Di depan sepiring bakwan dan tahu isi berikut sambalnya yang
pedas nan sedap, kami mengobrol berdua. Bersila di atas lembar tikar di suasana
yang tak mewah, kami senang saja. Berceritanya macam-macam, tak ada alur, penuh
jenaka. Juga hisapan susu-jahe hangat di gelas besar, kami menghirup penghujung
sore Cikarang yang cerah. Senang sekali melihat lalu-lalang kendaraan yang
entah tengah menuju kemana saja. Ke utara, barat, timur, selatan, tanpa pola
yang jelas. Seperti obrolan kami yang ini. Hingga di satu titik, kami bercerita
tentang ibu.
Kami berdua sudah tak punya ibu. Itu realitanya. Mungkin untuknya,
bahasan ini sedikit lebih berat, karena dia baru beberapa hari ini ditinggal
wafat ibunya yang baru 10 hari ini saja. Banyaknya saya hanya mendengarkan,
dengan sesekali menambahkan komentar yang sederhana-sederhana saja. Saya suka
mendengarnya. Sangat suka malah. Karena dengannya, saya jadi mengingat ibu saya
semasa masih hidup dulu. Tapi sengaja, saya tak terlalu fokuskan cerita tadi
dengan cerita saya. Saya hanya sedang ingin mendengarkan. Biarkan dia yang
bercerita, tentang apa saja yang ingin dia ceritakan.
Membahagiakan ibu semasa hidup. Itu bisa jadi sebuah
pertanyaan yang paling mengganggu. Begitu juga kah menurutmu? Heheu. Saya sendiri
tak terlalu bisa menjawabnya, sepertinya kawan yang tadi juga begitu. Tapi sepertinya
kami sepakat dengan satu hal: bahwa membahagiakan ibumu bukan berbicara tentang
materi. Bisakah kau bersepakat dengan ini? Semoga saja bisa. Karena bila tidak,
kau tak akan bisa mengikuti apa yang kami bicarakan tadi, meskipun tak harus
juga sih. Heheu. Sederhananya begini,
(atau rumitnya begini): senang dan bahagia itu sesuatu yang tak berbentuk,
hanya sebuah rasa saja sebenarnya. Seperti saat ibumu suka makan duren, maka
saat kau membawakannya duren atau sebuah lemari kaca mewah untuknya, maka itu akan
jadi sesuatu di luar logika materi. Ini bukan tentang ibumu akan memilih untuk
mengambil duren atau mengambil lemari mewahnya. Karena kamu tak bisa memilih
rasa untuknya, kamu hanya bisa menciptakan atau menransfernya saja. Ahahaaa, ini
saya jadi seperti mengutip kalimat dari mantan pacar saya dulu: ini transfer rasa! Ah
tepat sekali. Kiranya itulah kalimat yang lebih tepat untuk bicara rasa senang dan
bahagia yang melibatkan orang lain, termasuk ibu. Saya pikir begitu, saya sepenuhnya sepakat. Ini transfer rasa!
Tapi mungkin juga ada banyak orang yang memang menilai
bahagia sebagai suatu yang ekuivalen dengan materi. Seperti membahagiakan ibumu
dengan (misalnya) uang. Memberikan dia uang yang banyak, hingga ibumu bisa
membeli apapun yang diinginkannya. Ya, tapi benarnya saya tak bisa memahami
itu. Bukan berarti saya menganggap itu salah, sejauh ini saya hanya tidak
berhasil memahaminya. Tapi ya biarkan saja orang lain dengan pikirannya
masing-masing mungkin ya, biarkan pikiran mereka sebesar kebebasan berpikir
yang kami punya dalam menerjemahkan kalimat “membahagiakan ibu semasa hidup”
yang tadi. Bebasss. Bebasss.
Cikarang, 25 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar