Dari videonya, aku melihat para pelaku dan saksi mata pembunuhan
keji itu. Mereka hanyalah anak-anak umuran tanggung yang mulutnya penuh sumpah
serapah dan kemarahan. Mudah sekali aku menemukan yang mirip seperti itu saat
aku ikut menonton Persib berlaga di stadion itu. Sudah sedari dulu. Tapi tidak
dengan yang ini. Ini berbeda, Nak, berbeda sekali. Aku tidak merasakan ada manusia
yang mengelilingi dan memukuli geletak tubuh di video ini. Lalu mungkin kau
akan bertanya: “lantas mereka ini apa, Yah?”. Entah apa, tapi mereka bukan
seperti kita, Nak. Bukan seperti kita.
Akan ada hal-hal yang sangat kau sukai, Nak. Mungkin saja
itu klub sepak bola, grup band remaja, tokoh agama, apa saja. Dan aku mungkin tak
akan menghalangi apapun yang kau sukai. Tapi baiknya kau bisa senantiasa
eling, Nak. Bila kau merasa mulai tumbuh bibit rasa benci dalam benakmu, meski
sedikit saja, maka kau harus berani untuk berhenti sejenak dan mulai mempertanyakan
segala hal. Segalanya, Nak, pertanyakan segalanya. Karena pada akhirnya
nuranimu akan menjawab semuanya. Nurani tak memandang perbedaan, Nak. Dia tak
memandang perbedaan klub sepakbola, dia tak memandang perbedaan agama, dia tak
memandang perbedaan apapun. Nurani hanya akan melihat kesamaan-kesamaan.
“Nah, Ayah, lantas mengapa tadi kau berkata bahwa pelaku pembunuhan
itu berbeda dari kita?”, mungkin itu adalah pertanyaanmu berikutnya. Ya, Nak, karena
memang bukan nuraniku yang tadi mengatakan hal itu. Emosiku sedang mengambil
alih kemudi. Dan hal itulah yang akhirnya memintaku untuk berhenti dan mulai berdialog
denganmu, atau sebenarnya dengan diriku sendiri?, ah, siapa yang tahu.
Dan jangan mulai mencari siapa yang salah dalam hal ini. Seperti beberapa komentar netizen yang mengatakan bahwa ada kaitan antara ulama
negeri ini yang kini tengah terlalu sibuk bermain politik dan tidak
memperhatikan kalangan akar rumput yang semakin hari semakin hilang kendali. Tidak,
Nak, tak perlu kau cari siapa yang salah. Cukup kau biarkan nuranimu mengambil
alih, yang sayangnya, ini adalah hal yang tersulit, dan semua hal yang di luar
itu kau tarik mundur dahulu.
Kau juga tak perlu mengikuti semua tokoh agama, tokoh masyarakat,
tokoh politik, idola musik atau siapapun untuk membiarkan nuranimu mengambil
alih semuanya. Kau adalah miniatur semesta yang sebenarnya, Nak. Meski dalam
perjalanannya, kau nyatanya tak pernah hidup sendiri. Toh, “persamaan dan
perbedaan” itu sendiri berarti tak ada yang sendiri, bukan? Hiduplah dengan
rasa bahagia sebisanya, Nak, itu saja. Dan kini, saat melihat bagaimana
pembunuhan suporter bola tadi terjadi, apakah kau merasa bahagia, Nak? Lantas
bagaimana? Tanyakan itu semua dalam perenunganmu yang mungkin tak akan pernah
menemui titik akhir. Bahkan sampai nanti, sampai waktumu pun akhirnya habis, menuju ketiadaan.
Salam sayang Ayah,
Cikarang, 24 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar