Kamis, 05 September 2013

Layangan dan Tanah Lapang

Saya ingat, dulu kami sangat senang bermain di lapangan besar itu. Sebuah lapangan bola besar milik kesatuan Angkatan Darat Yonif Infantri 144/Jaya Yudha. Lapangannya bersih, dengan rumput hijau yang selalu segar dan wanginya yang khas. Bahkan sampai sekarangpun, saya masih ingat betul aroma rumputnya bagaimana. Di sekeliling lapangannya, tumbuh berbagai rumput lain dan semak liar yang dibiarkan tumbuh setinggi dada, dibiarkan seperti itu saja, dan sampai sekarang saya tidak tahu itu untuk apa. Sedang di baratnya, tumbuh sebatang pohon polong-polongan raksasa yang bercabang dua agak ke bawah. Merimbun, naungi jalan setapak kecil menuju beberapa barak kosong yang jarang sekali terpakai. Di lapangan itulah, banyak waktu kami habis bersenang-senang. Aktivitasnya bermacam-macam. Jarang ada agenda khusus. Kami hanya datang entah untuk apa. Kadang bermain bola sepak, kadang berkelahi, kadang hanya untuk naiki tiang gawang dan berjalan ujung ke ujungnya, kadang mandi hujan, kadang menari tanpa aturan, kadang apa saja. 

Yang sedikit khas mungkin adalah saat musim kemarau kami mulai sampai di pertengahan. Langit lapangan itu akan dipenuhi belasan layangan putih yang berlayar sekenanya. Ataupun bila sedang sepi, satu-satu layang-layangnya tetap saja mengudara. Seperti saat itu, saya masih ingat betul. Itu mungkin sekitar jam 2 sore, saat di lapangan yang ada hanya saya dan seorang kawan yang lain. Berdiam kami sedikit saling berjauhan. Tak berniat membuat aduan layangan, kami hanya menerbangkan layangan kami setinggi-tingginya hingga benang habis terikat mati di kaleng bekas cat tembok. Kaleng gulungan itu kami kaitkan dengan sebuah ranting pohon di tanah rumput, hingga berdiam kalengnya di situ, biarkan layangan putih itu terbang seolah berdiam di langit sebiru-biru. Biarkan begitu, kami pun merebahkan badan di bawah teduh pohon itu beralas rumput segar berikut wanginya yang tetap khas, hingga tertidur kami sampai tenang, setenang terbangan layang-layang kami di atas sana.

***
Entah kenapa saya menuliskan cerita ini. Yang jelas, beberapa menit yang lewat saya mendengar Bang Iwan Fals bernyanyi, ceritakan anak-anak kota yang kini tak punya lagi tanah lapang. Lahan kosong di kota sudah terlalu penuh dengan rumah-rumah juga bangunan lain. Mungkin memang karena orang di kota yang sudah semakin ramai juga saya pikir ya. Hingga tak ada lagi kini layang-layang yang terbang setenang ingatan saya yang dulu.
Selamat masuki kemarau yang ini, :)
Cikarang, 5 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar