"It is a big and
beautiful world. Most of us live and die in the same corner where we were born
and never get to see any of it. I don’t want to be most of us."
Terjemahan bebas:
“Kita tinggal di sebuah dunia yang besar dan cantik sekali. Kebanyakan orang, hidup dan hingga mati hanya di satu sudut yang sama, dan tak pernah sempat melihat sudut-sudut dunia yang lain. Dan saya tak ingin menjadi seperti orang-orang kebanyakan ini.”
Oberyn Martel, Game of Thrones ep 6 season 4.
***
Saya baru bangun tidur siang, untuk kemudian melihat-lihat
beberapa timeline yang secara tak
sengaja masuk ke laman beranda dari akun sosial-media milik saya. Dan tulisan di atas adalah salah
satunya, post milik seorang kawan yang menyenangkan sekali. Saya
baca berulang-ulang kalimatnya, saya diam saja. Sepertinya saat itu beberapa jalur
saraf di dalam kepala saya sedang dalam kondisi super sibuk tengah mengantarkan pesan-pesan
kimia yang beruntai dan padat sekali. Tak ingin terburu-buru, saya petikkan dulu pelan-pelan senar-senar gitar
milik seorang kawan yang saat ini masih tertidur pulas itu. Bersenandung sendiri
hingga merasa cukup, saya putuskan untuk menuliskan ini.
Saya belum pernah menonton serial “Game of Throne”
sebelumnya, saya juga tak tahu kiranya Oberyn Martel adalah penulis ceritanya
atau hanya salah satu pemeran di serial itu. Tapi saya tertarik sekali dengan
cuplikan obrol yang di-post-kan oleh
kawan yang ini tadi. Membuat saya berpikir tentang banyak hal dari sekian panjang
cerita pribadi yang pernah, sedang dan akan saya lalui. Seperti perihal melihat
hal-hal lain di dunia yang sebesar ini. :) Saya ceritakan dulu: bahwa saya belum pernah sekalipun keluar dari Indonesia –walaupun keinginan saya untuk bisa bersekolah dan
berkunjung ke luar negri besar sekali, mungkin sebagian dari kalian tak
mengerti. Tapi saya pikir itu semua bukan masalah. :)
***
Nama saya Guntur Berlian. Saya lahir di Bengkulu, 15 Maret
1986, di sebuah rumah sakit daerah bernama RS Padang Harapan, buah cinta dari sepasang
muda-mudi bernama Cik Yan Lis dan Kartini (cerita hampir serupa dapat dilihat
di edisi tulisan “Cik Yan Lis” dan “Kartiniwati”). Saya tumbuh besar di sebuah area
pesawahan yang menghampar luas, di sebuah lembah dari dua gunung yang gagah
sekali, namanya Bukit Kaba dan Bukit Basa. Bermain sepanjang hari di pematang
sawahnya yang sudah saya hafal benar, atau di antara tiup angin yang meniup-niup
pohon kelapa dan kuning padi di bawahnya. Dan beranjak remaja di kota yang
sama, namanya Curup, saya mengenal kawan-kawan yang selalu membuat tertawa,
atau menjalani masa-masanya dengan romantika cinta remaja, konflik, dan
persahabatan, rasanya menyenangkan sekali. :) Lanjut setelah menamatkan sekolah menengah
umum, saya menuju sebuah kota yang terkenal dengan kecantikannya itu, Bandung. Sebelas
tahun saya habiskan waktu di kota itu, menimba beberapa pengetahuan yang kadang
sengaja ataupun tidak sengaja saya temukan, dan begitu saja. Kemudian berpindah
ke Cikarang, sebuah kota kecil dengan cuacanya yang panas sekali. Dan dua
hari lagi, akan menjadi genap tiga tahun sudah saya berdiam di kota itu. Dan
itu saja. :)
Saya selalu berpikir bahwa hidup itu adalah sebuah cerita. Di
dalam sebuah cerita, selalu saja ada detail-detail sederhana yang bisa membuat
cerita tersebut menjadi sebuah kehidupan dan hidup itu sendiri. Meski terkadang
yang menjadi pembeda adalah adanya kemungkinan seseorang mampu dan mau melihat
detail-detail tersebut atau tidak, dalam cerita yang dijalaninya. Ah, sebenanya itu hanya
sebuah pilihan saja, seseorang akan tetap bisa menjalani kehidupan dengan melihat
atau tanpa melihat detail-detail yang ada di dalamnya. Saya pikir di situlah pesona
misteri hidup dan kehidupan tetap tersimpan rapi dalam dimensi ruang, waktu,
dan kejadian.
Hmmm, saya pikir, mungkin tak ada yang lebih baik antara “orang yang berkeliling dunia di sepanjang
hayatnya” dengan “sebagian yang lain
yang hidup hingga matinya hanya di satu sudut tertentu itu saja dari dunia yang
sebesar ini”. Pada dasarnya itu adalah sebuah probabilitas, saat seseorang
diberi kemampuan dan kesempatan untuk bertualang kemana saja, sedang yang lain
tidak. Kita semua dihadiahi untuk memiliki kehidupan yang sama. Menurut saya
begitu, bagus sekali. :) Dan mungkin satu-satunya hal yang sedikit ganjil dari
cuplik obrolan di atas adalah: pernyataan tentang dia tak mau menjadi seperti
orang-orang kebanyakan. Hmmm: “Ah kamu,
Mr. Martel, kenapa fokus sekali pada hidup orang lain? Itu hanya memperlihatkan
kamu bahkan tak fokus pada detail-detail ceritamu sendiri”. :D Tapi ngomong-ngomong,
sebenarnya itu bukan masalah, bila Mr Martel ingin berpikir seperti itu, saya
pikir itu juga bagus-bagus saja untuknya. :)
Terima kasih untuk Fittonia Elgina buat kilas ceritanya yang menarik
Bandung, 15 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar