Minggu, 28 Juni 2015

Malam di Jababeka (2)

Laju bus Agra Mas jurusan Tangerang-Cikarang ini akhirnya berhenti di sebuah pelataran terminal yang sudah tak lagi ramai. Melirik sebentar, ah, pantas saja, ternyata sekarang sudah jam 11 malam. Turun perlahan meniti tangga bisnya satu-persatu, untuk kemudian teringat untuk mengabari dulu perempuan cantik yang saya kunjungi seharian ini bahwa saya sudah sampai di Cikarang, meskipun saya yakin sekali bahwa saat ini dia sudah jatuh tertidur, :). Mengetik pesannya pelan-pelan di telepon genggam, sambil menyalakan sebatang rokok yang tinggal satu-satunya, tiba-tiba seorang tukang ojeg datang menghampiri menawarkan jasa untuk antarkan kemanapun saya pulang malam ini. Tersenyum sebentar, saya katakan agar dia antarkan saya ke Jalan Kedasih di Pecenongan dengan selembar uang 20 ribu rupiah ini sebagai imbalannya. Dijawabnya singkat tanda setuju.

Saya baru saja duduk, kami masih di pelataran terminal, dan tukang ojeg ini berteriak penuh suka-cita pada kawan-kawannya bahwa akhirnya dia mendapatkan seorang pelanggan. Disambutlah teriakan itu dengan tepuk tangan meriah dan ucapan selamat dari kawan-kawannya di pangkalan ojeg itu. Saya tertawa melihatnya. Hingga tak lama berselang, tukang ojek ini bercerita singkat tentang dia yang belum mendapatkan pelanggan lagi sedari lepas isya tadi. Saya ucapkan selamat padanya sebaik mungkin. Saya bisa rasakan bahwa dia senang atas ucapan selamat itu, heheu. Dan sepertinya saya juga ikut gembira melihatnya.

Ternyata cerita kami berlanjut. Saya tak terlalu tahu ada angin apa kiranya hingga tiba-tiba dia berkata: “zaman semakin canggih, selingkuh juga semakin canggih!”. Bingung harus berkomentar apa, saya sambungkan sedikit: “kenapa bisa kaya gitu, Mang?”. Dan mulailah dia bercerita panjang lebar di atas motor bebek yang dipacu dengan kecepatan sedang. Dia lanjut berkisah bahwa tadi siang dia mengantarkan seorang wanita 40 tahunan yang baru tiba di Cikarang dari Cicalengka Bandung. Dia katakan bahwa wanita tersebut akan mengunjungi seorang kenalannya di daerah Cikarang, kenalan yang baru dikenalnya dari jejaring Facebook. Entah bagaimana si tukang ojek ini merasa yakin sekali bahwa si perempuan tersebut datang untuk mengunjungi selingkuhan barunya. “Sebenarnya gampang A, orang yang terlalu berlebihan ngejaga handphone-nya bahkan dari keluarga terdekatnya tuh patut dicurigai. Apalagi kalau dia punya banyak banget nomer hp. Dia ngebela-belain pulang menempuh waktu 1 jam perjalanan cuma buat ngambil hp-nya yang ketinggalan di rumah. Ah, patut dicurigai”. Saya jadi tertawa panjang gembira di atas motor, sambil katakan: “coba sekarang cari warung kopi yang buka, Mang. Kita ngopi dulu, ngobrol-ngobrol. Bayaran ojeg ini juga ntar saya lebihin”. Dia sepakat.

Dan tibalah kami di sebuah penjaja kopi pinggir jalan di dekat kos-kosan saya. Pesankan 2 gelas kopi hitam, kami lanjutkan pembicaraan tadi. Sembari merekam wajah dan ekspresinya sebisa mungkin, saya mulai bertanya banyak hal. Tentang kampung belakang terminal bernama Kali Jeruk tempat dia lahir, tumbuh, dan beranak pinak hingga hari ini, tentang kisah 22 tahun pengalaman mengojeknya selama ini, tentang Cikarang dan Jababeka dalam kesannya yang pribadi. Saya senang sekali saat dia berkisah tentang dia yang dulu sering mencari kayu tiong –kayu kecil dengan daun berbentuk hati, untuk digunakan sebagai kayu bakar hingga ke daerah Jababeka (lebih tepatnya dia menunjuk daerah depan hotel mewah Grand Zuri Jababeka). Dia sebutkan dulu kayu itu banyak sekali dan tumbuh liar di daerah Jababeka. Hmmm, saya mengira-mengira mungkin yang dimaksudnya itu adalah tumbuhan Bauhinia purpurea. Atau cerita yang lain bahwa sebelum tahun 1992, di Jababeka belum banyak berdiri pabrik-pabrik, dan orang-orang masih buang hajat di empang-empang yang tak mengalir. Atau tentang perumahan Kedasih yang merupakan perumahan pertama yang ada di daerah sini. Dan melihat saya yang menyimak-nyimak saja, di satu titik cerita, dia katakan bahwa dia sedikit ragu tentang apa yang dia katakan sedari tadi, dan dia hanya menyampaikan sebatas pengetahuannya saja. Mendengar pernyataan tersebut, tentu saja saya jadi tertawa. Saya katakan sebaik mungkin padanya: “ah terserah aja mau bener atau ngga, Mang. Walaupun salah juga, ga akan saya laporin ke polisi”. Kami tertawa bersama.

Dan 20 menit adalah waktu yang kami habiskan untuk segelas kopinya. Hingga merasa cukup, saya katakan bahwa sekarang saya harus pulang dulu. Dia sepakat. Menyerahkan beberapa lembar uang sebagai ongkos perjalanan tadi, saya ucapkan semoga rejekinya semakin dimudahkan oleh Tuhan. Dengan senyum lebar mengembang jelas dibawah kumis kasarnya yang pendek dan tubuh gempalnya yang lincah, ditempelkannya uang tadi di keningnya sambil berucap: “Hatur nuhun A”. Kami berpisah.

***
Adalah beberapa sisi yang tak asing dan menyenangkan di balik semua obrolan-obrolan yang mungkin tak bertujuan. Mungkin saja itu mengajakmu untuk lebih tuluslah dalam berlaku, atau mungkin saja itu hanya untuk mengurangi waktu istirahatmu di malam-malam seperti ini, heheu. Ah kawan, mungkin ada baiknya bila kamu tak melulu berhitung tentang laba dan rugi, manfaat dan mudharat, baik dan buruk, di setiap hal yang kau lakukan dalam hidupmu yang singkat ini. :)

Cikarang, dini hari, 29 Juni 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar