Sabtu, 02 November 2013

Mustafa

Menjelang adzan isya. Bandung tengah sumringah. Persimpangan Soekarno-Hatta. Saya menunggu angkutan perkotaan berwarna variasi biru dan kuning bertulis Margahayu – Ledeng, setelah seharian menjalani cerita yang lain dengan seorang sahabat baik yang mungkin tengah berjalan pelan menuju rumah dan keluarga kecilnya di rumah itu. Meski tak lama berselang, salah satu angkutan yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang nenghampiri dalam perlahan. Saya pilih duduk di depan, tepat di sebelah pak supirnya yang sedang asik bergerak pelan ikuti irama Owl City nyanyikan lagu "Dental Care" dengan riang di mp3 playernya yang kecil tapi bersuara bagus itu. Saya memandang ke belakang, ternyata hanya ada satu penumpang lain di sana. Kalau saya tebak, penumpang ini sepertinya seorang mahasiswa yang baru saja pulang dari berkunjung ke rumah temannya di daerah Margahayu. Entah benar entah tidak, ah saya tak terlalu mau tahu juga. :D

Saya masih asik sendiri. Mendengarkan lompatan nada-nada yang sangat familiar itu sambil pejamkan mata. Saya masih ingat benar, tepat saat penyanyinya selesai ucapkan penggal lirik “... and have to kiss my smile goodbye”, si supir angkutan ini menyapa, “gapapa kalo ngetem sebentar, A?”. Membuka mata, saya jawab dengan tersenyum, “silahkan, malah nanti saya mau bayar ongkos angkutan ini 2 kali lipat, asal musiknya jangan diganti”. Bapak ini tertawa, dia bicara singkat, “Ah, dasar cowboy”. Kami tertawa bersama setelahnya. Tentunya dia merujuk pada topi koboi coklat tua dan jeans rombeng yang tengah saya kenakan. Saya melihat wajahnya senang, dan menerka kiranya apa yang tengah dia pikirkan saat ini. Hingga akhirnya saya keluarkan sebungkus rokok 234 mag*num yang ternyata tinggal tersisa 3 batang saja. Saya tawarkan padanya, sembari bicara “boleh ambil, tapi harus dinyalakan di sini, temani saya sama-sama”. Dia ambil satu. Lalu kami memulailah sebuah dialog yang baru akan berakhir saat nanti angkutan ini sampai di utara jauh sana.

Namanya Mustafa, 41 tahun. Seorang bapak yang terlihat lebih tua dari umurnya, dengan cambang dan brewok yang pendek-kasar, serta tubuh gendutnya  yang dibalut jaket abu-abu tua. Dia bercerita panjang lebar tentang semua hal yang ingin dia ceritakan. Saya mendengarkan, dan sesekali bertanya singkat agar dia semakin senang bercerita. Mulailah dari setoran angkutan yang tinggi, penghasilannya yang semakin tak bisa mengikuti kebutuhan istri dan anaknya yang tengah duduk di kelas 6 SD, rencana “pensiun” dari dunia supir angkutan awal tahun 2014 nanti, tentang kuliah jurusan teknik di salah satu universitas swasta di Bandung di awal tahun 90 dulu, bisnis mebel bersama pamannya yang tak berjalan baik, jalur lintas timur Sumatra yang biasa membawanya pulang ke rumah orang tuanya di Aceh sana, hingga rencana menjual rumahnya di daerah Cihanjuang untuk dipakai sebagai tambahan modal usaha mengadu peruntungan di daerah Indonesia timur nanti. Saya mengikuti semuanya. Saya dalami ceritanya.

Owl City sudah berhenti bernyanyi sedari tadi. Dan laju angkutannya yang mulai melambat seiring saya yang akan berhenti di depan sana. Saatnya tiba, dan kami berpisah. Saya terbayang di sepanjang jalan menuju kos-kosan sederhana itu lagi, saat tadi saya coba menghiburnya dengan kalimat “nanti juga dapat, Pak. Tenang saja, :)”. Saya mengingat lagi wajahnya dengan gesture tertawa yang sepertinya sudah saya hafal. Kiranya kalimat itu menyenangkan sekali. Saat semua cerita yang dia kisahkan akan menjadi sebuah cerita yang akan coba saya awetkan dalam bentuk tulisan sederhana di blog ini, dan kalimat pendek itu menjadi sebuah kata-kata tersakti yang pernah saya pikir dan ucapkan. Semoga akan selalu membuat teringat, bahwa hidup itu adalah tentang berencana, berusaha dan bersyukur. :)
Bandung, 2 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar