Jumat, 02 Februari 2018

Dari Sampang, Madura

Semenjak mendengar dan mempelajari berita itu dari berbagai media, aku gelisah sekali, Nak. Aku berusaha mencernanya dari berbagai sudut pandang, tapi tak kunjung kutemukan kesimpulan yang berbeda. Itu, Nak, tentang seorang guru kesenian di sebuah SMA di Sampang Madura sana yang terbunuh karena “dianiaya” oleh muridnya. Aku gelisah, Nak. Gelisah sekali.

***
Saat itu, kami, murid kelas 1-G SMP Negeri 1 Curup tengah belajar mata pelajaran Muatan Lokal. Di sana, kami belajar tentang budaya leluhur kami di tanah Rejang, belajar sejarahnya atau menulis huruf tradisional Ka-Ga-Nga. Guru kami itu bernama Pak Iskandar, sosok kecil berkulit putih yang ramah dan berkumis. Dan siang itu, aku bersama seorang kawan sebangkuku sibuk saja mengobrol dan tertawa tanpa memperhatikan pelajarannya sedikitpun, meski sudah berulang kali ditegur. Guru kami itu menjadi kesal, aku dilemparnya dengan penghapus kapur papan tulis. Aku terdiam, dia lanjut mengomeliku di depan kelas tanpa ampun. Seingatku, aku sempat sekali menjawab pelan omelannya itu, dan itu membuatnya menjadi lebih marah dan meninggalkan kelas.

Keesokan sorenya, entah bagaimana, Ibuku tahu kejadian itu. Aku dipanggilnya, kami berbicara di dalam kamar. Rasanya belum pernah aku melihat Ibuku menatapku dengan pandangan seperti itu. Dia malu terhadap ulahku. Dia mebuatku berjanji untuk menemui Pak Iskandar sesegera mungkin untuk meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Meski ibuku tak pernah tahu bahwa janji itu tak pernah kutepati, tapi kurasa aku berhasil membuat janji pada diriku sendiri untuk mencoba lebih menghargai mereka.

***
Aku benci membayangkan jika nanti kau memang sedang berbuat salah tapi berani melawan gurumu, baik itu sekedar menjawab tak hormat, apalagi sampai berani menantang, bahkan berkelahi. Ah, jangan, Nak. Kau tak akan pernah mendapat pembelaanku sedikitpun. Atau bahkan, kurasa kau akan kutendang di depan gurumu sampai kau menangis. Aku benci membayangkannya, tapi kurasa aku akan melakukannya tanpa ragu jika itu benar terjadi.

Ibuku seorang guru, Nak. Sedang aku, ayahmu, menimba ilmu untuk bekal hidup kita di tempat para guru ditempa. Banyak dari teman terbaikku berprofesi sebagai seorang guru. Dan kurasa cukuplah itu semua untuk membuatmu lebih menghargai guru yang kau temui nanti-nanti di sepanjang hidupmu. Hargai dan hormati mereka selayak kau menghargai dan menghormati aku dan ibumu. Dan yakinlah, tak ada orang yang lebih layak kau hormati lebih dari aku, ibumu, dan gurumu.

Jakarta, Februari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar