Rabu, 18 Maret 2015

Guru

Siang ini saya jadi teringat sebuah cerita di beberapa minggu yang lewat. Saat itu malam sudah tiba di pertengahan. Berdua dengan seorang kawan yang baik sekali, kami bertukar cerita di antara tiup angin Bandung utara. Ah, sebenarnya malam itu saya lebih banyak mendengarkan. Kawan tersebut sepertinya sedang ingin bercerita banyak hal. Ceritanya juga tentang apa saja, tak ada yang terlalu spesifik. Dan saya merasa sangat tertarik saat dia mulai bercerita tentang kesibukannya akhir-akhir ini: menjadi guru. Lebih tepatnya guru olahraga di sebuah SMP swasta di Sukabumi.

Mulailah dia bercerita dengan antusias tentang bagaimana ragam tingkah pola anak muridnya yang masih belasan tahun itu di suasana kelas. Kadang ceritanya lucu, kadang ceritanya biasa saja, kadang ceritanya membuat saya geleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Terutama tentang bagaimana salah-satu muridnya itu bisa berbuat sekurang ajar dan seterang-terangan itu. Menunjukkan gesture melawan, mengucapkan kata yang tak pantas diucapkan pada seorang guru, hingga maki-makian lewat sebuah kertas ulangan. Saya dibuatnya terperangah. Saya tak habis pikir, bagaimana bisa seorang murid berbuat seperti itu.

Mau tak mau, saya jadi mengingat beberapa cerita tentang masa sekolah saya dulu. Sepertinya saya juga bukan seorang yang sangat disukai oleh guru-guru saya dulu. Mungkin beberapa tamparan dan bogem mentah yang pernah saya terima, cap gila dari seorang guru BP, juga lembaran kertas-kertas beratasnamakan Guntur Berlian di Buku Hitam sekolah adalah bukti yang tak terbantahkan. Tapi rasanya saya tak pernah berani menunjukkan gesture atau bahkan niat untuk terang-terangan melawan. Saya pikir dulu saya melakukan itu semua hanya agar bisa tertawa saja. Jangan tanyakan apakah saya berani melawan mereka atau tidak, karena tentu saja saya akan menjawab: tidak berani. Atau sepertinya akan lebih tepat bila saya menjawab: tidak mau. Saya bisa katakan seperti itu karena di umuran tersebut, rasanya tak ada satupun yang bisa membuat saya takut: saat itu saya sedang beranjak remaja. :)

Atau juga membaca penggal sebuah buku karangan salah satu orang yang saya kagumi. Buku itu berjudul: Dia adalah Dilanku. Salah satu babak di bukunya itu, sang pengarang menulis tentang dia yang berkelahi (dalam arti yang sebenar-benarnya) dengan seorang guru saat upacara bendera. Di babak yang lain, dia juga bercerita tentang gurunya itu menyerahkan dia (Dilan) pada kelompok berandalan sekolah lain untuk dipukuli beramai-ramai. Di bukunya, pengarang bercerita tentang bagaimana super-jahatnya sang guru. Pengarang buku itu bisa saja mengklaim bahwa itu adalah kisah nyata hidupnya. Tapi dengan segala hormat, saya katakan bahwa cerita di buku ini terlalu banyak bumbu. Dan pengarangnya, hmmm, saya pikir dia tak sebaik yang orang-orang pikir. :)

Saya adalah anak bungsu dari seorang guru kesenian di SDN 88 Curup, saya (setidaknya mencoba) menghormati semua guru yang saya temui, saya menimba ilmu di Kampus Para Guru, saya punya banyak sekali kawan berprofesi guru. Tapi bukan pula berarti saya mendewakan sosok guru. Saya punya banyak contoh tentang guru-guru yang tak baik, dan banyak. Tapi sepertinya itu tak mengubah pendapat saya bahwa: guru adalah orang-orang yang sangat pantas untuk dihormati. Terpujilah mereka. Diberkatilah para guru. :)
Cikarang, 18 Maret 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar