu menjawab lebih jauh. Biarkan saja itu menjadi ungkapan yang multi-arti. Karena benarnya itu memang berbeda di tiap penerjemahannya. Terlalu sendiri-sendiri.

Dan sekarang pergilah kamu mencari tau siapa dirimu. Tebuslah dengan lalui hutan-hutan terlebat nan misterius, laut-laut dengan ombaknya yang menghajar, pantai hangat dengan anginnya yang semilir, lewat tutur bahasa yang berbeda dan kebiasaan-kebiasaan yang serba baru. Lewat pengalaman hidup yang bermacam, saya yakin akhirnya nanti kamupun akan mengerti. Bahwa yang kamu cari selama ini ternyata sangatlah dekat. Jauh lebih dekat dari yang kamu anggap sangat dekat sekalipun. Meski untuk mengetahuinya terkadang harus melalui cerita-cerita terkeras terlebih dahulu. Ah, itu bukan masalah juga saya pikir. Biar saja. Bila kamu inginnya seperti itu, maka lakukanlah seperti itu. :)

Saya tak akan berbicara padamu lebih jauh dari ini. Bahwa yang kamu cari mungkinlah sangat dekat dari tempat kamu berdiam saat ini. Dan bila nyatanya kini kamu tetap menjawab “tak ada!”, maka sekarang pergilah mencarinya sejauh yang kamu mau. Di satu titik tertentu, saya yakin, kamu akan menemukannya dengan kembali.

Saya tak menganggap saya sudah menemukan apa yang saya cari. Tapi sejauh ini, inilah yang saya tahu. Mungkin saja ternyata saya masih salah. Ah, tapi tidak masalah juga kalau nyatanya saya salah, biar saja :)
Cikarang, 19 September 2013

Selasa, 17 September 2013

Siapa Saya (3)

Tadi sore sepulang kerja, seperti biasa melihat beberapa kawan kantor tengah asik bermain tenis meja di halaman. Antrian bermainnya masih terlalu panjang, hingga akhirnya saya memilih untuk berkeliling kompleks kantor saja, melihat-melihat. Hingga tiba di satu tempat, saya melihat kucuran air di selang plastik berwarna putih yang biasa digunakan oleh seorang kawan yang lain untuk menyiram semua tanaman di taman ini. Melirik, saya coba memperhatikan. Kemudian mengambil selangnya, saya siramkan air segarnya ke semua bagian taman hingga merata. Mungkin habis setengah jam sudah saya beraktivitas seperti itu. Dan saya suka. :)

Dulu, di kampung, almarhumah ibu saya memiliki usaha kecil-kecilan berjualan aneka bunga dan pohon hias di pekarangan depan rumah kami, di pinggir jalan besar. Di sana, Ibu menjual bermacam tanaman hias seperti bunga krisan aneka bentuk yang warna-warni, mangga arum-manis, strawberry, kemboja merah muda, palem kipas, kembang kertas, jeruk manis dan nipis, ah banyak sekali, sebagian besar saya lupa namanya. Dijejerkan rapi-rapi, sejuk sekali. Setiap hari tanaman-tanaman ini dirawat oleh ibu dengan segenap rasa senang dan syukur yang melimpah. Dibersihkan rumputnya, ditambahkan tanahnya bila mulai berkurang, diberi pupuk biar tumbuhnya semakin riang, sedap dipandang. 

Di rumah, hanya saya dan ibu yang suka merawatnya, sedang ayah dan kakak sepertinya memang kurang terlalu tertarik, heheu. Hampir setiap pagi dan sore saya membantu ibu beraktivitas di sini. Saat pagi, selepas sarapan, saya akan keluar rumah menuju pekarangan berbekal gunting dan cangkul kecil membersihkan daun-daun kering dan rumput liar yang selalu saja ada. Sedang sorenya, saya akan menyiram semuanya satu persatu. Kami tak memiliki selang panjang atau air ledeng untuk menyiram tanaman-tanaman ini. Sehingga untuk bisa menyiramnya, saya harus membawa beberapa ember plastik ukuran 10 liter menuju sungai kecil jernih yang mengalir di depan rumah. Dengan gayungnya, saya siramkan air-air itu menimpa semua. Segar sekali melihatnya. Saya senang sekali dengan rutinitas itu. Saya ingat saya tak pernah sekalipun merasa lelah saat melakukannya. Benar begitu!

Dan sore ini, saat rumput-rumput dan pepohonan kecil tadi menjadi basah di halaman kantor kami yang hangat, saya jadi teringat. Bahwa saya adalah anak seorang gadis penjual bunga yang warna-warni. Saya besar di bawah kesejukan pekarangan kami di waktu malam, dan cengkerama hangat bersama ibu dan bunga-bunganya yang tumbuh riang gembira. Saya tak merasa kecil atas itu semua. Bahkan saya merasa sangat mewah karenanya. :) Saya tersenyum kini. Saya tahu, saya merasa hidup dengan guyuran air jernih di sore cerah menimpa dedaunan, seperti sore yang tadi. Saat saya merasa ibu sedang memperhatikan dari teras rumah kami yang selalu bersih di jauh sana, seperti biasa, seperti waktu yang dulu-dulu. :)
Salam, Bu. :)
Cikarang, 17 September 2013

Senin, 16 September 2013

Vicky Prasetyo

Dua minggu ini sepertinya media massa sedang kompak untuk tak habis-habisnya membicarakan hal ini. Membahas seorang pria 29 tahun dengan nama lahir Hendriyanto, atau lebih dikenal dengan nama Vicky Prasetyo. Dari puluhan berita tersebut, saya melihat dan mendengar semua ungkapan-ungkapan berikut bahasa inggris dari Vicky yang dianggap aneh dan sedikit sok intelek oleh kebanyakan orang. Tak habisnya Vicky dihujat, sampai di satu titik saya merasa bahwa semua orang mulai berlebihan. Jujur saja, sebenarnya saya juga pernah menertawakan ungkapan-ungkapan yang dia ucapkan, tapi tak banyak. Saya benar tak mempermasalahkan apapun ungkapan yang ingin dia ucapkan. Di mata saya, dia boleh berucap apapun yang dia mau. Kalau dia memang suka berbicara seperti itu, maka biarkan saja dia bicara seperti itu.

Di perjalanan, saya banyak bertemu dengan orang-orang yang berbicara sedikit mirip seperti itu (tapi tak separah Vicky juga sih, :D). Benar! Mulai dari tukang becak hingga akademisi, macam-macam, -atau bahkan mungkin saya sendiri yang berbicara seperti itu. Banyaknya saya hanya berusaha tetap menghormati sebisanya. Toh saya pikir itu tak merugikan siapa-siapa. Saya pikir mungkin mereka hanya suka saja berbicara seperti itu. Kadang memang saya menertawakan juga di dalam hati, tapi setelah itu sudah. Berikutnya saya tak akan menganggapnya masalah lagi. Saya hanya berniat membantu agar semua merasa betah berbicara. Tak lebih dari itu.

Saya bukan membela Vicky. Saya benar tidak menyukai tindak penipuan yang dikabarkan pernah dilakukannya (itupun kalau memang benar dia melakukan semua penipuan itu). Saya pikir, sepertinya esensi fenomena Vicky ini mulai dibuat kabur, jadi samar-samar. Sekarang kebanyakan orang sepertinya lebih senang menyoroti bahasa inggris dan ungkapan-ungkapannya yang dinilai aneh, lalu membuatnya jadi lelucon-hinaan yang berkepanjangan. Saya nilai, mungkin dia memang salah untuk semua tindak penipuan yang pernah dilakukannya, tapi saya pikir jadi kurang asik bila gaya bahasa yang digunakannya jadi bahan olok-olokan dari pagi buta hingga tengah malam tiba.
Cikarang, 16 September 2013

Rabu, 11 September 2013

Maelita Ramdhani Muis

Dulu saya pernah menjadi asisten pengajar di suatu kelas perkuliahan. Saya ingat betul, saya sering sekali ditanya oleh mahasiswa-mahasiswa saya waktu itu, dan terkadang saya menjawab: “ah, saya lupa” atau “saya tidak tahu”. Sedang wajah mahasiswa yang bertanya tersebut menjadi berkerut. Saya tidak tahu pasti apa yang mereka pikirkan saat itu. Mungkin seperti: “ah gimana nih dosen, masa kalau ditanya jawabannya sering ga tau?”. Kalau memang seperti itu, saya benar tak akan mempermasalahkan, karena memang benarnya saya lupa, atau memang tidak tahu. Terpikir untuk malu? Ah, biasa saja saya pikir. Toh semua orang sedang belajar kan ya? Termasuk juga saya dan semua orang. Untuk besok-besoknya saya akan mencoba mempersiapkan diri lebih baik, semoganya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari semua.

Sebenarnya saya akhirnya memutuskan untuk mencoba berani seperti itu karena suatu cerita yang pernah saya alami sendiri. Saat itu saya masih duduk menimba ilmu di Kampus Gajah. Di kelas seorang dosen yang kebanyakan orang (atau setidaknya saya sendiri) menilai beliau adalah sosok yang jenius. Di kelas itu, kami para mahasiswa sering sekali bertanya banyak hal tentang pelajaran yang dibawakannya. Banyaknya beliau bisa menjawab dengan baik semua pertanyaan-pertanyaan kami. Tapi menariknya, beliau tak pernah segan untuk menjawab dengan tersenyum: “saya tidak tahu, nanti saya cari dulu jawabannya”. Bukan sekali-dua kali, beliau sering seperti itu. Tapi hal-hal itu lah yang memantapkan pikiran saya bahwa dosen ini memang pintar. Dia selalu berusaha mempertanggungjawabkan apa yang diucapkannya. Mungkin dia tak pernah berpikir ingin terlihat hebat di depan mahasiswa-mahasiswanya. Walau mungkin kalaupun dia menjawab asal-asalan pun kami tak akan tahu juga. Kemegahan mental yang seperti itu lah yang sangat saya kagumi dari beliau. Di sana beliau tidak hanya mengajarkan kami tentang materi perkuliahannya yang super rumit, tapi juga lebih dari itu. Sesuatu yang saya pikir lebih besar untuk dapat dipelajari.

Hingga sekarang, saya masih mencoba mencontoh beliau. Untuk belajar memegahkan mental terhadap masalah dan pertanyaan yang saya hadapi kini dan nanti. Meski seringnya sekarang saya masih terlalu sering gagal, tapi saya pikir bukan masalah. Karena saya pikir terlihat kurang kompeten di hadapan orang tidaklah semenyedihkan sesuatu yang ternyata palsu. Buat apa.
Didedikasikan untuk Ibu Maelita Ramdhani Muis, dan salam hormat untuk beliau.
Cikarang, 11 September 2013.

Selasa, 10 September 2013

Apakah Harus Merasa Senang?

Teringat tadi obrolan yang menyenangkan. Berdialog singkat jarak jauh dengan seorang kawan yang malu-malu. Saat saya berkomentar: “Ah, tidak harus, tidak ada yang harus, biar saja”. Serunya kemudian lanjutnya dia bertanya lagi: “Ya, berarti harus santai aja”. Saya menyambung: “Santai juga ga harus :)”. Sepertinya dia langsung berkerut-kening tadi, untuk kemudian bertanya pertanyaan pamungkas: “Kalau senang harus ga?”. Saya jawab: “tidak juga”. Dia menyambung: “ah, malas banget kalau bete-betean”. Saya tutup obrolannya: “kalau begitu, jangan bete-betean, :)”. Mungkin kerut-keningnya bertahan sedikit lama tadi. Saya senyum-senyum saja di sini.

Saya pikir, mendefinisikan sebuah keharusan itu bukan cara yang terlalu baik untuk bisa memahami nilai-nilai sekaligus menikmati sebisanya. Saya lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang saya pikir baik, dan tak merasa diharuskan untuk melakukannya -tentunya sesuatu yang saya pikir baik itu bukan berarti bertindak seenaknya juga, karena nyatanya saya hidup dengan yang lain kan ya? Heheu. Saya hanya akan melakukan sesuatu karena saya ingin melakukannya dan tahu. Saya akan bersedih saat saya menginginkannya. Atau saya akan merasa senang saat saya memutuskan untuk menginginkan itu. Tak perlu diharuskan. Kenapa mesti diharuskan juga? Toh apa yang saya jalani adalah apa yang saya miliki.

Tapi memang, mungkin bagian tersulitnya adalah menyelaraskan keinginan pribadi secara layak. Tapi bukan juga berarti kita tak boleh salah dalam bertindak. Karena berbuat salah lah yang membuktikan kita bukan malaikat. Cukup dengan berusaha berbuat baik saja mungkin. Saya pikir sedih dan senang itu bahkan bukan sebuah keharusan. Bukan untuk dipaksa oleh orang lain. Bukan juga untuk dipaksa oleh diri sendiri. Ya, saya hanya satu orang yang berusaha bersenang-senang dengan yang lain. Tak pernah lebih sederhana atau lebih rumit dari itu. :)

Cikarang, 10 September 2013.

Kamis, 05 September 2013

Sono Ka Kodim


Saya tidak percaya bila ada seorang yang lain berkomentar bahwa lagu ini dibuat Kang Doel sebegitu kosongnya. Saya pikir, silahkan kawan-kawan dengarkan, banyak sekali cerita yang ingin dia bagi lewat lagu ini. Beberapa yang saya tangkap, tapi mungkin yang paling menarik adalah saat di bagian akhir ceritanya, dia berkisah dengan jenaka: “saat saya tak punya uang untuk sekedar membeli kopi dan rokok, saya suka tiba-tiba teringat, kapan kiranya saya bisa ke Kodim lagi?” Ahahaa. Saya tak akan membahas detail apa yang di pikiran saya di sini. Biarkan saja masing-masing kita mendengarnya ala pribadi, :D. Apakah benar cerita ini hanya sesederhana pikiran liar seseorang yang sedang ingin berpikir asal saja? Apa iya begitu saja? Seperti di lanjutannya Kang Doel bicara: “maksudnya saya bukan ingin dipenjara, saya hanya ingin bersenang-senang saja”, ahahaa. Benar runtut cerita yang menarik, dan berhasil dibawakannya dengan gemilang dalam bentuk cerita yang jenaka.
Cikarang, 6 September 2013

Layangan dan Tanah Lapang

Saya ingat, dulu kami sangat senang bermain di lapangan besar itu. Sebuah lapangan bola besar milik kesatuan Angkatan Darat Yonif Infantri 144/Jaya Yudha. Lapangannya bersih, dengan rumput hijau yang selalu segar dan wanginya yang khas. Bahkan sampai sekarangpun, saya masih ingat betul aroma rumputnya bagaimana. Di sekeliling lapangannya, tumbuh berbagai rumput lain dan semak liar yang dibiarkan tumbuh setinggi dada, dibiarkan seperti itu saja, dan sampai sekarang saya tidak tahu itu untuk apa. Sedang di baratnya, tumbuh sebatang pohon polong-polongan raksasa yang bercabang dua agak ke bawah. Merimbun, naungi jalan setapak kecil menuju beberapa barak kosong yang jarang sekali terpakai. Di lapangan itulah, banyak waktu kami habis bersenang-senang. Aktivitasnya bermacam-macam. Jarang ada agenda khusus. Kami hanya datang entah untuk apa. Kadang bermain bola sepak, kadang berkelahi, kadang hanya untuk naiki tiang gawang dan berjalan ujung ke ujungnya, kadang mandi hujan, kadang menari tanpa aturan, kadang apa saja. 

Yang sedikit khas mungkin adalah saat musim kemarau kami mulai sampai di pertengahan. Langit lapangan itu akan dipenuhi belasan layangan putih yang berlayar sekenanya. Ataupun bila sedang sepi, satu-satu layang-layangnya tetap saja mengudara. Seperti saat itu, saya masih ingat betul. Itu mungkin sekitar jam 2 sore, saat di lapangan yang ada hanya saya dan seorang kawan yang lain. Berdiam kami sedikit saling berjauhan. Tak berniat membuat aduan layangan, kami hanya menerbangkan layangan kami setinggi-tingginya hingga benang habis terikat mati di kaleng bekas cat tembok. Kaleng gulungan itu kami kaitkan dengan sebuah ranting pohon di tanah rumput, hingga berdiam kalengnya di situ, biarkan layangan putih itu terbang seolah berdiam di langit sebiru-biru. Biarkan begitu, kami pun merebahkan badan di bawah teduh pohon itu beralas rumput segar berikut wanginya yang tetap khas, hingga tertidur kami sampai tenang, setenang terbangan layang-layang kami di atas sana.

***
Entah kenapa saya menuliskan cerita ini. Yang jelas, beberapa menit yang lewat saya mendengar Bang Iwan Fals bernyanyi, ceritakan anak-anak kota yang kini tak punya lagi tanah lapang. Lahan kosong di kota sudah terlalu penuh dengan rumah-rumah juga bangunan lain. Mungkin memang karena orang di kota yang sudah semakin ramai juga saya pikir ya. Hingga tak ada lagi kini layang-layang yang terbang setenang ingatan saya yang dulu.
Selamat masuki kemarau yang ini, :)
Cikarang, 5 September 2013

Rabu, 04 September 2013

Tenis Meja

Malam ini saya semakin tahu. Bahwa beberapa orang bisa dengan sangat mudah berbicara kepada saya. Mereka biasa ceritakan apa saja, tentang apapun yang mereka mau. Kadang saya bertanya sendiri kenapa bisa seperti itu? Saya tidak terlalu mengerti juga sebenarnya. Karena kadang saya tidak terlihat menyimak dengan benar juga, atau kadang saya hanya akan berkomentar asal-asalan, seterpikirnya saja. Seperti menyarankan kawan tersebut meminum racun serangga itu saja kalau memang sudah tak kuat lagi, atau meminta dia menabrakkan kepalanya ke tiang listrik bila memang merasa pusing. Tapi nyatanya mereka malah suka. Kadang malah tertawa. Padahal saya serius. Saya sudah katakan bahwa saya serius, dengan ekspresi wajah yang juga serius. Tapi nyatanya mereka malah terpingkal dan berkomentar bahwa saya sangat pandai mengalihkan kepenatan. Saya kadang bingung sendiri. Tapi biarkan. Akhirnya paling saya hanya akan berkomentar begitu.

Tapi seringnya saya mendengarkan dengan seksama. Mencoba sumbang solusi, atau hanya sekedar mendengarkan saja. Untuk yang hanya mendengarkan ini, saya belajar banyak dari seorang kawan baik yang luar biasa, salam hormat saya untuknya. Lanjut lagi, saya tak merasa heran bila seorang terkuat sekalipun memiliki masalah dan juga ingin berkeluh-kesah. Toh itu normal saja saya pikir. Walau di beberapa kali waktu, tak jarang juga saya bertemu kawan yang menganggap berkeluh kesah adalah sebuah dosa. Saya tertawa saja mendengarnya, biarkan saja dia berpendapat begitu. Karena saya pikir yang akan menjadi tak baik adalah bila semua halnya menjadi terlalu. Terlalu serius, terlalu baik, terlalu santai, terlalu bercanda tak kenal waktu, ah semuanya.

Seperti yang tadi, saat di penutup perjumpaannya, seorang kawan dipanggil oleh atasannya dengan nada yang kesal, karena dia terlalu sibuk bermain tenis meja saat seharusnya sedang bertugas. Hahaa. Ah memang benar ternyata, dunia ini tempat kita berasyik-asyik. Di saat-saat yang menyenangkan sekalipun, ternyata kita tengah berbuat salah. Tak apa juga saya pikir. Biarkan hidup berjalan seperti itu. Biarkan sebagian kita akhirnya bisa mengerti. Biarkan sebagian lagi membawanya kemana-mana, sejauh yang dia mau.
Cikarang, 4 September 2013

Minggu, 01 September 2013

Saya Salah Kemarin

Selepas kisaran satu jam perjalanan menggunakan angkutan perkotaan itu, akhirnya saya berhenti juga. Dari selatan jauh kota ini hingga kini turun di suatu pertigaan yang saya kenal betul. Adalah Jalan Geger Kalong Girang. Sedang jarum jam di tangan kini sudah menunjukkan pukul 20.10. Menghirup nafas dalam-dalam, saya memulai berjalan kaki menyusuri. Terang benderang lampu para penjual makanan di sepanjang jalan ini benar membuat saya betah. Seperti pulang ke rumah. Walau nyatanya kini, langkah saya belum memutuskan tujuan. Belum sepenuhnya tahu malam ini kiranya akan berteduh dimana. Tapi benarnya saya tak memikirkan itu dulu kini. Hanya menjalani malam yang ini, mengunjungi kembali tempat dengan ribuan cerita yang dulu pernah terlewat.

Lewat kini di depan sebuah gerobak penjual lumpia semi permanen di seberang kantor kelurahan. Saya ingat betul. Lumpia ini biasanya sedikit terlalu asin dari seharusnya, tapi saya tetap suka. Teringat dulu saya rela berjalan kaki 20 menit dari kampung Cilimus di atas sana untuk membeli lumpianya. Dulu harganya Rp 3.000, porsinya banyak dan enak. Heheu. Saya hampiri kini, memesan satu porsi dan minta dibungkus saja. Ternyata sekarang harganya dua kali lipat dari dulu. Ah, tidak masalah. :) Menyantapnya sambil berjalan saja ke arah utara kini, saya bernostalgi.

Tiba-tiba hati tergerak untuk turun menuju Gang Haji Ridho di tengah sana. Berniat kunjungi seorang kawan lama yang selalu menyenangkan. Singkat perjalanan, senangnya ternyata dia tengah di rumah. Disambutnya saya dengan keramahan khas seorang kawan lama yang suka-suka. Bercerita sejenak, tandaskan segelas kopi genap dengan ceritanya di bawah pohon jambu biji yang besar dan selalu berbuah lebat saat musimnya tiba, meski sayangnya malam ini belum masuk waktunya. Ah, tapi tetap saja rumah ini selalu menyenangkan. Lalu kini saya ditinggalkannya dulu sejenak, untuk memberi saya waktu menikmati malam sendiri dulu, sedang dia kembali ke depan komputer 14 inch itu untuk menanggapi keluhan salah satu customernya yang barusan mengeluhkan koneksi internet yang sedang down. Sebelum kembali bekerja, kawan tersebut berpesan bahwa kasur untuk saya sudah tersedia di tempat biasa, dan silahkan tidur kapanpun saya mau.

***
Di bawah bayang dedaunan jambu ini, saya sendiri. Menghela nafas panjang-panjang. Memejamkan mata menikmati aroma malamnya yang selalu sama dingin tapi tetap ramah. Berbisik sendiri, saya meminta maaf pada kota ini, untuk beberapa malam yang lalu saat saya mulai ragu apakah kini kota ini masih menantikan kedatangan saya ataukah tidak. Atau mulai menyangsikan kecantik-megahannya yang biasanya merayu-padu. Ah, ternyata tidak, saya salah kemarin. :)
Bandung, 1 September 2013