Acong van Bram di penghujung sore gerbang atas UPI, 14 Oktober 2013 |
Bandung. Sebuah kota penuh cerita. Di dalamnya terdapat
1.000.000 hal unik baru yang tak pernah habis walau hingga hari ini sudah hampir
masuki 11 tahun saya masih setia datangi tiap sudutnya. Di tulisan-tulisan
terdahulu, saya sering menyebutnya sebagai sebuah “kota padat cerita dan
kenangan”. Ya, saya pikir sepertinya tak terlalu berlebihan saya menyebutnya
seperti itu, karena memang begitulah kota ini di dalam ingatan saya. Dan saya
tak pernah berniat melebih-lebihkan. Buat apa juga saya lebih-lebihkan? :)
Seperti sore kemaren, saat berdua dengan seorang kawan baik membelah
bandung utara melewati puzzle jalanan kampung kecil yang sempit-rimbun dan berliku
itu. Hingga akhirnya sepeda motor matic
warna pink itu ternyata tiba di perumahan Cipaku, lepas mengantarkan kami dari jalanan
besar Ciumbuleuit yang tadi. Tujuannya kemarin adalah Taman FPEB UPI itu. Niatnya
kami ingin menikmati kopi di tempat biasa kami niagakan sore dari dulu-dulu
berbincang apa saja. Untuk kemudian akhirnya kami tibalah di gerbang atas UPI, tak sengaja kami bertemu satu kawan yang lain.
Saya tak pernah tahu nama aslinya siapa. Tapi saya
mengenalnya dengan panggilan Acong, Acong van Bram. Dia adalah pedagang rokok
asongan yang biasa beroperasi di dalam kampus kami. Rumahnya dekat dengan
kos-kosan saya yang dulu, di kampung Cilimus di atas sana. Umurnya kini mungkin
40 tahun-an atau 50, saya tidak terlalu tahu pasti. Dengannya kami dulu biasa
berbincang, sambil hutangi rokok yang dijualnya kesana-kemari. Ah benar, senang sekali waktu itu. Saya ingat sekali, dia
sangat pandai bermain catur, dia akan dengan sangat mudah mengalahkan kami
semua. Dengar cerita, kabarnya dulu dia biasa bermain dan berlatih bersama
dengan master catur indonesia yang terkenal itu, tapi wallahualam. Cerita yang lain, Acong juga lumayan fasih berbicara
bahasa jepang. Entah dari mana dia belajar bahasa ini. Memang cerita kehidupan
itu aneh ya? :) Kami juga merasa sedikit aneh waktu itu, saat mengetahui Acong memutuskan
untuk mengambil kuliah jurusan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan)
di Universitas Pasundan. Tentu saja kuliahnya itu tak selesai, karena rutinitas
berdagang rokok asongannya yang padat, dan tugas kuliah yang selalu saja tak
pernah dia kerjakan sendiri. Dia biasanya meminta salah satu dari kami untuk mengerjakan
tugas-tugas kuliahnya itu, dengan beberapa batang rokok sebagai imbalannya. Entah
bertahan berapa semester kuliahnya saat itu, tapi (sepertinya) dia tak lulus.
Sisi yang lain darinya adalah cerita yang lebih banyak membuat
tersenyum. Kami semua tahu bahwa pikiran kawan yang ini sedikit terganggu. Dan dia
tak pernah terlalu sungkan untuk bercerita bahwa dia memang seperti itu. Dia masih
rutin kontrol dan meminum obat dari rumah sakit jiwa –mungkin masih hingga sekarang,
saya lupa bertanya kemarin. Di beberapa kesempatan, dia pernah bercerita
tentang hal-hal aneh yang dia rasakan. Tak perlulah saya ceritakan di sini hal-hal
itu apa saja. Tapi seperti itulah dia. Seorang kawan yang unik. Keunikan yang
tak mungkin saya ceritakan semua di sini. Tapi yang selalu saya ingat adalah
dia selalu berhasil membuat saya tersenyum. Seperti di sore entah tahun berapa
itu, saat kami berdua saling mengerjai. Awalnya kami sedikit saling merasa
kesal, tapi berikutnya kami sama terpingkal.
***
Acong van Bram. Salah satu cerita paling menarik dari semua.
Diajarkannya saya untuk selalu mencoba merasa senang di tengah semua hal-hal
rumit yang terus berlangsung dan memang tak pernah bisa terhindar.
Bandung, 15 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar