Laju bus Agra Mas jurusan Tangerang-Cikarang ini akhirnya
berhenti di sebuah pelataran terminal yang sudah tak lagi ramai. Melirik
sebentar, ah, pantas saja, ternyata sekarang sudah jam 11 malam. Turun perlahan
meniti tangga bisnya satu-persatu, untuk kemudian teringat untuk mengabari dulu
perempuan cantik yang saya kunjungi seharian ini bahwa saya sudah sampai di
Cikarang, meskipun saya yakin sekali bahwa saat ini dia sudah jatuh tertidur,
:). Mengetik pesannya pelan-pelan di telepon genggam, sambil menyalakan
sebatang rokok yang tinggal satu-satunya, tiba-tiba seorang tukang ojeg datang
menghampiri menawarkan jasa untuk antarkan kemanapun saya pulang malam ini.
Tersenyum sebentar, saya katakan agar dia antarkan saya ke Jalan Kedasih di Pecenongan
dengan selembar uang 20 ribu rupiah ini sebagai imbalannya. Dijawabnya singkat tanda setuju.
Saya baru saja duduk, kami masih di pelataran terminal, dan
tukang ojeg ini berteriak penuh suka-cita pada kawan-kawannya bahwa akhirnya
dia mendapatkan seorang pelanggan. Disambutlah teriakan itu dengan tepuk tangan meriah dan ucapan selamat dari kawan-kawannya di pangkalan ojeg itu. Saya
tertawa melihatnya. Hingga tak lama berselang, tukang ojek ini bercerita
singkat tentang dia yang belum mendapatkan pelanggan lagi sedari lepas isya tadi. Saya
ucapkan selamat padanya sebaik mungkin. Saya bisa rasakan bahwa dia senang atas
ucapan selamat itu, heheu. Dan sepertinya saya juga ikut gembira melihatnya.
Ternyata cerita kami berlanjut. Saya tak terlalu tahu ada
angin apa kiranya hingga tiba-tiba dia berkata: “zaman semakin canggih, selingkuh juga semakin canggih!”. Bingung
harus berkomentar apa, saya sambungkan sedikit: “kenapa bisa kaya gitu, Mang?”. Dan mulailah dia bercerita panjang
lebar di atas motor bebek yang dipacu dengan kecepatan sedang. Dia lanjut berkisah
bahwa tadi siang dia mengantarkan seorang wanita 40 tahunan yang baru tiba di
Cikarang dari Cicalengka Bandung. Dia katakan bahwa wanita tersebut akan
mengunjungi seorang kenalannya di daerah Cikarang, kenalan yang baru dikenalnya
dari jejaring Facebook. Entah bagaimana si tukang ojek ini merasa yakin sekali
bahwa si perempuan tersebut datang untuk mengunjungi selingkuhan barunya. “Sebenarnya gampang A, orang yang terlalu
berlebihan ngejaga handphone-nya bahkan dari keluarga terdekatnya tuh patut
dicurigai. Apalagi kalau dia punya banyak banget nomer hp. Dia ngebela-belain
pulang menempuh waktu 1 jam perjalanan cuma buat ngambil hp-nya yang ketinggalan di
rumah. Ah, patut dicurigai”. Saya jadi tertawa panjang gembira di atas motor,
sambil katakan: “coba sekarang cari warung kopi
yang buka, Mang. Kita ngopi dulu, ngobrol-ngobrol. Bayaran ojeg ini juga ntar
saya lebihin”. Dia sepakat.
Dan tibalah kami di sebuah penjaja kopi pinggir jalan di
dekat kos-kosan saya. Pesankan 2 gelas kopi hitam, kami lanjutkan pembicaraan
tadi. Sembari merekam wajah dan ekspresinya sebisa mungkin, saya mulai bertanya
banyak hal. Tentang kampung belakang terminal bernama Kali Jeruk tempat dia
lahir, tumbuh, dan beranak pinak hingga hari ini, tentang kisah 22 tahun
pengalaman mengojeknya selama ini, tentang Cikarang dan Jababeka dalam kesannya
yang pribadi. Saya senang sekali saat dia berkisah tentang dia yang dulu sering
mencari kayu tiong –kayu kecil dengan
daun berbentuk hati, untuk digunakan sebagai kayu bakar hingga ke daerah
Jababeka (lebih tepatnya dia menunjuk daerah depan hotel mewah Grand Zuri
Jababeka). Dia sebutkan dulu kayu itu banyak sekali dan tumbuh liar di daerah
Jababeka. Hmmm, saya mengira-mengira mungkin yang dimaksudnya itu adalah
tumbuhan Bauhinia purpurea. Atau
cerita yang lain bahwa sebelum tahun 1992, di Jababeka belum banyak berdiri pabrik-pabrik, dan orang-orang masih buang hajat di empang-empang yang tak
mengalir. Atau tentang perumahan Kedasih yang merupakan perumahan pertama yang
ada di daerah sini. Dan melihat saya yang menyimak-nyimak saja, di satu titik
cerita, dia katakan bahwa dia sedikit ragu tentang apa yang dia katakan sedari
tadi, dan dia hanya menyampaikan sebatas pengetahuannya saja. Mendengar pernyataan tersebut, tentu saja saya jadi
tertawa. Saya katakan sebaik mungkin padanya: “ah terserah aja mau bener atau ngga, Mang. Walaupun salah juga, ga
akan saya laporin ke polisi”. Kami tertawa bersama.
Dan 20 menit adalah waktu yang kami habiskan untuk segelas
kopinya. Hingga merasa cukup, saya katakan bahwa sekarang saya harus pulang dulu. Dia sepakat. Menyerahkan beberapa lembar uang sebagai ongkos perjalanan
tadi, saya ucapkan semoga rejekinya semakin dimudahkan oleh Tuhan. Dengan
senyum lebar mengembang jelas dibawah kumis kasarnya yang pendek dan tubuh gempalnya
yang lincah, ditempelkannya uang tadi di keningnya sambil berucap: “Hatur nuhun
A”. Kami berpisah.
***
Adalah beberapa sisi yang tak asing dan menyenangkan di
balik semua obrolan-obrolan yang mungkin tak bertujuan. Mungkin saja itu
mengajakmu untuk lebih tuluslah dalam berlaku, atau mungkin saja itu hanya untuk
mengurangi waktu istirahatmu di malam-malam seperti ini, heheu. Ah kawan,
mungkin ada baiknya bila kamu tak melulu berhitung tentang laba dan rugi,
manfaat dan mudharat, baik dan buruk, di setiap hal yang kau lakukan dalam
hidupmu yang singkat ini. :)
Cikarang, dini hari, 29 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar