Rabu, 14 Februari 2018

Dan Agama Adalah Salah Satunya

Kamu tahu, Nak, ada orang yang terlalu banyak berbicara tentang agama. Biasanya mereka menganggap merekalah satu-satunya orang yang paling mengerti. Bukan hanya mengerti agamanya sendiri, tapi juga menganggap mengerti agama orang lain. Mereka saling menilai orang lain seenaknya, lalu tanpa ampun dan ragu menyebarluaskannya. Lucu ya? Tapi ini nyata, Nak. Tertawalah.

Kau juga pasti tahu, Nak, bahwa ayahmu bukan seorang yang sangat agamis. Solat yang lima waktu saja ayahmu ngos-ngosan sampai ke ujung kepala. Tapi satu yang mungkin bisa kau syukuri, bahwa ayahmu menyadari dia belum begitu paham tentang apapun, termasuk agama. Yang jangankan agama orang lain, bahkan agama sendiripun dia masih begitu. :D Tapi sekali waktu, guru mengaji kami dulu pernah berujar, bahwa beberapa di antara kami ada yang bisa belajar mengaji dengan cepat, sedang sebagian lagi lebih lambat, dan beberapa bahkan susah sekali, cenderung bebal. Menurut beliau, sebenarnya itu sama saja, semuanya belajar. Dan aku, hingga sekarang, sepertinya masih setuju.

Di sela regukan kopiku yang akhir-akhir ini semakin jarang, aku masih menyempatkan berdialog dengan diriku sendiri, Nak. Temanya macam-macam, meski kini banyaknya adalah tentangmu. Selain itu, terkadang aku juga memikirkan hal yang lain, seperti yang tadi. Banyaknya aku hanya tertawa bila melihat komentar dan postingan mereka berseliweran sahut menyahut. Kadang aku berpikir mereka mulai gila. Gila pemahaman, mabuk akan hasrat untuk selalu menang, candu membenci. Kurasa begitulah, penyakit yang umum sekali di hari ini.

Seiring waktu, kau akan mendengar bahwa ayahmu juga agak sedikit tak waras, Nak. Mungkin kau akan mendengarnya dari kenalan-kenalanku, atau bahkan mungkin dari simpulanmu sendiri. Aku senang berdiam, bicara dan tertawa sendiri, bahkan ibumu kemarin-kemarin berkata bahwa apa yang kuanggap lucu itu biasanya berbeda dengan orang lain, hehee Tapi tidak, Nak. Percayalah bahwa aku sama sehatnya dengan yang lain. Atau di beberapa kondisi dan tekanan tertentu, bahkan aku bisa jauh lebih eling dari yang lain. Seperti halnya tadi: tentang pemahaman untuk selalu menang lalu membenci. Ah, itu salah, Nak. Tapi biar saja, karena akupun hanya sebatas berusaha untuk tidak menjadi seperti itu. Aku berdiam, bicara dan tertawa sendiri untuk menjaga kewarasan dan rasa bahagiaku yang lebih pribadi. Dan agama adalah salah satunya. Hanya itu.

Pewayangan Sunda, mengisahkan suatu tempat yang sangat ideal bernama Karang Tumaritis. Di sana, hiduplah semua warga desa 
dalam harmoni yang rukun tentam di tengah peluk-ayoman Lurah Ki Semar yang hidup bersama anak-anak lelakinya. Nah, sepertinya tempat itu menyenangkan sekali, bukan? Ya, menyenangkan, atau bahkan lebih dari itu. Tapi nyatanya, tempat seperti itu tak akan pernah ada, Nak. Di satu saat mungkin kau akan merusak harmoni bagi yang lain, sedang di lain waktu, kau memperbaikinya untuk orang lain, atau tidak sama sekali. Dan seberapapun berseberangannya, jangan membenci, Nak. Nikmati saja hidupmu, menari dan tertawalah dalam renungan kebahagiaan yang sehari-hari, dan siapa yang tahu, mungkin lanjutnya kau bisa memberikan manfaat bagi orang lain.
Jakarta, Februari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar