Semenjak mendengar dan mempelajari berita itu dari berbagai
media, aku gelisah sekali, Nak. Aku berusaha mencernanya dari berbagai sudut
pandang, tapi tak kunjung kutemukan kesimpulan yang berbeda. Itu, Nak, tentang
seorang guru kesenian di sebuah SMA di Sampang Madura sana yang terbunuh karena
“dianiaya” oleh muridnya. Aku gelisah, Nak. Gelisah sekali.
***
Saat itu, kami, murid kelas 1-G SMP Negeri 1 Curup tengah belajar
mata pelajaran Muatan Lokal. Di sana, kami belajar tentang budaya leluhur kami di
tanah Rejang, belajar sejarahnya atau menulis huruf tradisional Ka-Ga-Nga. Guru kami itu bernama Pak Iskandar, sosok kecil berkulit putih
yang ramah dan berkumis. Dan siang itu, aku bersama seorang kawan sebangkuku sibuk saja
mengobrol dan tertawa tanpa memperhatikan pelajarannya sedikitpun, meski sudah
berulang kali ditegur. Guru kami itu menjadi kesal, aku dilemparnya dengan
penghapus kapur papan tulis. Aku terdiam, dia lanjut mengomeliku di depan kelas
tanpa ampun. Seingatku, aku sempat sekali menjawab pelan omelannya itu, dan itu
membuatnya menjadi lebih marah dan meninggalkan kelas.
Keesokan sorenya, entah bagaimana, Ibuku tahu kejadian itu. Aku
dipanggilnya, kami berbicara di dalam kamar. Rasanya belum pernah aku melihat
Ibuku menatapku dengan pandangan seperti itu. Dia malu terhadap ulahku. Dia
mebuatku berjanji untuk menemui Pak Iskandar sesegera mungkin untuk meminta
maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Meski ibuku tak pernah tahu bahwa janji
itu tak pernah kutepati, tapi kurasa aku berhasil membuat janji pada diriku
sendiri untuk mencoba lebih menghargai mereka.
***
Aku benci membayangkan jika nanti kau memang sedang berbuat
salah tapi berani melawan gurumu, baik itu sekedar menjawab tak hormat, apalagi
sampai berani menantang, bahkan berkelahi. Ah, jangan, Nak. Kau tak akan pernah
mendapat pembelaanku sedikitpun. Atau bahkan, kurasa kau akan kutendang di
depan gurumu sampai kau menangis. Aku benci membayangkannya, tapi kurasa aku
akan melakukannya tanpa ragu jika itu benar terjadi.
Ibuku seorang guru, Nak. Sedang aku, ayahmu, menimba ilmu untuk bekal hidup kita di
tempat para guru ditempa. Banyak dari teman terbaikku berprofesi sebagai
seorang guru. Dan kurasa cukuplah itu semua untuk membuatmu lebih menghargai
guru yang kau temui nanti-nanti di sepanjang hidupmu. Hargai dan hormati mereka
selayak kau menghargai dan menghormati aku dan ibumu. Dan yakinlah, tak ada orang
yang lebih layak kau hormati lebih dari aku, ibumu, dan gurumu.
Jakarta, Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar