Senin, 26 Desember 2016

Maafushi dan Seorang Kawan

Selepas melihat pari dan bayi hiu, bertiga mengabadikannya lewat self-timer di bawah sinar bulan.

Pagi belum terlalu jauh, saat lantunan musik itu bermain perlahan dari pasangan earphone yang sudah dua bulan belakangan ini rusak sebelah. Barisan nada-nada ceria bernuansa country mengalir deras, dengan Andy Grammer, sang penyanyi, bersorak gembira sambil bercerita tentang perkawanan dalam lagunya. Yang tiba-tiba, saya teringat satu cerita yang saya jalani di beberapa minggu yang lewat. Saat bertemu dengan seorang kawan baru di sebuah pulau kecil nan indah di daerah Laut India sana.

***
Sabtu, 12 Desember 2016

Dan kesempatan untuk mengunjungi pulau dan negara ini adalah sebuah keajaiban. Dengan tiupan angin lautnya yang dermawan menggoyang-goyangkan barisan kelapa pinggir pantai yang tumbuh tinggi julang-menjulang, serta langit biru dan mataharinya yang terik dan beranjak meninggi perlahan bersama kerang-kerang yang terbawa ombak ke bibir pantai, atau tentang denting piring beradu sendok dan garpu dari ruang makan di sebelah lobby hotel. Di pagi menjelang siang ini, kami –saya dan istri, akan meninggalkan pulau indah bernama Maafusi ini setelah empat hari yang luar biasa. Sambil menunggu waktu keberangkatan yang tinggal hitungan menit, saya duduk sendiri berkontemplasi memandang laut dan segerombolan kawanan burung gagak dari atas kursi plastik di halaman hotelnya yang teduh berpasir. Hingga akhirnya seorang kawan, salah satu pegawai hotel yang baru saja saya kenal di beberapa hari belakangan, datang mendekati dan mengajak saya bersalaman, dengan ekspresi wajah yang terlihat kurang ceria. “Hei, don’t you ever forget about me and our walk in the beach last night”, ujarnya singkat dengan bahasa yang tercampur-campur. Saya tersenyum.

Namanya Rafik, sosok menyenangkan asal Bangladesh, yang sudah beberapa tahun ini mengadu nasib di hotel tempat kami menginap. Beberapa hari ini, saya dan istri memang biasa mengobrol dengannya di sela-sela waktu liburan kami yang singkat. Dan saya akan selalu bisa katakan: bertukar cerita dengan Rafik adalah salah satu hal yang paling menyenangkan dari pulau ini. :) Dua malam sebelumnya, Rafik sudah menawarkan diri untuk menemani saya dan istri berjalan-jalan menyusuri pantai di sisi lain pulau ini selepas waktu isya untuk melihat ikan pari dan bayi hiu di pinggir perairan pantai yang dangkal. Dan malam itu, sesuai janjinya, Rafik menjemput saya dan istri di lobby hotel sambil memegang sebuah senter kecil di genggaman tangan kanannya. Bertiga, kami membelah jalanan pasir Pulau Maafushi menuju pantai di sisi lain pulau yang sedari kemarin dia ceritakan.

Dan setibanya di tempat tujuan, dengan semangat Rafik menunjuk setiap hewan laut yang ada di pantai jernih, “Look, that’s a manta!”, atau “that’s a baby shark, hush you two, be quiet!”, dengan saya dan istri yang berteriak kegirangan penuh antusias melihat sinar senter yang bergerak cepat di permukaan air dangkal. Hingga saat kami merasa sedikit lelah, dan memutuskan untuk duduk sejenak di dermaga kecil yang menjorok ke arah laut. Mulai saling bertukar cerita tentang apapun yang saat itu tengah terpikir, kami niagakan malamnya dengan gembira. Tentang apa saja, diiring tiupan angin lautnya yang kuat, sinar bulan dan bintang kejora di jauh sana, atau di antara terang lampu para penyelam malam yang baru pulang.

Angin malam dan seorang kawan memang selalu mengajarkan banyak hal. Dan di sinilah saya duduk saat ini, di antara lambaian nyiur kelapa di atas sana dan pasir putih mengkilap di bawahnya, menjelang pulang. Untuk mencoba mengingat lagi semua kejadian yang terjadi di rentang waktu yang tak panjang. Beberapa saat saya terdiam memandang matanya sedalam-dalam sembari mencerna kembali kalimat yang diucapkannya di awal tadi. Kilasan semua obrolan kami di empat hari terakhir ini seperti terbuka ulang dengan kecepatan tinggi. Saya pikir kami sudah berkawan dengan sederhana. Dan itu hal yang baik. Sebaik saat saya coba menjawab “I am kind of person who never forget every friend I met in my life. Maybe it’s a bit too hard to believe, but you can give me a chance to prove it, and I’ll prove it to you”. Rafik tertawa. Dan saya pikir itu cukup. :) Seperti juga sesaat sebelum kami bersalaman untuk berpisah, dan Rafik mengucapkan satu kata dari bahasa Maldive (yang sayangnya saya lupa kata tersebut apa). Saat saya kebingungan dan bertanya artinya apa, dia menjawab: “it’s a Maldivian word that means ‘friend’”. Sekarang ganti saya yang tertawa lepas dan mengucap terima kasih yang banyak.

Para awak kapal cepat yang akan membawa kami pergi dari pulau ini pun sudah memanggil. Beberapa kawan pegawai hotel yang lain berjalan mengantarkan kami menuju dermaga untuk berangkat. Rafik tak ikut mengantar, tapi untuk saya itu sama sekali bukan masalah. Dan satu hal yang tak perlu dipertanyakan lagi adalah: kami sedang berkawan dengan sederhana.

Farewell, friend. Till we meet again somewhere. ;)
Jakarta, 26 Desember 2016

Senin, 28 Maret 2016

Badidang

Bersama Badidang, 27 Maret 2016
Siang tengah terik-teriknya. Tepat di atas hamparan timbunan tanah sebelah rumah kami itu sedang dipenuhi keramaian yang bersuka cita. Kakak sepupu saya, cucu laki-laki tertua dari keluarga kami, melangsungkan pernikahannya hari ini. Sebuah bangunan tenda tradisional, yang biasa kami sebut tarup, berdiri gagah di atas tanah kosong itu. Berikut pula ratusan warga kampung yang penuh sesak menyemarakkan pestanya. Sebagian bapak-bapak berkumpul menyesap tembakau di beberapa tempat membentuk lingkaran di atas tarup, sedang sebagian lagi sibuk bergotong royong membersihkan panganan di pinggiran sungai, ibu-ibu yang sibuk meracik bumbu dan mengaduk sayur di dalam sebuah wadah raksasa di atas bara kayu kopi di belakang sana, anak-anak kecil yang berlarian tanpa arah dikejar kawan sebayanya yang lain, dan banyak lagi. Atau melihat rombongan ibu-ibu yang baru saja tiba membawa sebuah bingkisan khusus khas daerah kami: seekor ayam gemuk dan baskom kecil dari bahan kaleng berisi beras, sebungkus bihun dan kelapa bulat. Saya hanya duduk mengamati semuanya di atas sebuah kursi plastik hijau menghadap jalan raya sambil mereguk kopi panas di gelas kaca. 

Dan mata saya menangkap sesosok tubuh kurus-tinggi di jalanan tengah menyandarkan tubuhnya di sebuah plang penanda bertulis "hati-hati sedang ada keramaian". Di sana berdiri salah seorang kawan sepermainan masa kecil saya dulu, namanya Rice. Saya belum pernah tahu siapa nama lengkapnya, tapi kami biasa memanggilnya dengan sebutan “Badidang”. Ingatan saya jadi jauh melayang menuju 20-an tahun yang lewat, saat kami dan kawan-kawan sepermainan yang lain menghabiskan masa kecil di hamparan sawah dan jalanan gang di belakang sana. Hmm, saya dan kawan-kawan sepermainan dulu sedikit mengucilkan Badidang karena dia memiliki sedikit masalah mental, semacam anak dengan keterbatasan IQ (Intelligency Quotient). Dia sering menjadi bahan olok-olok karena tak bisa berbicara dengan baik, selalu senyum-senyum sendiri, dan kebiasaan buruknya yang suka memakan makanan bekas dari tempat sampah, atau untuk menjadi musuh besar dari satu orang dengan gangguan mental lain yang lumayan terkenal di kota kami. Saat itu kami semua suka mem-bully Badidang di segala hal, dan saat saya mengingatnya lagi saat ini, terbersit banyak penyesalan di benak saya atas semua kesalahan yang pernah saya lakukan padanya dulu.

Sedari dulu, saat ada acara-acara seperti ini, Badidang selalu suka membantu pekerjaan-pekerjaan apapun yang diperintahkan padanya. Tak seperti anak-anak kecil yang lain (termasuk saya) yang jangankan ikut membantu pekerjaan warga kampung, tapi malah senang membuat kekacauan dimana-mana khas anak-anak. Dan ternyata, kebiasaan membantunya itu masih terus berlangsung hingga hari ini. Di acara-acara seperti ini, dia tetap ikut membantu. Untuk sekedar ikut merapikan barisan kursi, menjaga parkiran motor di pinggiran jalan, menyapu, apa saja. Dan dia melakukannya dengan wajah ceria, senyum yang selalu terkembang, tanpa keluhan. Di acara-acara seperti ini, dia selalu disukai dan dicari-cari.

Dengan perlahan, saya datangi dia yang tengah menatap ke arah keramaian pesta. Saya tawarkan sebatang rokok yang langsung diterimanya dengan ucapan terima kasih yang agak susah dimengerti dan senyuman khasnya. Lama saya pandangi matanya tanpa berbicara apa-apa, dia tak terpengaruh, senyum itu tetap di situ membalas balik. Hingga akhirnya saya tersenyum dan merangkul pundaknya, sambil tetap tak berucap apa-apa. Saya mintakan seorang saudara yang kebetulan sedang lewat di hadapan kami berdua untuk mengabadikan moment itu. Dan setelahnya, saya pergi meninggalkannya sendiri di depan sana.

Saya pikir, sampai detik ini, saya tak tahu apa yang harus saya ucapkan padanya saat itu. Saat kami saling menatap lama, dan lintasan memori masa kecil itu bergerak secepat tiupan malaikat. Saya pikir itu saja yang bisa saya bahasakan kepadanya. Dan bukan, Saya bukan meminta maaf atas apapun yang saya lakukan padanya dulu, karena kamupun tahu bahwa saat itu kami ada di dunia anak-anak. Dan mungkin semacam sebuah bahasa yang dulu belum pernah saya mengerti, hingga akhirnya dia tiba di detik ini.

Sehat terus, Dang. God bless!
Curup, Minggu 27 Maret 2016
Foto oleh Deni Hardiansyah

Jumat, 18 Maret 2016

Malam di Jababeka (4)

Mungkin selanjutnya saya akan selalu mengingat hari itu, sebuah rabu di dua hari yang lalu. Seperti sebuah hari yang terlalu padat dengan pelajaran-pelajaran yang berat. Saat di awal sorenya seorang kawan yang hampir setahun ini saya kenal lewat seorang kawan yang lain. Kami berdialog di kisaran setengah jam di lobby kantor kami yang hangat, meski pikiran saya waktu itu masih dipenuhi dengan rencana memulai usaha berjualan peralatan lapangan bersama seorang kawan baik yang lain di Kota Kembang sana. Mau-tak-mau, obrolan kami sore itu agak terbatas, saya bahkan tak terlalu ingat saat itu kami bicarakan apa saja. Hingga tak sadar, kami bicara tentang beberapa hal yang sensitif, dan saya terhanyut di dalamnya tanpa banyak bisa berpikir baik.

Setidaknya, saya selalu mencoba untuk menjadi seorang kawan yang baik. Tapi ternyata, sebuah niat baik yang disampaikan dengan terlalu serampangan akan berujung menjadi kesalahan. Dan saya mempelajari itu lebih jauh setelah jam pulang kantor kami tiba, dan warung sederhana di pojokan tempat saya biasa niagakan malam itu menjadi saksi kegelisahan yang menggelayuti hati dan pikiran sedari kami berpisah tadi. Lantas memesan segelas kopi hitam yang penuh, saya memilih duduk sendiri di salah satu sudut remang warung, memandang hujan yang turun ganas menghajar muka-muka jalanan aspal yang sepi. Saya mencoba mengingat lagi interaksi-interaksi kami sebelum ini, dan membenturkannya dengan kondisi yang saya hadapi saat ini. Ah, saya bingung sekali.

Tawaran yang diajukan oleh kawan di awal sore tadi, jelas sangat menguntungkan. Dan sepertinya akan normal sekali jika saya memutuskan untuk mempertimbangkan atau bahkan menerimanya. Saya bahkan sempat merasa sangat bahagia saat mendengar tawarannya. Tapi di saat yang bersamaan, ada bagian dari hati saya yang menolaknya dengan bahasa yang sulit untuk dijelaskan. Hal ini akhirnya membentuk sebuah konflik, saat saya seolah diminta untuk memilih antara keuntungan atau ketenangan hati. Dialog dan perdebatan panjang terjadi di dalam benak saya di sela regukan-regukan kopi yang tak benar terasa ada. Atau teringat saat ayah dulu berkata, bahwa menjalani hidup adalah tentang mencari ketenangan hati, tapi lantas bagian dari diri saya yang lain menjawab tangkas berucap cepat: “keuntungan tentu juga bukan berarti tak tenang hati”. 

Saya tahu, hidup tak pernah bisa dibedakan menjadi hitam-dan-putih, seperti halnya juga dengan keuntungan-dan-ketenangan hati. Tapi bagian diri saya yang lain sepertinya tetap tak lelah mencoba menolak ide memanfaatkan keuntungan yang ini. Dia semacam berkata: “ini tak baik!”. Atau saat saya akhirnya memutuskan untuk mencoba mendiskusikan kegelisahan itu bersama dua orang kawan baik via percakapan di dunia maya. Dan saya pikir mereka baik sekali untuk mencoba memberikan berbagai pertimbangan yang belum terpikirkan. Tapi tetap saja, karena kamupun tahu, saya tak mudah dipengaruhi. Ah. Saya pikir, keuntungan adalah rezeki dari Tuhan. Kenapa harus ditolak? Selain itu, kawan itu juga memberikannya dengan ikhlas dan senang hati, saya perlu berpikir apa lagi?

Gelas kopinya sudah memasuki yang ketiga, dan derai hujan belum kunjung mereda, saya tetap mencoba untuk menenangkan diri. Menjulurkan tangan ke bawah hujan dan membiarkannya basah beberapa saat, lalu mengeringkannya lagi, sembari merasakan kabut-kabut yang turun tipis dan perlahan. Terlintas di layar kamera genggam ini sebuah potret sederhana dengan seorang kawan saat kami tengah berada di rumah neneknya di Bandung sana. Di potret itu, tergambar kami berdua seolah tengah merenung tapi entah tentang apa. Saya tersenyum melihatnya, “kenapa kamu bingung tentang untung dan rugi? Konyol sekali.

***
Mencoba melakukan hal yang baik bukanlah hal yang selalu mudah, seperti mencoba melakukan hal buruk tentu tak selamanya sulit. Dan mungkin kata-kata di kitab itu benar adanya, bahwa hidup hanyalah sebuah canda dan tawa. Yang seandainya boleh memilih, saya ingin menjalaninya bersama derai hujan perlahan yang menentramkan.


Cikarang, 18 Maret 2016

Kabar dari Bandung (7)

Bandung, 12-13 Maret 2016. 
Bandung sedang semangat. Cuaca cerah dari Bandung barat, Cimahi, sampai ke selatan lagi. Mengunjungi beberapa kawan baik di posnya masing-masing. Ya, sebutlah silaturahmi. Sudah. nanti lagi

***
Berawal dari segelas kopi sore di terminal itu, akhirnya hari ini surat perjanjian kerjasama itu kami tanda tangani berdua. Ah, benar, salah satu sensasi terbaik adalah saat mengingat lagi 1.001 cerita yang pernah dilewati bersama dari 11 tahun yang lalu sampai hari ini.
Halo, Gelar T Kusumawardhana! *
Bila dibandingkan dengan saya dulu di umuran yang sama, anak ini jelas menang telak. Mental, sikap, dan ketenangannya sudah ada di level tinggi. Saya perkenalkan, namanya Angga R Direza.
Dan mungkin satu-satunya keunggulan saya dulu adalah, di umuran dia saat ini, jelas saya sedang punya pacar. Hahaa! **
Kawan saya. Namanya Bumi B Kelana. Bapaknya lagi asik diskusi grup filsafat sama Om Gelar di atas kursi. Kami mah jalan-jalan aja jajan mie kremes di warung sambil digendong di bahu. Terus sampe rumah lagi, bagi-bagi tugas: dia ngedongak mangap yang gede, saya masukin mie ke mulutnya langsung dari plastik mie. Hahaa.
Jayalah Indonesia! #nyanyilaguperindo ***
Atau yang ini, selamat pagi dari Kalidam, Cimahi. Mandi tapi ga ada handuk, jadi terpaksa dikeringin di bawah matahari.
Ini yang paling spesial dari edisi kali ini. Tentang kemaren di setengah 8 pagi, si cantik dari Sukabumi, Ghaizani T Irawan, sukses mendarat di bumi dengan selamat. Welcome!! ****
Cikarang, 18 Maret 2016

* Foto oleh Angga Direza
** Foto oleh Gelar Kusumawardhana
*** Foto oleh Haikal Sedayo
**** Foto oleh Debi Krisna

Rabu, 24 Februari 2016

HERBAKOF

Pagi itu sedikit tak biasa. Saat setibanya di halaman perkantoran yang didominasi warna biru langit dan putih bersih, saya menemukan dua balon raksasa berbentuk botol obat setinggi 4 meter berdiri di depan sana. Sepeda warna-warni yang saya kendarai sengaja saya putarkan di sekitarnya kisaran dua keliling, untuk sekedar mengamati lagi balon itu lebih teliti. Saya tahu, itu adalah properti promosi produk terbaru dari kantor kami yang diluncurkan ke publik belum lama ini. Dan obat itu diberi nama Herbakof. Saya pikir-pikir, mungkin nama itu diambil dari kata “herba” dan “cough”, yang bila diartikan secara sederhana maka kira-kira maknanya adalah obat batuk berbahan herbal. Berjalan perlahan untuk sekedar berpikir bahwa saya tak sering menjumpai produk-produk dari kantor kami diiklankan seperti ini. Atau mengingat tentang iklan herbakof yang mulai sering muncul di stasiun televisi swasta nasional, dengan kalimat jual #gausahkhawatir dan #cepatambilherbakof yang terdengar ringkas dan melodis di telinga. Juga tentang khasiat herbakof yang dibahas khusus di situs online Kompas. Ah saya senyum-senyum sendiri, saya suka ini. Semacam strategi pemasaran produk yang sedikit berbeda dari pemasaran produk-produk kami sebelumnya. Kini terasa lebih agresif, dan ya, karena saya selalu lebih menyukai sesuatu yang agresif. Mungkin karena itu saat ini saya merasa senang. Hingga tak berapa lama, akhirnya sepedanya saya parkirkan, berhenti dan berlalu pergi dari tempat botol ajaib itu berdiri.

Dan bila ada yang tertarik untuk tahu lebih jauh, maka bisa saya sebutkan bahwa produk ini berbahan dasar campuran tumbuhan saga, mahkota dewa, legundi dan rimpang jahe, yang bila tak salah ingat, campuran tumbuhan itu kemudian diproses dengan teknologi fraksinasi lanjutan untuk mendapatkan zat aktif reconyl. Yah, begitulah singkatnya. Hingga obat ini secara ilmiah terbukti memiliki khasiat yang kuat untuk digunakan sebagai pelega tenggorokan dan batuk yang umum menyerang kita di musim-musim seperti ini.

Dan mungkin kamu berpikir bahawa tulisan saya kali ini seperti beraroma promosi produk ya? Hahaa. Ya, siapapun boleh berkomentar apa saja, dan kamu tentunya juga. Yang kalaupun saya di sini memang sedang promosi, ya biar saja. Tapi satu yang pasti, saya tak dibayar untuk menuliskan tentang ini. Karena saya sudah banyak duit, dan sama sekali tak butuh bayaran, hahaa. Yang saya ingin saya sampaikan adalah: saya pikir produk ini baik, beberapa kawan dan kenalan yang mencobanya juga memberikan testimoni positif, jadi saya pikir mungkin baiknya saya anjurkan kamu untuk mencobanya saat kamu berada di 3 kondisi ini:

1. Kamu sedang batuk dan atau kurang enak tenggorokan dan sedang pengen sembuh
2. Kamu sedang pengen minum obatnya
3. Kamu sedang punya uang buat belinya

Dan seperti saat saya memberikan obat ini ke seorang tetangga kosan yang kebetulan lagi batuk-batuk berisik sampe tengah malam: “Ini! Minum obatnya, jangan makan botolnya!

***
Siang beranjak di selepas makan siang yang biasa, dan saya memutuskan untuk menjumpai botol itu lagi. Melihat dia tengah terombang-ambing ditiup angin Cikarang yang sedang panas-panasnya, saya pikir mungkin ini adalah waktu yang pas untuk mengabadikan momennya. Dengan bantuan dari seorang kawan anggota sekuriti, dan abracadabra, gambar ini lahirlah. Saya tertawa bahagia melihat hasilnya, dan berpikir mungkin nanti saya akan membuat sedikit tulisan tentangnya.

Si pengendali angin dan herbakof. Belilah Produk Dexa. Hahaa.
Cikarang, 24 Februari 2015

Selasa, 09 Februari 2016

Asep Aripin (1)

Kami berdua, bersama puluhan kawan-kawan yang lain di sebuah villa di kawasan Puncak, Bogor*

Saya yakin kamu akan percaya jika saya katakan begini: 

Perjalanan hidup saya sungguh menarik. Untuk mengenal ratusan kawan terbaik di 1.001 peristiwa dalam dimensi ruang, waktu dan kejadian. Entah bagaimana, dimanapun saya melangkah, maka saya akan menemukan mereka tepat di tempat mereka berdiam saat itu. Lalu menerjemahkan keanehan yang mereka miliki dalam gema senda gurau di penghujung sebuah sore, dan dehem yang satu-satu. Ya, (lagi) entah bagaimana, saya selalu mudah menemukan orang-orang yang tak biasa.

Dan bila saat ini harus mengambil salah satu, maka tentu, saya akan mengangkat cerita dari satu sosok kawan yang ini. Benar-benar salah satu kepribadian yang paling menarik yang pernah saya temui. Namanya Asep Aripin, dan saya biasa memanggilnya dengan sebutan Kang Asep. Dan ah, sepertinya kami memang digariskan untuk bertemu oleh waktu. Saya mengetahui itu, bahkan jauh sebelum kami akhirnya bisa bertemu muka di sebuah mushola berkaca besar dan tirai biru.

Awalnya mungkin begini. Saat di siang menjelang suatu sore, di Labtek Biru kampus Ganesha, saya membaca sebuah lowongan kerja di situs forum alumni ITB. Tertulis di dalamnya: dibutuhkan scientist Bioteknologi di Divisi Molecular Pharmacology, DLBS, Dexa Medica. Di tengah kondisi keuangan yang morat-marit, tentu saja saya sangat mempertimbangkan isi email tersebut dengan serius. Saya baca lagi emailnya berulang-ulang. Informasi di email itu, saya temukan nama Asep Aripin sebagai pengirimnya. Hmmm, saya tahu, saya akan diterima bila mengajukan lamaran di lowongan itu, hahaa. Tapi satu yang mungkin tak kalah menarik adalah tentang nama si pengirim email. Setelah mengirim berkas lamarannya ke satu alamat email yang lain, saya catatkan nama itu di selembar kertas bekas. Saya tuliskan di atasnya: Asep Aripin!

Dan akhirnya hari itu tiba, hari pertama saya kerja di tempat itu (cerita serupa pernah saya tuliskan di tulisan yang lain berjudul: Rabu Pertama). Ah, saya sedang banyak urusan di hari-hari pertama masuk kerja, saya tak sempat mencari orang yang namanya pernah saya tuliskan di kertas bekas itu dulu. Hingga kisaran seminggu kemudian, di sebuah permulaan waktu ashar, saya melihat beberapa orang berkumpul sambil menunggu giliran wudhu. Saya coba dengarkan, ternyata mereka sedang membicarakan rencana acara touring. Mereka semua terdengar santai tapi sopan saat berbicara ke orang itu. Dan kamu tahu? Ternyata sosok itu memiliki nama yang persis sama dengan yang pernah saya tuliskan dulu. Antusias saya dekati, sambil berucap dengan senyuman dan jabat tangan: “nama saya Guntur Berlian.” :)

***
Hari ini, sudah lebih satu minggu Kang Asep tak lagi bekerja di kantor kami. Dan malam ini, saya mengingat lagi bagaimana dulu kami pertama bertemu. Saya kirimkan pesan singkat padanya, bahwa saat ini saya sedang mengingatnya, dan menyampaikan agar dia senantiasa sehat dimanapun dia berada. Atau tak sengaja mengingat lagi sebuah kejadian dimana dia berusaha menjodohkan saya dengan seorang dokter cantik asal Kota Kembang di barat sana, dan berkomentar mesem-mesem: “seandainya nanti lu beneran nikah sama si bu dokter, kita bakal beneran jadi saudara, Bro!” Saya hanya tertawa mendengarnya, meski dalam hati saya menjawab: “semenjak detik di mushola itu, saya pikir kita berdua sudah beneran jadi saudara, heheu”, sebuah kalimat yang belum pernah saya sampaikan langsung kepadanya sebelumnya, hingga akhirnya saya berpikir mungkin detik ini adalah waktu yang tepat.

Stay healthy, Kang. Sampai ketemu lagi.
Cikarang, 9 Februari 2016.
*Foto oleh Andriana Saptakowati