Kamis, 07 November 2013

Cik Yan Lis (1)

Cik Yan Lis, tahun 2008 di rumah kami
Hahaa, saya membuka pagi ini dengan membaca blog dari seorang kawan. Sangat bagus. Sangat menarik. Saat dia menyampaikan 1.001 doa-doa bagi putranya di kemudian hari. Ah, senang sekali saya membacanya. Hingga saya menyadari apa itu doa orang tua. Dan mungkin orang tua saya dulu juga pernah merapalkan doa serupa kepada saya. Ya, saya berpikir seperti itu.

Ayah saya seorang yang sedikit rumit, lebih banyak sederhananya. Dia mungkin tak banyak mengenal  tokoh-tokoh besar dunia. Di eranya, dia mungkin lebih banyak mengenal baik orang-orang di sekitarnya saja. Dia dikenal luwes, sangat humoris, suka berkompromi, meski dibalut dalam bahasanya yang cenderung keras dan kasar, bahkan untuk standar orang Sumatera sekalipun, heheu. Tapi saya yakin, dia tak akan diingat sebagai orang yang berbahasa keras dan kasar. Dia benar tak akan diingat karena bahasanya. Dia akan lebih diingat sebagai orang yang sederhana yang tak pandai hidup sendiri. :)

Saya masih ingat, waktu itu umur saya pasti tak lebih dari 6 tahun. Saat berdua dengannya di suatu pagi berjalan di sebuah taman yang ada monumen Pancasila-nya (saya lupa nama tempatnya apa), di kota Palembang, kota para prajurit Melayu pemberani itu. Di sana, dengan menyewa jasa seorang fotografer jalanan, kami berfoto bersama. Saya kenakan setelan baju-celana Doraemon berwarna kuning, sedang dia dengan jeans coklat muda dan kemeja kotak-kotak warna hijau-hitam yang bagian lengannya digunting habis sampai ke bahu. Sudahnya, kami duduk di sebuah bangku kecil di bawah sebuah pohon dekat seorang bapak penjaja minuman keliling, membeli sekotak kacang hijau kemasan dan kami mengobrol. Ah, ingatan saya masih sejelas seolah itu baru kemarin. :) Dia bercerita tentang sungai Musi yang membelah Sumatera bagian selatan dengan jutaan ikannya yang gemuk-gemuk, dia bercerita tentang kebiasaan orang Palembang yang sangat menyukai pempek, dia bercerita tentang saat saya bayi dan kami mandi di hulu aliran sungai Ogan di suatu perkampungan bernama Negeri Batin itu. Saya tak paham waktu itu, saya masih 6 tahun, tapi saya ingat.
Kami di pelataran monumen Pancasila di Palembang, sepertinya ini di 1991
Namanya Cik Yan Lis. Dengan sedikit kerumitan cerita, namanya kini jadi Fakhrudin. Sewaktu muda, bila berkenalan dengan siapapun, dia akan memperkenalkan dirinya dengan nama Guntur, lengkapnya: Guntur Berlian. Dia pikir nama itu keren sekali. Termasuk saat berkenalan dengan seorang gadis bernama Kartini –gadis yang kelaknya akan menjadi ibu dari seorang anak laki-laki bernama Guntur Berlian. Dia bercerita agar nanti saya menggunakan sedikit tenaga saya untuk sesama. Hahaa, saya tak pernah tahu apakah saya benar bisa melakukannya atau tidak. Tapi saya tak pernah merasa terbebani untuk menjadi “Guntur”, dan dia merasa sangat senang saat saya mengungkapkan itu padanya di suatu sore kisaran dua tahun yang lewat. “yo, mano kendak nyo la itu, hahaha” begitu dia menjawabnya. Itu kalimat dalam bahasa daerah kami yang kira-kira artinya: Ya, bukan masalah, biar saja.

Darinya saya mengetahui bahwa berbuat baik bukanlah dengan mendefinisikan “siapa”. Salah satu nilai hidup terbesar yang pernah saya pelajari langsung darinya. Dan masih sangat banyak sebenarnya, rentetan nilai-nilai yang akan saling beririsan, dan tak akan selesai dengan satu tulisan 15 menit di blog ini saja. Tapi sepertinya cukup dulu untuk sekarang, lain kali saya akan bercerita lagi tentangnya. Seperti yang biasa dia ucapkan bila kami sudah terlalu panjang berbicara: "cukup dulu bicaranya, sekarang kita main catur dulu saja". Ya, kami sangat senang bermain catur memang. Terlebih saat dia berpura-pura tak memperhatikan, dan membiarkan saya memenangkan pertarungannya. Ah, bahagia sekali. :D

Cikarang, 8 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar