Senin, 25 November 2013

Bahagiakan Ibu

Di depan sepiring bakwan dan tahu isi berikut sambalnya yang pedas nan sedap, kami mengobrol berdua. Bersila di atas lembar tikar di suasana yang tak mewah, kami senang saja. Berceritanya macam-macam, tak ada alur, penuh jenaka. Juga hisapan susu-jahe hangat di gelas besar, kami menghirup penghujung sore Cikarang yang cerah. Senang sekali melihat lalu-lalang kendaraan yang entah tengah menuju kemana saja. Ke utara, barat, timur, selatan, tanpa pola yang jelas. Seperti obrolan kami yang ini. Hingga di satu titik, kami bercerita tentang ibu.

Kami berdua sudah tak punya ibu. Itu realitanya. Mungkin untuknya, bahasan ini sedikit lebih berat, karena dia baru beberapa hari ini ditinggal wafat ibunya yang baru 10 hari ini saja. Banyaknya saya hanya mendengarkan, dengan sesekali menambahkan komentar yang sederhana-sederhana saja. Saya suka mendengarnya. Sangat suka malah. Karena dengannya, saya jadi mengingat ibu saya semasa masih hidup dulu. Tapi sengaja, saya tak terlalu fokuskan cerita tadi dengan cerita saya. Saya hanya sedang ingin mendengarkan. Biarkan dia yang bercerita, tentang apa saja yang ingin dia ceritakan.

Membahagiakan ibu semasa hidup. Itu bisa jadi sebuah pertanyaan yang paling mengganggu. Begitu juga kah menurutmu? Heheu. Saya sendiri tak terlalu bisa menjawabnya, sepertinya kawan yang tadi juga begitu. Tapi sepertinya kami sepakat dengan satu hal: bahwa membahagiakan ibumu bukan berbicara tentang materi. Bisakah kau bersepakat dengan ini? Semoga saja bisa. Karena bila tidak, kau tak akan bisa mengikuti apa yang kami bicarakan tadi, meskipun tak harus juga sih. Heheu. Sederhananya begini, (atau rumitnya begini): senang dan bahagia itu sesuatu yang tak berbentuk, hanya sebuah rasa saja sebenarnya. Seperti saat ibumu suka makan duren, maka saat kau membawakannya duren atau sebuah lemari kaca mewah untuknya, maka itu akan jadi sesuatu di luar logika materi. Ini bukan tentang ibumu akan memilih untuk mengambil duren atau mengambil lemari mewahnya. Karena kamu tak bisa memilih rasa untuknya, kamu hanya bisa menciptakan atau menransfernya saja. Ahahaaa, ini saya jadi seperti mengutip kalimat dari mantan pacar saya dulu: ini transfer rasa! Ah tepat sekali. Kiranya itulah kalimat yang lebih tepat untuk bicara rasa senang dan bahagia yang melibatkan orang lain, termasuk ibu. Saya pikir begitu, saya sepenuhnya sepakat. Ini transfer rasa!

Tapi mungkin juga ada banyak orang yang memang menilai bahagia sebagai suatu yang ekuivalen dengan materi. Seperti membahagiakan ibumu dengan (misalnya) uang. Memberikan dia uang yang banyak, hingga ibumu bisa membeli apapun yang diinginkannya. Ya, tapi benarnya saya tak bisa memahami itu. Bukan berarti saya menganggap itu salah, sejauh ini saya hanya tidak berhasil memahaminya. Tapi ya biarkan saja orang lain dengan pikirannya masing-masing mungkin ya, biarkan pikiran mereka sebesar kebebasan berpikir yang kami punya dalam menerjemahkan kalimat “membahagiakan ibu semasa hidup” yang tadi. Bebasss. Bebasss.
Cikarang, 25 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar