Seorang kawan bertanya,
mengapa saya lebih suka berjalan sendiri di sekian banyak perjalanan yang
pernah saya jalani? Ah, bagusnya pertanyaan ini. Seolah mengajak saya berpikir
ulang tentang hakikat perjalanan itu sendiri. Juga mengajak mengaji lagi
tentang mengapa saya bepergian seolah tak jelas tempat juga tujuan. Atau
mengapa saya ada di sini saat ini, bukan di tempat yang lain. Hingga akhirnya
memaksa saya menjawab pertanyaan terakhir paling sederhana: siapa saya?
Saya tak pernah berkeinginan
untuk berjalan seorang diri, kemanapun. Itu sepi, jauh sekali dari kata
suka-suka. Tapi memang hidup itu tentang menjalani. Kadang suka, kadang tidak,
kadang juga biasa saja. Sama halnya dengan setiap perjalanan yang ada. Karena
akhirnya saya akan tahu, bahwa hidup itu tak hanya tentang menjalaninya saja,
tapi juga menikmati sebisanya. Memulainya bukan selalu berarti senang. Terlalu
banyak intrik. Tapi yang menjadi menarik adalah saat saya mencoba menyulapnya
menjadi sedikit lebih asik buat pribadi. Lalu mulai berpikir tentang orang
lain. Lalu kembali lagi ke diri pribadi. Hal yang saya pikir bisa didapatkan
dari sebuah seri perjalanan.
Saya pikir, suatu perjalanan jadi
menjemukan saat saya mulai merasa terlalu nyaman. Seperti halnya hidup. Bukan pula
berarti saya hanya mencari ketidaknyamanan dalam hidup, bukan itu! Kenyamanan,
ketenangan, itu sebuah tujuan. Dan tujuan akan selalu dicapai dengan melalui
suatu jalan. Bisa instan, tapi kebanyakannya tidak. Di sinilah saya merasa dan
memandang bahwa kegelisahan dan interupsi hanyalah sebuah proses. Proses yang
seolah memberitahukan bahwa saya hidup, dan merasa hidup di dalamnya.
Hmmm, saya pikir perjalanan itu bukanlah
sesempit bepergian di gunung, pantai, samudra, kota-desa. Itu semua hanya
nama-nama tempat biasa. Tak ubah seperti saat seorang kawan berjalan menuju rumah di
kota sebelah, atau saat saya pergi ke depan membeli sarapan. Tapi perjalanan adalah saat
dimana saya menyadari bahwa ini adalah sebuah perjalanan. Membutuhkan proses merasa
dan berpikir di dalamnya, lalu berhasil memetik beberapa buah pikir di sepanjangnya.
Itu tak pernah saling lepas dari rangkaian proses-tujuan. Dan saya tak pernah
jauh darinya. Maka jangan sempitkan semua jadi barisan nama-nama saja. :)
Hingga akhirnya semua
akan kembali ke pertanyaan super mendasar: "Siapa saya?" Tak pernah mudah menjawab
pertanyaan ini. Karena senantiasa berubah seiring waktu. Bahkan mungkin sampai
nanti saya tak lagi ada di sini. Tapi saya pikir semua perlu jawaban sementara.
Jawaban yang akan terus membimbing saya menuju jawaban yang semestinya. Seperti di
ajak merasakan apakah ini hal yang seharusnya, atau mempertimbangkan untuk
pergi saja. Mungkin sedikit aneh kalau saya berkata bahwa ini adalah dialog
internal di dalam diri. Hahaa, tapi benar saya pikir itu perlu. Semacam sendiri
membuat diri tetap eling. Ya, begitu.
Saat ini saya bertanya
lagi, "Siapa saya?" Untuk kemudian menjawab: “Saya Guntur Berlian Bin
Cik-Yan-Lis. Saya besar di pelukan seorang gadis bernama Kartiniwati. Saya
sering diciumnya di kening, lalu diucapkannya untuk senantiasa baik dan
mengingatnya. Saat ini berada di tanah asing bernama Cikarang, mengumpulkan
cerita-cerita lain, untuk nanti bisa saya bagikan pada keluarga, tetangga, dan saya pada akhirnya.”
:)
Cikarang, 17 Juli 2013
ahh,,, entah kenapa selalu suka part of the end,,, touchable,,, :),,, You are great, My Hero,,, :*
BalasHapusTrimakasihtrimakasih. Kisskiss. ;)
BalasHapus#hug,,, :*
BalasHapus