Senin, 30 September 2013

Jayagiri: Sebuah Pengantar

Bukit rendah di timur gerbang Jayagiri
Adalah sebuah desa di kecamatan Lembang, Bandung Barat. Namanya Jayagiri. Nama suatu daerah yang menjadi lebih dikenal berkat sebuah lagu berjudul “Melati dari Jayagiri”, gubahan seorang seniman dan pendaki gunung senior asal kota Bandung, abah Iwan Abdurrahman, di tahun 1968. Saya tak akan membahas kontroversi seputar lagu ini di sini, karena saya benar tak terlalu peduli tentang ada atau tidaknya tangkai melati di Jayagiri. Tapi yang jelas, baris sajak di lagu ini memang dengan gemilang berhasil menggambarkan keindahan Jayagiri dengan luapan emosi yang tak sedikit. Atau juga lagu “Jayagiri” karya Doel Sumbang yang menggambarkan Jayagiri sebagai sebuah cerita cinta. Ah, sama bagusnya saya kira.

Saya sendiri selalu mengingat Jayagiri sebagai gugusan aneka pepohonan hijau di lembah-bukitnya berikut kumpulan cerita yang asik di suatu pagi yang biasa. Di dalamnya juga aliran sungai jernih yang beberapa, dan angin-angin dari Tangkuban di atas sana. Dulu, saya biasa tiba di tempat ini di kisaran jam 6 pagi. Saat udara sekitar masih sedikit terlalu dingin, dengan suara fauna nocturnal hutannya yang sekali-kali, dan pos penjaga gerbang yang masih kosong. Begitu yang selalu saya ingat, selepas baris mahoni meraksasa di sepanjang jalannya menuju ke sini hampir habis di pelataran gerbang beratap ilalang itu.

Saya akan lebih senang berdiam di Jayagiri di sekitar sini saja. Di dekat sebuah warung penjaja sarapan sederhana tak jauh dari gerbang - ah, ternyata saya sudah lupa nama ibu penjaga warungnya, mungkin saya memang sudah terlalu lama tak mampir ke sana, heheu. Di sini, mungkin tak banyak yang tahu ada gugusan Eucalyptus di bawah sana, juga aliran sungai kecil memanjang sejernih-jernih bermuara ke suatu pesawahan sempit dan keluarga pak tani di salah satu sudutnya. Atau bentukan bukit di belakang sana dengan kemiringan tanahnya yang lebih rendah, saat bergoyang gesekan dedaun pinusnya ditiup angin pagi musim kemarau, hingga terdengar tiupan serupa bunyi seruling mengiang di reguk kopi yang tadi dibawa-bawa dari bawah sana.

Ya, saya memulai mengenal Jayagiri dari titik ini. Saat itu belumlah berniat langsung menapaki setapak jalanan menanjak menuju utara yang berliku dan rasa lelahnya yang hampir pasti. Saya memilih berdiam saja sedikit lebih lama di sekitar sini. Saya merekam, saya memperhatikan. Saya berpikir, bila nanti saatnya tiba, saya akan mencoba menapaki Jayagiri lebih jauh dari sini, tapi kini tak perlulah terburu-buru dulu. Begitu saya berpikir waktu itu. :)
Cikarang, 30 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar