![]() |
Cik Yan Lis, tahun 2008 di rumah kami |
Hahaa, saya membuka pagi ini dengan membaca blog dari
seorang kawan. Sangat bagus. Sangat menarik. Saat dia menyampaikan 1.001
doa-doa bagi putranya di kemudian hari. Ah, senang sekali saya membacanya. Hingga
saya menyadari apa itu doa orang tua. Dan mungkin orang tua saya dulu juga
pernah merapalkan doa serupa kepada saya. Ya, saya berpikir seperti itu.
Ayah saya seorang yang sedikit rumit, lebih banyak
sederhananya. Dia mungkin tak banyak mengenal tokoh-tokoh besar dunia. Di eranya, dia
mungkin lebih banyak mengenal baik orang-orang di sekitarnya saja. Dia dikenal
luwes, sangat humoris, suka berkompromi, meski dibalut dalam bahasanya yang cenderung keras
dan kasar, bahkan untuk standar orang Sumatera sekalipun, heheu. Tapi saya
yakin, dia tak akan diingat sebagai orang yang berbahasa keras dan kasar. Dia
benar tak akan diingat karena bahasanya. Dia akan lebih diingat sebagai orang
yang sederhana yang tak pandai hidup sendiri. :)
Saya masih ingat, waktu itu umur saya pasti tak lebih dari 6
tahun. Saat berdua dengannya di suatu pagi berjalan di sebuah taman yang ada monumen
Pancasila-nya (saya lupa nama tempatnya apa), di kota Palembang, kota para prajurit Melayu pemberani itu. Di sana,
dengan menyewa jasa seorang fotografer jalanan, kami berfoto bersama. Saya kenakan
setelan baju-celana Doraemon berwarna kuning, sedang dia dengan jeans coklat muda dan kemeja
kotak-kotak warna hijau-hitam yang bagian lengannya digunting habis sampai ke bahu. Sudahnya,
kami duduk di sebuah bangku kecil di bawah sebuah pohon dekat seorang bapak
penjaja minuman keliling, membeli sekotak kacang hijau kemasan dan kami mengobrol.
Ah, ingatan saya masih sejelas seolah itu baru kemarin. :) Dia bercerita
tentang sungai Musi yang membelah Sumatera bagian selatan dengan jutaan ikannya yang
gemuk-gemuk, dia bercerita tentang kebiasaan orang Palembang yang sangat menyukai
pempek, dia bercerita tentang saat saya bayi dan kami mandi di hulu aliran sungai
Ogan di suatu perkampungan bernama Negeri Batin itu. Saya tak paham waktu itu, saya
masih 6 tahun, tapi saya ingat.
![]() |
Kami di pelataran monumen Pancasila di Palembang, sepertinya ini di 1991 |
Darinya saya mengetahui bahwa berbuat baik bukanlah dengan mendefinisikan
“siapa”. Salah satu nilai hidup terbesar yang pernah saya pelajari langsung darinya.
Dan masih sangat banyak sebenarnya, rentetan nilai-nilai yang akan saling beririsan,
dan tak akan selesai dengan satu tulisan 15 menit di blog ini saja. Tapi sepertinya
cukup dulu untuk sekarang, lain kali saya akan bercerita lagi tentangnya. Seperti
yang biasa dia ucapkan bila kami sudah terlalu panjang berbicara: "cukup dulu bicaranya, sekarang kita main catur dulu saja". Ya, kami
sangat senang bermain catur memang. Terlebih saat dia berpura-pura tak memperhatikan, dan membiarkan saya memenangkan pertarungannya. Ah, bahagia sekali. :D
Cikarang, 8 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar