![]() |
Kiri - kanan: Asep Aripin, Wangsa Ismaya, Aditya Zamien, Trilaksana Nugroho, Yogi Nugroho, Guntur Berlian |
Rutin. Seminggu sekali, setiap jumat siang kami akan menuju
ke sini. Sebuah masjid apik di satu komplek perumahan (lumayan) elit, yang saya
pikir tertata sangat rapi, teduh dan bersahabat. Masjid Tropikana. Jarak tempuhnya tak jauh, tak
akan lebih dari 10 menit perjalanan dengan menggunakan mobil pribadi, kami akan
tiba. Biasanya di kisaran jam 11.40, itu adalah sebelum azan dzuhur berkumandang, sebelum khatib naik
ke atas mimbar untuk ingatkan tentang semua hal-hal berbau baik. Untuk kemudian
duduk di antara rindang dua Trembesi besar, dan mulailah kami membuka dialog
tentang apa saja. Tak pernah ada tema khusus. Seperti siang yang tadi. Kami bicara
tentang tema perawatan rumput dan pagar besi, atau cerita saat-saat sebelum ajal
menjemput ibu dari seorang kawan yang ini tujuh hari yang lewat, atau acara
politik di satu stasiun televisi swasta yang tayang tadi malam. Tapi intinya
sepertinya sama saja. Tak ada satupun obrolannya yang sangat serius. Kalaupun ada
yang mulai mengarah, itu tak akan bertahan lama, karena selalu saja ada bagiannya
yang akan membuat cerita itu jadi bahan tertawaan. Dan bila suara khatib terdengar akan menyudahi khotbah
bagian pertamanya, maka salah satu dari kami akan bicara: “udah, masuk dulu!”, dan disusullah oleh sisanya. Selalu seperti itu.
Hingga saat salatnya selesai, kami akan berkumpul lagi di tempat yang sama,
mengobrol lagi barang 10 menit, sebelum akhirnya kembali menuju kantor kami di timur
sana.
Tiup angin dan gaduh beberapa anak-anak SD yang asik bermain
sepeda adalah pemandangan yang biasa. Di sini lah saya biasa Jumatan hampir
tiga tahun belakangan ini. Saya ingat pelataran masjid ini berikut semua suasana
dan muadzinnya yang 2 bulan terakhir
ini sudah berganti orang. Entah kemana yang lama. Saya sebenarnya sedikit
penasaran. Lelaki kecil bermuka teduh yang akan mengumandangkan azan dengan
sangat ringkas. Beberapa kali saya hitung, kumandangnya tak pernah jauh dari satu
menit saja. Saya juga masih mengingat suaranya yang sedikit tergesa di antara
jatuhan dedaun mangga yang menguning serta lenggak-lenggok daun raksasa pisang
kipas di pelatarannya, juga gemericik wudhu yang jatuh di sebelah dalamnya lagi.
Saya merekam. Meski tak terlalu paham juga kenapa, di beberapa tahun ini, saya
tak kunjung berkenalan dengan lelaki berwajah teduh itu. Mungkin minggu-minggu
depan saya akan coba bertanya.
Cikarang, 22 November 2013
*foto oleh Agung Heru Karsono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar