![]() |
*Saya masih ingat, itu saya yang terakhir masang kartu 4-1, :p Kiri ke Kanan: Nano, Guntur, Yudo, Hilman, Dicky. |
Dulu, saya pernah berpikir satu hal yang sangat menarik
tentang diri saya sendiri. Saya benar-benar pernah berpikir bahwa saya mampu
membaca masa depan! Ya, membaca masa depan! Dan keyakinan tersebut
sepertinya didukung pula dengan hobi kawan-kawan dekat di sekolah dulu
yang sangat menggilai hal-hal berbau mistis. :p (cerita serupa dapat dibaca di tulisan berjudul "Muhammad Haikal Sedayo (2)" dan "Yudi Apiko" di blog ini). Berulang kali saya mengalami pengalaman menarik mengenai hal (masa depan) ini: dari permainan kartu remi, dari kartu
gaple, dari sebuah kecelakaan lalu-lintas yang tak disengaja, dari soal-soal
ujian, dari mata kuliah statistika yang pernah saya ambil, dari dialog-dialog
singkat bersama orang lain, dan masih banyak lagi. Bahkan hingga saat saya
merantau kuliah di tanah Priangan yang cantik itu, saya tetap masih berpikiran
tentang hal yang sama.
Hingga hari itu pun akhirnya datang. Sebuah akhir minggu di
awal tahun 2007. Hari bersejarah dimana akhirnya saya menyadari bahwa
keyakinan saya selama ini mengenai kemampuan membaca masa depan adalah salah satu hal terkonyol
yang pernah saya pikirkan (ahahaa, ini memang terdengar bodoh, tapi ini nyata, :D). Saya menyadari hal tersebut bermula dari permainan ini juga. Saat malam itu, salah satu tetangga kampung kami di Negla Hilir Bandung, sedang bersiap
untuk hajatan, dan ada perlombaan gaple untuk mengisi malam sebelum besok acara
hajatnya dimulai. Tentu saja malam itu saya ikut meramaikan perlombaannya. :D
Singkat cerita, malam itu saya menang (lagi). Hingga di
ujung malamnya, saya menerima hadiah seekor ayam jantan –yang akhirnya saya
jual malam itu juga seharga 200 ribu rupiah kepada si pemilik hajat. Saya
senang sekali malam itu. Bukan saja karena uang 200 ribu yang saya terima, tapi
karena satu hal yang luar biasa hebat sudah terjadi di salah satu babak permainannya.
:)
Saat itu permainan kami mungkin baru berjalan 10-15 menit
saja. Hampir sebagian dari kartu gaple itu sudah turun dari tangan-tangan kami
para peserta lomba di meja ini. Dan seperti biasa, saya seolah bisa membaca
dengan jelas urutan kartu-kartu apa saja yang akan dikeluarkan oleh ketiga
lawan yang mengelilingi saya. Saya berpikir waktu itu dengan pasti: permainan di ronde ini
akan ditutup dengan kartu Balak 4 yang saat ini sedang saya pegang di antara 4 kartu
yang lain, dan masing-masing 3 kartu di pemainan yang lain! Berpura-pura serius,
saya teruskan permainannya. Hingga semua kartu akhirnya turun, balak 4 menutup
rondenya sesuai perkiraan saya, dan saya memenangkan lagi permainannya.
Ronde berikutnya baru akan dilanjutkan lagi, dan kartu itu
sedang dikocok oleh seorang kawan yang lain. Saya termenung sejenak di antara
saut-sautan anak kecil yang berlarian di pinggir jalan kampung dan tawa peserta lomba yang lain di meja sebelah. Saya berpikir
keras: “saya ragu sekali bahwa saya bisa
membaca masa depan. Sepertinya itu sangat konyol!”. Pikiran saya berkecamuk (lumayan) hebat saat itu. Hingga kartu-kartu gaple
itu kembali di bagikan, dan saya tersenyum sumringah di tengah rondenya: saya menyadari
satu hal besar! Bahwa sebenarnya saya sama sekali tak bisa membaca masa depan!
Bahwa mungkin (sepertinya) saya hanya sedikit lebih pandai dari orang lain dalam membaca
kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang terbentuk. Hal besar itu terlintas saja saat saya menyadari
bahwa saya membutuhkan sedikit keberuntungan untuk memenangkan ronde yang ini. Dan tentu saja, hal itu berbeda sekali dengan kemampuan membaca masa depan! :D
Ya, mungkin sebelum-sebelumnya saya juga sudah pernah menyadari
bahwa memenangkan permainan gaple membutuhkan sedikit keberuntungan. Tapi mungkin hal
tersebut selalu saja menjadi sangat samar karena kepercayaan diri saya yang
berlebih tentang kemampuan membaca masa depan. Ah, bodoh sekali. :)
Dan saya pulang malam itu. Menyimpan baik-baik uang yang saya terima ke bawah
tumpukan baju di dalam lemari. Dan sebelum lepas terpejam di atas kasur tipis itu, saya tertawa dalam
hati. Menyadari bahwa saya hanyalah manusia normal biasa, adalah hal paling
menggembirakan yang pernah saya alami dari dulu hingga malam itu. Berujar
sendiri di antara terang lampu tidur berbentuk bola di atas speaker biru itu: “Ah, terima kasih malam ini, kamu bijaksana
sekali”, saya belum pernah merasa seterbuka itu. :)
![]() |
**Sampai sekarang, saya masih suka bermain. Hampir setiap sore sepulang kerja, kadang sampai larut malam |
Karawang – Cikarang, 4 Oktober 2014.
*Kalo ga salah, foto ini diambil oleh Yulia Dewi atau Anggraini Nurina. Lupa
**Foto oleh Asep Aripin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar