Siang ini saya jadi teringat sebuah cerita di beberapa minggu
yang lewat. Saat itu malam sudah tiba di pertengahan. Berdua dengan seorang
kawan yang baik sekali, kami bertukar cerita di antara tiup angin Bandung utara. Ah, sebenarnya malam itu saya lebih
banyak mendengarkan. Kawan tersebut sepertinya sedang ingin bercerita banyak hal. Ceritanya
juga tentang apa saja, tak ada yang terlalu spesifik. Dan saya merasa sangat tertarik
saat dia mulai bercerita tentang kesibukannya akhir-akhir ini: menjadi guru. Lebih
tepatnya guru olahraga di sebuah SMP swasta di Sukabumi.
Mulailah dia bercerita dengan antusias tentang bagaimana ragam tingkah
pola anak muridnya yang masih belasan tahun itu di suasana kelas. Kadang
ceritanya lucu, kadang ceritanya biasa saja, kadang ceritanya membuat saya geleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Terutama tentang bagaimana salah-satu
muridnya itu bisa berbuat sekurang ajar dan seterang-terangan itu. Menunjukkan gesture
melawan, mengucapkan kata yang tak pantas diucapkan pada seorang guru, hingga
maki-makian lewat sebuah kertas ulangan. Saya dibuatnya terperangah. Saya tak habis pikir, bagaimana bisa seorang murid berbuat seperti itu.
Mau tak mau, saya jadi mengingat beberapa cerita tentang
masa sekolah saya dulu. Sepertinya saya juga bukan seorang yang sangat disukai oleh
guru-guru saya dulu. Mungkin beberapa tamparan dan bogem mentah yang pernah saya
terima, cap gila dari seorang guru BP, juga lembaran kertas-kertas beratasnamakan
Guntur Berlian di Buku Hitam sekolah adalah bukti yang tak terbantahkan. Tapi
rasanya saya tak pernah berani menunjukkan gesture
atau bahkan niat untuk terang-terangan melawan. Saya pikir dulu saya melakukan itu
semua hanya agar bisa tertawa saja. Jangan tanyakan apakah saya berani melawan
mereka atau tidak, karena tentu saja saya akan menjawab: tidak berani. Atau sepertinya
akan lebih tepat bila saya menjawab: tidak mau. Saya bisa katakan seperti itu
karena di umuran tersebut, rasanya tak ada satupun yang bisa membuat saya takut:
saat itu saya sedang beranjak remaja. :)
Atau juga membaca penggal sebuah buku karangan salah satu
orang yang saya kagumi. Buku itu berjudul: Dia adalah Dilanku. Salah satu babak
di bukunya itu, sang pengarang menulis tentang dia yang berkelahi (dalam arti
yang sebenar-benarnya) dengan seorang guru saat upacara bendera. Di babak yang
lain, dia juga bercerita tentang gurunya itu menyerahkan dia (Dilan) pada
kelompok berandalan sekolah lain untuk dipukuli beramai-ramai. Di bukunya,
pengarang bercerita tentang bagaimana super-jahatnya sang guru. Pengarang buku
itu bisa saja mengklaim bahwa itu adalah kisah nyata hidupnya. Tapi dengan
segala hormat, saya katakan bahwa cerita di buku ini terlalu banyak bumbu. Dan pengarangnya, hmmm, saya pikir dia tak sebaik yang orang-orang pikir. :)
Saya adalah anak bungsu dari seorang guru kesenian di SDN 88 Curup,
saya (setidaknya mencoba) menghormati semua guru yang saya temui, saya menimba ilmu di
Kampus Para Guru, saya punya banyak sekali kawan berprofesi guru. Tapi bukan pula
berarti saya mendewakan sosok guru. Saya punya banyak contoh tentang guru-guru
yang tak baik, dan banyak. Tapi sepertinya itu tak mengubah pendapat saya
bahwa: guru adalah orang-orang yang sangat pantas untuk dihormati. Terpujilah mereka. Diberkatilah
para guru. :)
Cikarang, 18 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar