Sabtu, 09 Desember 2017

Si Kepala Besar

Lampu pengantar malam

Malam mulai jauh. Dan cahaya lampu tidur itu mengantarkan ingatan akan penggal cerita di salah satu sudut Bengkulu, entah beberapa tahun yang lalu.

***
Berkisah tentang seorang anak kecil berkepala besar di salah satu desa di lereng bukit yang permai, jelang terlelap dalam remang cahaya lampu dan peluk kasih ibunya di atas dipan kayu mengkilat terbalut bahan plastik bermotif abstrak hijau dan putih. Saat itu, ibu dan kakak perempuannya sudah jatuh tertidur lebih dulu, sedang ayahnya sepertinya masih duduk sendiri di ruang tengah menikmati berita apapun yang penyiar radio sampaikan – ayahnya memang suka mendengar radio, dan acara favoritnya adalah berita luar negri. Lama anak itu tenggelam menatap langit-langit, tanpa berpikir apa-apa. Hingga akhirnya kantuk itu datang di detik berikutnya, dia terlelap.

Dan pagi berikutnya berjalan seperti biasa, anak itu berjalan kaki ke arah timur membelah udara pagi yang dingin, menuju sekolah. Sekolah Dasar kecil, di depan hamparan sawah menghijau yang sampai jauh, dan angin-angin bukit yang ramah. Bercengkerama sebentar dengan beberapa kawan sekelasnya yang lain, sebelum akhirnya upacara bendera di lapangan sekolah dimulai. Pembacaaan UUD 1945, derik tali penggerek bendera beradu katrol berkarat di puncak tiang, hikmat uraian nasihat dari kepala sekolah, dan yang lain. Upacaranya selesai, anak-anak menuju ke ruang kelasnya masing-masing. Belajarlah mereka seharian itu, hingga nanti matahari sampai di atas kepala, dan mereka pulang.

***
Salah satu hal yang paling diingat oleh anak itu adalah sebutan si Kepala Besar yang sering diolok-olokkan kawan-kawannya di sekolah dulu. Dia tak pernah terganggu dengan sebutan itu sedikitpun, karena memang kenyataannya kepalanya memang lebih besar bila dibandingkan dengan kawan-kawannya. Tapi ingatan tentang olok-olokan itu masih terus diingatnya sebagai salah satu memori masa kecilnya. Sejelas dia mengingat saat ibunya berkata “di dalam kepala yang besar ini ada otak yang besar, itu sebabnya kenapa anak ibu pintar” jelas sang ibu sambil tertawa.

Malam semakin jauh, dan anak itu kini sudah menjadi ayah dari putranya yang tengah terlelap di antara temaram lampu pengantar tidur. Beberapa saat, ditatapnya putranya sebaik-baik dan senyum-senyum. Dia berpikir, mungkin nanti putranya akan menerima sebutan seperti itu juga. Dan akan menjadi tugas pribadinya pula, untuk meyakinkan bahwa nyatanya mereka berdua terlahir di sini sebagai definisi kesempurnaan. 

Jakarta, Desember 2017

Rabu, 06 Desember 2017

Langit Jingga - Doa Anak Panah

Hadiah: karpet bermain dan penanak makanan, :)
Langit, beberapa kawanku kemarin titipkan doa, untukmu, lewatku.
Panjang doanya, sebagian lupa, tapi aku ingat penutupnya: bahwa kau akan menjadi anak panah, yang runcing dalam tabung busur.
Ah, aku menyukainya. semoga kau juga.

Dan mungkin nanti, kau juga akan mengenal beberapa di antara mereka.
Mengenalnya sebagai kawanku, dan siapa yang tahu, jadi kawanmu juga.
Untuk selanjutnya ucapkan terima kasih yang dalam atas baris doanya yang menyenangkan, juga tatapan yang keras dan seksama, tajam serupa panah.
Biar mereka tahu, bahwa doa-doa mereka dulu, nyatanya dijawab Tuhan dengan sumringah.


Jakarta, Desember 2017

Minggu, 19 November 2017

Langit Jingga - Monolog Hujan

Hari ke-48 dan baju baru gambar singa laut bernama Po-po
Berkisah tentangmu di derai hujan penghujung tahun adalah sebuah wajah yang lain dari cermin yang kuhadapi, Langit.
Di dalamnya ada kamu yang tengah berlarian di lereng sebuah bukit landai dan barisan pinus kokoh berdiri di sisi-sisi
Di antara tiupan angin yang datang, mereka bernyanyi keluarkan desing seruling yang khas
Sedang sinar mentari dan hujan begitu ramah sekaligus kasar sekali menyapa wajah dedaunan semak di beberapa sudut hutan
Dan kau, kau berjalan di antara aroma tanahnya yang subur 
Sambil sesekali terdiam, duduk perhatikan kawanan yang lewat dalam cermat, lalu menari lagi

Kau tahu, aku memandang diriku selayak manusia terkuat di kalangan ini
Aku tak tahu kiranya nanti kau akan seperti itu juga atau tidak, ah terserah saja
Satu yang pasti, dalam doaku yang sekali-kali, aku berdoa agar kau senantiasa menjadi dirimu sendiri
Dan kau menjalaninya tak pernah jauh dari perasaan tenang dan bahagia
Seperti saat ibumu lepaskan pandangan pada lelapmu di jauh malam
Dia diam, hingga nanti tiba saatnya kau terjaga, dan kau sadari bahwa kau ada di rumah

Hmmm, berkisah tentang ibumu, kupikir cerita kita akan selalu bermula dan bermuara padanya, Nak
Hingga nanti akhirnya kau mengerti maksudku, maka kita adalah dua lelaki yang lepas saja
Tapi itu juga kurasa sama sekali bukan masalah, karena toh pada akhirnya kelak kita akan hidup sendiri
Kau berkelana dalam hidupmu, begitupun aku
Meski sejauh-jauh kau dan aku pergi, tetap ke sana juga lah kita pulang dan bertemu: dalam peluk ibumu
Lalu terlelap, tenggelam dalam pusaran kasihnya yang teduh dan menenangkan

Oh ya, satu lagi.
Sulit sekali untuk bersabar nantikan siapa kiranya kelak kawan-kawanmu itu
Kiranya merekalah yang nanti temanimu tumbuh menjadi seorang lelaki
Kuharap kalian akan belajar banyak hal bersama-sama, dan tak harus selalu benar, karena proses belajar memang selalu melibatkan variabel waktu ya
Tapi kurasa secara keseluruhan, kalian akan menikmatinya
Ah, aku suka sekali walau hanya membayangkannya

Jakarta, 19 November 2017

Sabtu, 14 Oktober 2017

Langit Jingga - Sebuah Pembuka


Kau tahu, Nak?
Adalah saat-saat terbaik dari perputaran waktu bagiku tak kan pernah jauh dari terik mentari di penghujung suatu sore selepas hujan sebentar
Kusebutkan itu di antara kesendirian berteman angin-angin yang lewat di tanah basah, atau di antara riuh gelak kawan-kawanku yang entah tengah tawakan apa
Juga untuk cerita sore bersama ayahku dulu saat berdua menghadap bukit di belakang rumah kami yang teduh, untuk lambai barisan pinus di Bandung Utara yang selalu saja menenangkan, atau untuk jutaan lamunan yang tak pernah tuntas di sebuah persimpangan besar depan tempatku bekerja di timur sana
Aku menyukainya, entah kamu

Dan di antara lengking suaramu menghujam langit sore dan tatapan yang dalam-dalam, aku mencoba bertafakur
Tentang apakah nantinya aku akan menjadi ayah yang baik bagimu, semoga saja iya
Yang kurasa, bila nanti waktunya tiba, segenap pertanyaan tentang itu akan menderamu segarang amukan badai
Dan aku akan mencoba menjawabnya dengan perlahan, jujur dan sederhana, yang terkadang, mungkin akan dengan susah-payah, sangat susah-payah
Tapi kurasa aku bisa melakukannya, semoga saja

Nah kini, kau akan tumbuh sehat dan tenang-tenang, Nak
Kudoakan itu tak berkesudahan diiring gema puja-puji bagi Tuhan dalam salatku yang belum sempurna
Agar nanti kau tumbuh menjadi laki-laki yang baik seiring waktu
Agar nanti kau menyayangi ibumu lebih besar dari milikku
Agar nanti kau rayakan hidupmu dengan rasa bangga
Agar nanti melenggang jalan hidupmu penuh warna dan bahagia
Kurasa itu saja, sudah semua

Dan sekarang, mintalah ibumu berdandan yang cantik, juga dandanimu kenakan baju dan sepatu yang terbaik
Ke sana kita duduk bersama, menikmati sore hingga nanti dia tiba di penghujungan
Hingga nanti, tepat di saat-saat seperti ini, akhirnya kaupun mengerti alasan-alasan mengapa kau kuberi nama Langit Jingga, berikut baris harap dan doa-doaku yang ikut terbawa di dalamnya
Dan semoga kau senantiasa bergembira di atasnya
Untuk kemudian kau kembali padaku dan ibumu dalam semangat, ajak ulangi lagi hari yang ini dalam gelak tawa dan nyanyian bersama di antara aroma tanah dan tiup malam yang perlahan datang. 

Jakarta, Oktober 2017

Senin, 13 Maret 2017

Perdebatan Media Sosial

Jadi teringat. Beberapa hari atau minggu yang lewat, secara tak sengaja, saya berada di antara beberapa orang kawan yang sedang bergerombol membicarakan tentang seberapa sebalnya mereka terhadap posting-postingan kawan-kawannya di media sosial yang selalu bersifat rasial dan merasa paling paham agama, saling mengkafirkan satu sama lain. Belum lagi ditambah dengan sebaran berita-berita hoax yang dengan semangat mereka sebarkan tanpa berpikir. “Mungkin biar dinilai oleh orang lain sebagai sosok pintar dan kritis kali ya, padahal ….” ujarnya bertambah nyinyir bercampur rasa puas dan emosi. Yang singkat kata, setelah saling berdebat beberapa kali di media sosial, akhirnya beberapa dari kawan tersebut memilih untuk saling meng-unfriend. “Biar aja, berkurang satu-dua-tiga-empat kawan di media sosial juga ga masalah” ujar salah satu dari kawan tersebut berkomentar pedas dan tegas. Terdengar pula aminan dari beberapa kawan yang lain tanda setuju. Lalu disambung lagi, membahas lagi, tak ada habisnya, sahut-sahutan saling menimpali.

Saya masih asik saja menonton televisi, sama sekali belum (atau tidak) tergoda mengomentari obrolan-obrolan itu. Saya pikir bahasan mereka kurang menarik, jadi saya memilih diam saja, atau sesekali mengalihkan bahasan ke hal-hal berbau humor yang lain, yang sayangnya tak mereka tanggapi sama sekali. Sepertinya mereka menganggap bahasan humor saya tadi itu kurang menarik mungkin, hahaa. Ternyata memang ketertarikan setiap orang itu berbeda ya.  Dan memang ada orang-orang tertentu yang lebih suka berdebat sumpah-serapah. Saya masih tertawa, walau tak digubris sama-sekali. Bukan masalah, saya sudah cukup berbahagia dengan cerita humor saya sendiri.

Hingga di satu detik, saya ditanya: “emang lu ga ada temen di media sosial yang kaya gitu?”. Saya jawab singkat: “ga ada kayanya”. “Ah masa? Ada kok temen lu yang kaya gitu, gw sering baca”, sanggahnya cepat sambil memancing. Saya tertawa terbahak-bahak dan membuat mereka sedikit bingung perihal apa yang saya tertawakan. “Jadi gini, kemampuan berpikir gw tuh jauh berada di atas kalian-kalian dan mereka-mereka yang kalian ceritain dari tadi. Gw pikir level pikiran kalian dan mereka yang kalian obrolkan dari tadi itu juga sama aja. Makanya gw ga mau berdebat, karena bukan level gw. Tapi coba tebak, ternyata gw masih mau temenan sama kalian, terserah kalian mau ngomong hal yang gw setujui atau ngga, mau kalian pintar atau bodoh, kaya atau miskin. Kalian tetap temen gw!” saya jawab dengan penuh rasa puas, kemenangan, bahagia, dan tawa panjang ala Mak Lampir. Sebagai balasan, respon cibiran langsung saya terima. Saya lanjut tertawa sendiri. Sambil dalam hati berkomentar: “Ah, terkonfirmasi sudah. Pikiran gw emang lebih maju dari kalian. Sorry to say”. DAN AKU ADALAH MAK LAMPIR! ;)))))

Cikarang, 13 Maret 2017

Sabtu, 11 Maret 2017

Di Minggu Pagi

Pagi yang menyenangkan di awal bulan Maret yang ini. Di kisaran jam 10 pagi yang cerah dan angin yang bertiup lembut-lembut lewat sebuah jendela kaca besar dengan tirai gulung yang terangkat setengah di belakang pintu rumah. Juga tumpukan bantal sofa berwarna coklat muda di sebelah meja tamu, taplak kecil yang licin dengan warna senada, dan sebuah novel Agatha Christie berjudul “Murders on the Orient Express” yang tergeletak rapi di atasnya. Pagi ini, selepas mandi pagi dan segelas es kopi buatan sendiri, saya membaca buku itu sambil terlentang santai di atas sofa ukuran medium. Berhenti sejenak, layangkan pandang contemplative melalui jendela yang berdiri tenang dengan latar belakang mobil dan motor yang sudah dicuci bersih di sehari sebelumnya, saya benar-benar berpikir bahwa ini adalah hari yang indah.

Tiup angin pagi dari pekarangan kembali menyapa saya untuk berhenti sejenak dari kisah pembunuhan berencana yang diceritakan di bab ke-5 dari buku itu. Saya pikir lebih baik saya tuliskan saja apa yang saya pikirkan. Bukan tentang sebuah pemikiran rumit yang biasa menghantui saya di saat-saat tertentu, tapi hanya tentang pemikiran sederhana tentang bersyukur. Untuk melihat istri yang saat ini tengah hamil muda dan jatuh tertidur di ruang istirahat kami di belakang sana, atau aroma masakan yang sedang disiapkan oleh ibu mertua yang baik sekali, tentang ayah yang saat ini sepertinya sedang mendaftar di perpustakaan daerah di kota kecil di Bengkulu sana, atau juga kakak perempuan yang sedang menikmati hari-hari mereka di Serang sana. Saya jadi teringat tentang penggal percakapan di sebuah film yang kami (saya dan istri) tonton kemarin malam, yaitu tentang surga itu ada di sini juga, di dunia tempat kita hidup saat ini. Ah, mungkin memang benar seperti itu, siapa yang tahu.

Berjalan menuju pekarangan rumah sejenak dengan langkah-langkah ringan, untuk sekedar melihat birunya langit Jakarta di pagi ini serta mendengarkan dialog pedagang sayur keliling dengan seorang tetangga di depan sana, juga segerombolan kucing milik tetangga yang suka buang air di pekarangan rumah kami -sepertinya kucing-kucing ini sedang rapat mingguan, atau tentang pekerjaan kantor yang tengah saya jalani di 6 tahun terakhir ini, saya tersenyum sendiri. Untuk kemudian kembali ke dalam rumah, menuju kamar istirahat, dan memperhatikan istri yang sepertinya tengah bermimpi dalam lelapnya yang setenang air. Atau menatap kembali layar monitor di komputer lipat tentang bahasan perkembangan embrio dari sudut biologi molekuler yang tengah saya pelajari di awal pagi yang tadi. Setelahnya, hampiri ibu mertua yang masih saja sibuk dengan mencampur bumbu-bumbu dapur yang beraneka ragam. Memandang lingkaran tangga besi melingkar di atas pot-pot tanaman di taman belakang rumah ditimpa cahaya matahari dan riak air kolam kecil kami yang sederhana tempat 5 ekor ikan koi berenang sebebas mungkin. Menenangkan sekali.

Perjalanan hidup adalah sebuah misteri. Di dalamnya berisi kecamuk, ketenangan, kejutan, dan apa saja yang mungkin terjadi. Lingkaran-lingkaran waktu, ruang, dan kejadian yang bersinggungan dalam interaksi sederhana sehari-hari, dan sujud yang sekali-kali. Layangkan pandang sekali lagi menuju jendela yang masih diam tak bergerak, saya pikir hidup adalah tentang menikmati keadaan. Bersenang-senanglah semesta, dengan jalan yang kalian inginkan, tanpa paksaan.

Pasar Minggu, 12 Maret 2017