Saya tersenyum miris membaca ratusan posts tentang sosial-politik di ranah sosial media di negeri ini. Sepertinya begini: mereka menganggap itu sebagai mengkritik, seolah tak ada yang lebih paham lagi, semua yang ada adalah salah, atau bahkan sekedar nyinyir saja.
Jujur saja, kadang saya muak sekali membacanya. Meski kadang tak semuanya juga seperti
itu. Kadang memang ada sesekali yang terlihat lepas saja, dan saya menyukai
bagian yang ini. Tapi hanya sedikit sekali. Terbatas sekali.
Dalam contoh ekstrim, kadang saya berpikir apakah mereka menganggap bahwa mereka adalah (semacam) Tuhan? Untuk kemudian ringan sekali menunjuk sana-sini memutuskan mana yang benar dan mana yang
tidak seenak perutnya sendiri. Lalu merasa bangga saat ada yang menanggapi kicauan mereka dengan rasa kagum atau bahkan biasa saja. Dan saya akan
segera berkomentar sendiri di dalam hati agar mereka bersegera memperbanyak meminum susu tulang yang
saat ini banyak dijual di pasaran saja.
Sekarang, atau nanti saat kamu sempat dan mau, mari perlahan membaca renungan Bang Iwan Fals di
lagunya yang ini: “Jangan Bicara”. Saya pikir lagu ini baik sekali. Dengan bahasanya
yang puitis-tajam, dia bicara dengan pemilihan kosakata yang sangat lugas. Bergidik
saya mendengarkan, saat di akhir lagunya dia berucap: “atau tentang tanggung jawab yang kini dianggap sepi!”. Sebaiknya orang-orang serupa di atas merasa malu.
***
Jangan Bicara - Iwan Fals
Jangan bicara soal idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya
Ancaman yang membuat kita terpaksa onani
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya
Ancaman yang membuat kita terpaksa onani
Jangan bicara soal nasionalisme
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur di ujung hidung yang memang tak mancung
Jangan perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan
Jangan cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan polan
Lihat di sana, si Urip meratap
Di teras marmer direktur murtat
Lihat di sana, si Icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih
Lihat di sana, parade penganggur
Yang tampak murung di tepi kubur
Lihat di sana, antrian pencuri
Yang timbul sebab nasinya dicuri
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur di ujung hidung yang memang tak mancung
Jangan perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan
Jangan cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan polan
Lihat di sana, si Urip meratap
Di teras marmer direktur murtat
Lihat di sana, si Icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih
Lihat di sana, parade penganggur
Yang tampak murung di tepi kubur
Lihat di sana, antrian pencuri
Yang timbul sebab nasinya dicuri
Jangan bicara soal runtuhnya moral
Mari bicara tentang harga diri yang tak ada arti
Atau tentang tanggung jawab
Yang kini dianggap sepi
Mari bicara tentang harga diri yang tak ada arti
Atau tentang tanggung jawab
Yang kini dianggap sepi
Cikarang, 12 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar