Jumat, 08 November 2013

Pidi Baiq: Cerita Dilan (2)

Saya menyukai novel ini. Sebuah novel yang sedang ditulis oleh seorang yang saya kagumi. Secara garis besar saya menyukai dari caranya berbahasa. Menurut saya sangat lugas, detail dalam menggambarkan. Ceritanya sangat hidup, karena membacanya membuat saya sedikit banyak mengingatkan saya pada kejadian-kejadian lucu yang saya alami dulu di sekolah. Asik! Novelnya ditulis dalam beberapa babak yang saya pikir seru. Seperti beberapa penggal cerita yang bersambung, dan ditulisnya sedikit-sedikit, tak langsung habis. Membuat saya merasa penasaran dan semakin penasaran. Saya antusias menunggu kelanjutannya.

Tapi entahlah. Lepas dari bagian 30 nya, novel ini saya anggap mengalami penurunan cerita. Saya mengira sepertinya saat mulai menulis bagian 31 itu Kang Pidi Baiq sedang tak dalam mood yang baik. Tapi saya teruskan saja dulu, tetap membaca. Hingga saat ceritanya mulai masuki bagian 47. Hah! Saya pikir penurunan cerita di novel ini mulai memasuki titik terendahnya, dan terus berlangsung. Saat Dilan berkelahi dengan gurunya, Pak Suripto, saat upacara bendera berlangsung. Ah, ini mulai tak masuk akal! :)

Di sekolah dulu, saya juga bukan termasuk siswa yang sangat baik. Saya juga menjalani saat-saat dimana saya sangat menyukai bersikap bandel dan tak mau menurut kepada siapapun, termasuk kepada guru, orang tua, kawan, atau siapapun. Bersama dua kawan yang lain, saya juga pernah dibogem oleh guru BP karena dianggap sudah melewati batas. Tapi kami bertiga diam saja menerima. Kalaupun kami mau menggerutu, paling itu baru bisa kami lakukan nanti sepulang sekolah. Atau beberapa kejadian lain yang sedikit-banyak mirip dengan yang diceritakan di novel ini. :) 

Apalagi saat Dilan di novel itu sampai berucap “aku tidak melawan guru, aku hanya melawan Suripto!”. Ahahaa, saya benar tak percaya ada anak umuran SMA yang bisa berpikir seperti itu. Itu asli tak masuk akal. Saya pikir jadi terlalu melebih-lebihkan. Jadi tak asik. Juga seperti saat sekolah si Dilan diserang oleh segerombolan siswa dari sekolah lain, dan Pak Suripto malah (seolah) memberikan Dilan kepada siswa-siswa sekolah lain itu. Dan beberapa penggal cerita yang lain. Ah! Ceritanya jadi tak hidup, Kang. Ini jadi seperti sinetron!

Saya tak menyebut novel ini menjadi tak bagus. Saya hanya sedang mencoba, dengan kerendahan hati, mengkritik Kang Pidi saja sedikit. Itupun kalo Kang Pidi mau menerimanya, heheu. Dan tetap tak lupa, saya haturkan salam hormat untuk beliau. Wilujeng Enjing, Kang. :)
Cikarang, 9 November 2013

2 komentar:

  1. Hmm... Menurut saya perlawanan Dilan kepada gurunya itu justru salah satu bagian dari pembentukan karakter Dilan itu sendiri. Yang mana Dilan itu bukan kamu, bukan siswa-siswa pada umumnya. Dia khas.. Selain itu saya rasa jika saat Dilan didorong, ditampar dan beliau diam saja seperti yang kamu harap maka pesan yang ingin disampaikan penulis tidak akan tercapai. Ini adalah bentuk perlawanan kesewenangan guru.

    Kamu akan kesulitan menikmati sebuah novel dan film ketika kamu berharap semuanya harus seperti realita. Dan tidak sepenuhnya hal yang tidak masuk akal itu akan menjadi seperti sinetron.. Film terbaik versi imdb (shawsank redemption) pun sejujurnya tidak akan diterima secara akal sehat ketika tokoh utamanya meloloskan diri dari penjara dengan kabur dari dinding. Atau kamu tidak akan menikmati juga pesan moral 3 idiots karena karakter utamanya tidak cukup realistis dalam kehidupan nyata. Beliau berani menentang rektornya, beliau berani berpikir out of the box.

    This is novel..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Riskha.
      Saya pikir ini adalah kisah Kang Pidi dulu, yang berusaha diangkat jadi bentuk novel sekarang. Kalo ga salah sih gitu. :)

      Ya I know it, a novel. :)

      Hapus