Senin, 12 Mei 2014

Keluarga: Antara Retorika dan Merasa

Kami bersiap pulang. Beberapa kawan yang lain sudah pulang duluan pagi-pagi tadi.

Acara yang selalu saya tunggu-tunggu ini akhirnya datang lagi. Sebuah acara bersama kawan-kawan kantor –bukan acara kantor, yang selalu kami usahakan untuk terus diadakan setidaknya setahun sekali. Sebenarnya acaranya ini sederhana sekali: kami berjalan-jalan ke luar kota, kami menginap semalam, kami bermain games yang kami susun sendiri, dan rasanya bahagia sekali: saat kami semua tertawa, berdialog bebas selayaknya kawan, berkejar-kejaran dalam kelompok di dalam air, ah, banyak. Dan di saat-saat seperti inilah, saya baru bisa merasakan bahwa kami adalah benar sebuah keluarga. :)

Di kantor, saya sering sekali membaca tulisan-tulisan yang menempel di dinding dan kertas-kertas, atau mendengar beberapa petinggi perusahaan kami berbicara, atau saat diminta meneriakkan slogan: “kita semua adalah keluarga”. Saya membaca tulisan-tulisan itu, saya dengarkan baik-baik saat petinggi kami membicarakannya, saya ikut teriakkan juga slogannya. Tapi kadang, sebenarnya saya bingung sendiri. Karena saya pikir, seharusnya “keluarga” adalah sesuatu yang dirasakan –bukan untuk dituliskan, dibicarakan jadi diskusi, apalagi diteriakkan. Sama saja seperti kata “hidup”, karena seseorang tak benar hidup bila dia sendiri tak bisa merasakan kehidupan dalam hidupnya. Begitu kan ya?

Ah, sebenarnya itu saja. Saat ini saya tak akan menuliskan lebih jauh lagi tentang tema ini, karena sepertinya, tulisan seperti ini akan mudah sekali memicu pikiran negatif bagi sebagian kawan yang terlalu serius. Tapi percaya saja, bahwa saat ini, saya sama sekali tak bicara sisi negatif dari apa dan siapapun. Saya kurang tertarik berbicara tentang hal-hal serupa itu. :)

Bogor, 11 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar