Kamis, 15 Mei 2014

Petik Obrolan Game of Throne

"It is a big and beautiful world. Most of us live and die in the same corner where we were born and never get to see any of it. I don’t want to be most of us."

Terjemahan bebas:

Kita tinggal di sebuah dunia yang besar dan cantik sekali. Kebanyakan orang, hidup dan hingga mati hanya di satu sudut yang sama, dan tak pernah sempat melihat sudut-sudut dunia yang lain. Dan saya tak ingin menjadi seperti orang-orang kebanyakan ini.

Oberyn Martel, Game of Thrones ep 6 season 4.

***
Saya baru bangun tidur siang, untuk kemudian melihat-lihat beberapa timeline yang secara tak sengaja masuk ke laman beranda dari akun sosial-media milik saya. Dan tulisan di atas adalah salah satunya, post milik seorang kawan yang menyenangkan sekali. Saya baca berulang-ulang kalimatnya, saya diam saja. Sepertinya saat itu beberapa jalur saraf di dalam kepala saya sedang dalam kondisi super sibuk tengah mengantarkan pesan-pesan kimia yang beruntai dan padat sekali. Tak ingin terburu-buru, saya petikkan dulu pelan-pelan senar-senar gitar milik seorang kawan yang saat ini masih tertidur pulas itu. Bersenandung sendiri hingga merasa cukup, saya putuskan untuk menuliskan ini.

Saya belum pernah menonton serial “Game of Throne” sebelumnya, saya juga tak tahu kiranya Oberyn Martel adalah penulis ceritanya atau hanya salah satu pemeran di serial itu. Tapi saya tertarik sekali dengan cuplikan obrol yang di-post-kan oleh kawan yang ini tadi. Membuat saya berpikir tentang banyak hal dari sekian panjang cerita pribadi yang pernah, sedang dan akan saya lalui. Seperti perihal melihat hal-hal lain di dunia yang sebesar ini. :) Saya ceritakan dulu: bahwa saya belum pernah sekalipun keluar dari Indonesia –walaupun keinginan saya untuk bisa bersekolah dan berkunjung ke luar negri besar sekali, mungkin sebagian dari kalian tak mengerti. Tapi saya pikir itu semua bukan masalah. :)

***
Nama saya Guntur Berlian. Saya lahir di Bengkulu, 15 Maret 1986, di sebuah rumah sakit daerah bernama RS Padang Harapan, buah cinta dari sepasang muda-mudi bernama Cik Yan Lis dan Kartini (cerita hampir serupa dapat dilihat di edisi tulisan “Cik Yan Lis” dan “Kartiniwati”). Saya tumbuh besar di sebuah area pesawahan yang menghampar luas, di sebuah lembah dari dua gunung yang gagah sekali, namanya Bukit Kaba dan Bukit Basa. Bermain sepanjang hari di pematang sawahnya yang sudah saya hafal benar, atau di antara tiup angin yang meniup-niup pohon kelapa dan kuning padi di bawahnya. Dan beranjak remaja di kota yang sama, namanya Curup, saya mengenal kawan-kawan yang selalu membuat tertawa, atau menjalani masa-masanya dengan romantika cinta remaja, konflik, dan persahabatan, rasanya menyenangkan sekali. :) Lanjut setelah menamatkan sekolah menengah umum, saya menuju sebuah kota yang terkenal dengan kecantikannya itu, Bandung. Sebelas tahun saya habiskan waktu di kota itu, menimba beberapa pengetahuan yang kadang sengaja ataupun tidak sengaja saya temukan, dan begitu saja. Kemudian berpindah ke Cikarang, sebuah kota kecil dengan cuacanya yang panas sekali. Dan dua hari lagi, akan menjadi genap tiga tahun sudah saya berdiam di kota itu. Dan itu saja. :)

Saya selalu berpikir bahwa hidup itu adalah sebuah cerita. Di dalam sebuah cerita, selalu saja ada detail-detail sederhana yang bisa membuat cerita tersebut menjadi sebuah kehidupan dan hidup itu sendiri. Meski terkadang yang menjadi pembeda adalah adanya kemungkinan seseorang mampu dan mau melihat detail-detail tersebut atau tidak, dalam cerita yang dijalaninya. Ah, sebenanya itu hanya sebuah pilihan saja, seseorang akan tetap bisa menjalani kehidupan dengan melihat atau tanpa melihat detail-detail yang ada di dalamnya. Saya pikir di situlah pesona misteri hidup dan kehidupan tetap tersimpan rapi dalam dimensi ruang, waktu, dan kejadian.

Hmmm, saya pikir, mungkin tak ada yang lebih baik antara “orang yang berkeliling dunia di sepanjang hayatnya” dengan “sebagian yang lain yang hidup hingga matinya hanya di satu sudut tertentu itu saja dari dunia yang sebesar ini”. Pada dasarnya itu adalah sebuah probabilitas, saat seseorang diberi kemampuan dan kesempatan untuk bertualang kemana saja, sedang yang lain tidak. Kita semua dihadiahi untuk memiliki kehidupan yang sama. Menurut saya begitu, bagus sekali. :) Dan mungkin satu-satunya hal yang sedikit ganjil dari cuplik obrolan di atas adalah: pernyataan tentang dia tak mau menjadi seperti orang-orang kebanyakan. Hmmm: “Ah kamu, Mr. Martel, kenapa fokus sekali pada hidup orang lain? Itu hanya memperlihatkan kamu bahkan tak fokus pada detail-detail ceritamu sendiri”. :D Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya itu bukan masalah, bila Mr Martel ingin berpikir seperti itu, saya pikir itu juga bagus-bagus saja untuknya. :)

Terima kasih untuk Fittonia Elgina buat kilas ceritanya yang menarik
Bandung, 15 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar