Selasa, 11 November 2014

Di Pojok Sore (17) : Hujan dan Dinamika Umum Para Pekerja

Musim hujan tiba. Dan kemarin malam, bersama beberapa orang kawan yang baik sekali, kami berteduh dari derasnya serbuan hujan di permulaan musim pada naungan sebuah warung yang cukup luas di pojok jalanan itu. Seperti biasa, kami akan memainkan permainan itu sambil tertawa riang bersama-sama. Di antara hujannya yang semakin deras, saya lihat jalanan di depan sana mulai terendam banjir yang tak seberapa. Melihat air yang menggenang di muka jalan, saya melirik kompleks perkantoran yang besar itu dari jauh. Ah, cantik sekali kantor kami terlihat dari sini. Dengan cahaya kebiruannya bergerak yang lurus, kini berbagai pertanyaan mulai datang kunjungi saya di sebuah kursi papan memanjang menghadap beberapa kawan.

Saat ini, di pertengahan November 2014. Menuju 4 tahun saya bekerja di kantor biru itu. Dan bekerja di lingkungan yang sangat nyaman ini adalah sebuah nikmat yang sepatutnya disyukuri dengan sederhana. Saya suka tempat ini. Saya suka kawan-kawan di sini, saya suka cara atasan-atasan saya bersikap, saya suka cara bekerja kami di kantor ini.

Dan genangan air di muka jalan itu beriak deras saat dilewati sebuah kendaraan yang melaju tak seberapa cepat. Dan di antara rintik hujan yang mulai mereda, juga tawa kawan-kawan di meja panjang ini, saya diam sejenak. Mengingat beberapa cerita yang lewat, saat saya bekerja di satu tempat yang lain. Saya pikir, saya bisa merasa betah dimanapun saya berada, termasuk di sini. Dermakan waktu senin hingga jumat, jam 8 pagi hingga jam 5 sore, pulang dan pergi sehari-hari dari dan menuju ke tempat yang menyenangkan.

Dan bekerja lalu mendapatkan penghasilan yang layak adalah sebuah dimensi yang sedikit rumit sekaligus sederhana, percayalah memang seperti itu. Saya tumbuh, semuanya juga. Saya bisa bertanya tentang pertumbuhan yang dibicarakan para elit, saya bisa bertanya tentang pertumbuhan yang ada di kepala saya sebagai sebuah ide. Sebagai konsekuensinya, sebuah kecocokan mungkin bisa tercapai, tapi bila tidak, maka siapapun tak bisa memaksa. Dan dialog, kabarnya, merupakan salah satu alternatif yang baik sekali. Dan sepertinya saya setuju. Selebihnya dari itu tentu terserah saja, silahkan ditimbang sebaiknya.

Nah, jadi sekarang saya katakan begini. Meski tak semua, sebagian besar dari kita adalah manusia merdeka. Karena bila mau, bahkan membangkang pada Tuhan pun kita bisa. Sedangkan apakah kita mau melakukannya atau tidak? Oh ini jelas pertanyaan yang berbeda. :D

Mungkin kamu berkomentar yang saya tuliskan dari atas sampai bawah ini ga nyambung semua, ahahahaa. Biarin aja, jangan serius-serius, ntar cape. :))))
Cikarang, 11 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar