Teringat tadi obrolan yang menyenangkan. Berdialog singkat
jarak jauh dengan seorang kawan yang malu-malu. Saat saya berkomentar: “Ah,
tidak harus, tidak ada yang harus, biar saja”. Serunya kemudian lanjutnya dia
bertanya lagi: “Ya, berarti harus santai aja”. Saya menyambung: “Santai juga ga harus
:)”. Sepertinya dia langsung berkerut-kening tadi, untuk kemudian bertanya
pertanyaan pamungkas: “Kalau senang harus ga?”. Saya jawab: “tidak juga”. Dia
menyambung: “ah, malas banget kalau bete-betean”. Saya tutup obrolannya:
“kalau begitu, jangan bete-betean,
:)”. Mungkin kerut-keningnya bertahan sedikit lama tadi. Saya senyum-senyum
saja di sini.
Saya pikir, mendefinisikan sebuah keharusan itu bukan cara
yang terlalu baik untuk bisa memahami nilai-nilai sekaligus menikmati
sebisanya. Saya lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang saya pikir baik, dan
tak merasa diharuskan untuk melakukannya -tentunya sesuatu yang saya pikir
baik itu bukan berarti bertindak seenaknya juga, karena nyatanya saya hidup dengan yang lain kan ya? Heheu. Saya hanya akan melakukan sesuatu karena saya ingin melakukannya
dan tahu. Saya akan bersedih saat saya menginginkannya. Atau saya akan merasa
senang saat saya memutuskan untuk menginginkan itu. Tak perlu diharuskan. Kenapa
mesti diharuskan juga? Toh apa yang
saya jalani adalah apa yang saya miliki.
Tapi memang, mungkin bagian tersulitnya adalah menyelaraskan
keinginan pribadi secara layak. Tapi bukan juga berarti kita tak boleh salah
dalam bertindak. Karena berbuat salah lah yang membuktikan kita bukan malaikat.
Cukup dengan berusaha berbuat baik saja mungkin. Saya pikir sedih dan senang itu bahkan bukan sebuah
keharusan. Bukan untuk dipaksa oleh orang lain. Bukan juga untuk dipaksa oleh
diri sendiri. Ya, saya hanya satu orang yang berusaha bersenang-senang dengan yang
lain. Tak pernah lebih sederhana atau lebih rumit dari itu. :)
Cikarang, 10 September 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar