Minggu, 05 Oktober 2014

Gaple

Sore di Karawang belum terlalu jauh. Saya duduk-duduk saja sendiri di lindungan sebuah saung kecil di dalam sebuah komplek Perumahan yang tertata, di antara desing angin sorenya yang ramah meniup-niup. Sebenarnya sore ini saya sedang menunggu seorang kawan baik yang tadi di awal sorenya pergi mengantarkan buah hatinya periksa kesehatan ke dokter spesialis anak. Sambil menunggu, handphone yang masih terbilang baru ini saya utak-atik sekenanya saja. Hingga akhirnya saya membuka laman facebook dan memeriksa beberapa foto di beberapa tahun yang lewat. Dan foto ini adalah salah satunya. Foto di penghujung 2006, kalau tak salah. Sebuah gambar yang menangkap moment dimana saya sedang asik bermain gaple bersama beberapa orang kawan. Saya masih ingat, gambar itu diambil di satu pagi saat kami sekelas tengah kuliah lapangan kecil di Situ Ciburuy, Padalarang. Melihat gambar ini, saya jadi senyum sendiri. Teringat bahwa saya sangat menyukai permainan ini. Di daerah perkotaan, permainan ini dikenal dengan nama: Gaple, sedang di kampung, kami biasa menyebutnya: Dom!
*Saya masih ingat, itu saya yang terakhir masang kartu 4-1, :p
Kiri ke Kanan: Nano, Guntur, Yudo, Hilman, Dicky.
***
Dulu, saya pernah berpikir satu hal yang sangat menarik tentang diri saya sendiri. Saya benar-benar pernah berpikir bahwa saya mampu membaca masa depan! Ya, membaca masa depan! Dan keyakinan tersebut sepertinya didukung pula dengan hobi kawan-kawan dekat di sekolah dulu yang sangat menggilai hal-hal berbau mistis. :p (cerita serupa dapat dibaca di tulisan berjudul "Muhammad Haikal Sedayo (2)" dan "Yudi Apiko" di blog ini). Berulang kali saya mengalami pengalaman menarik mengenai hal (masa depan) ini: dari permainan kartu remi, dari kartu gaple, dari sebuah kecelakaan lalu-lintas yang tak disengaja, dari soal-soal ujian, dari mata kuliah statistika yang pernah saya ambil, dari dialog-dialog singkat bersama orang lain, dan masih banyak lagi. Bahkan hingga saat saya merantau kuliah di tanah Priangan yang cantik itu, saya tetap masih berpikiran tentang hal yang sama.

Hingga hari itu pun akhirnya datang. Sebuah akhir minggu di awal tahun 2007. Hari bersejarah dimana akhirnya saya menyadari bahwa keyakinan saya selama ini mengenai kemampuan membaca masa depan adalah salah satu hal terkonyol yang pernah saya pikirkan (ahahaa, ini memang terdengar bodoh, tapi ini nyata, :D). Saya menyadari hal tersebut bermula dari permainan ini juga. Saat malam itu, salah satu tetangga kampung kami di Negla Hilir Bandung, sedang bersiap untuk hajatan, dan ada perlombaan gaple untuk mengisi malam sebelum besok acara hajatnya dimulai. Tentu saja malam itu saya ikut meramaikan perlombaannya. :D

Singkat cerita, malam itu saya menang (lagi). Hingga di ujung malamnya, saya menerima hadiah seekor ayam jantan –yang akhirnya saya jual malam itu juga seharga 200 ribu rupiah kepada si pemilik hajat. Saya senang sekali malam itu. Bukan saja karena uang 200 ribu yang saya terima, tapi karena satu hal yang luar biasa hebat sudah terjadi di salah satu babak permainannya. :)

Saat itu permainan kami mungkin baru berjalan 10-15 menit saja. Hampir sebagian dari kartu gaple itu sudah turun dari tangan-tangan kami para peserta lomba di meja ini. Dan seperti biasa, saya seolah bisa membaca dengan jelas urutan kartu-kartu apa saja yang akan dikeluarkan oleh ketiga lawan yang mengelilingi saya. Saya berpikir waktu itu dengan pasti: permainan di ronde ini akan ditutup dengan kartu Balak 4 yang saat ini sedang saya pegang di antara 4 kartu yang lain, dan masing-masing 3 kartu di pemainan yang lain! Berpura-pura serius, saya teruskan permainannya. Hingga semua kartu akhirnya turun, balak 4 menutup rondenya sesuai perkiraan saya, dan saya memenangkan lagi permainannya.

Ronde berikutnya baru akan dilanjutkan lagi, dan kartu itu sedang dikocok oleh seorang kawan yang lain. Saya termenung sejenak di antara saut-sautan anak kecil yang berlarian di pinggir jalan kampung dan tawa peserta lomba yang lain di meja sebelah. Saya berpikir keras: “saya ragu sekali bahwa saya bisa membaca masa depan. Sepertinya itu sangat konyol!”. Pikiran saya berkecamuk (lumayan) hebat saat itu. Hingga kartu-kartu gaple itu kembali di bagikan, dan saya tersenyum sumringah di tengah rondenya: saya menyadari satu hal besar! Bahwa sebenarnya saya sama sekali tak bisa membaca masa depan! Bahwa mungkin (sepertinya) saya hanya sedikit lebih pandai dari orang lain dalam membaca kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang terbentuk. Hal besar itu terlintas saja saat saya menyadari bahwa saya membutuhkan sedikit keberuntungan untuk memenangkan ronde yang ini. Dan tentu saja, hal itu berbeda sekali dengan kemampuan membaca masa depan! :D

Ya, mungkin sebelum-sebelumnya saya juga sudah pernah menyadari bahwa memenangkan permainan gaple membutuhkan sedikit keberuntungan. Tapi mungkin hal tersebut selalu saja menjadi sangat samar karena kepercayaan diri saya yang berlebih tentang kemampuan membaca masa depan. Ah, bodoh sekali. :)

Dan saya pulang malam itu. Menyimpan baik-baik uang yang saya terima ke bawah tumpukan baju di dalam lemari. Dan sebelum lepas terpejam di atas kasur tipis itu, saya tertawa dalam hati. Menyadari bahwa saya hanyalah manusia normal biasa, adalah hal paling menggembirakan yang pernah saya alami dari dulu hingga malam itu. Berujar sendiri di antara terang lampu tidur berbentuk bola di atas speaker biru itu: “Ah, terima kasih malam ini, kamu bijaksana sekali”, saya belum pernah merasa seterbuka itu. :)

**Sampai sekarang, saya masih suka bermain. Hampir setiap sore sepulang kerja, kadang sampai larut malam
Karawang – Cikarang, 4 Oktober 2014.
*Kalo ga salah, foto ini diambil oleh Yulia Dewi atau Anggraini Nurina. Lupa
**Foto oleh Asep Aripin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar