Rabu, 24 Juni 2015

Malam di Jababeka (1)

Beberapa kenalan sekaligus kawan sehari-hari. Mereka bergembira. Saya juga. :D
Sebenarnya malam masih di awal-awal. Rembulan hampir setengah itu juga baru seperempat saja dari kepala. Dan kami berempat memutuskan untuk menyudahi dulu permainan yang kami mainkan sedari lepas magrib tadi. Saat ini kawan-kawan tersebut sudah lanjut memutuskan pulang ke rumahnya masing-masing untuk menemui keluarga dan kerabat lainnya, setelah lelah seharian bekerja di dalam komplek kantor kami yang biasa. Sedang saya tidak. Saya lebih memilih untuk berdiam dulu sedikit lebih lama di tempat ini. Untuk duduk di atas bangku kayu reot yang sudah tak layak lagi untuk diduduki. Dan di sinilah saya saat ini. Menghirup nafas malam yang panjang, sendokan es kelapa muda yang terkemas rapi di dalam gelas plastik yang besar, di antara derai tawa beberapa kenalan lain yang melanjutkan lagi permainan kami tadi. Kamu tahu, ini adalah beberapa alasan sederhana mengapa saya memutuskan untuk tak pulang dulu: untuk menyaksikan mereka yang bermain dalam tawa selepas lelah bekerja seharian di jalanan.

Hampir setiap sore saya bertemu dengan keempat kenalan ini: seorang pedagang siomay keliling, seorang pedagang minuman dengan gerobak teh botol dan payung besar yang sepertinya tahan segala bentuk cuaca, juga dua orang tukang ojeg yang senang tapi tak sering merokok. Lama saya perhatikan mereka dalam derai tawanya yang riang. Dan saya senang sekali untuk bisa tenggelam di suasana ini. Saya pikir suasana ini menenangkan. Untuk meresapi mereka yang tengah jatuh tenggelam dalam gelak tawa kawan-kawan sepermainannya yang menyatu dengan sinar bulan. Serta diiring lantunan lagu Wayang Sunda yang terlantun sember dari sebuah telpon genggam milik si pedagang minuman, berlombalah dengan degup drum yang dipukul riuh-rendah dalam irama dari dalam komplek kantor kami di dalam sana.

Sesekali saya mencoba ikut dalam obrolannya. Menanyakan sekali-kali bagaimana kabar keluarga mereka di rumah, dan sedang apa kiranya mereka di jam-jam ini. Saya katakan bahwa mereka beruntung untuk memiliki apa yang mereka miliki saat ini. Salah satu dari mereka menjawab sambil tertawa: “hidup orang kecil memang kaya gini, Mas Guntur. Hiburan kami juga sederhana”.  Saya tertawa panjang mendengar jawaban itu, lalu katakan: “sebenarnya sama saja, Mang. Kita semua punya pekerjaan yang kita jalani, malam ini kita berjalan di bawah bulan yang sama, selepas ini kita berjalan pulang menuju keluarga yang menunggu. Gitu kan ya?”. Kami hanya tertawa saja setelahnya, tanpa isyarat setuju, tanpa isyarat apapun, beberapa lagi diam. Begitu saja.

***
Kamu tahu, dialog multi dimensi seperti ini adalah sebuah miniatur kehidupan. Di dalamnya terdapat sebuah singgungan garis-garis melengkung yang menciptakan kehidupan itu sendiri dari awalnya. Bukan hanya dari penjelasan para filsuf terkenal dari zaman Adam hingga sekarang. Dan terang bulan hampir separuh dalam sudut itu, lantun lagu-laguan yang tak jernih dan terdengar jauh, serta hempasan kartu domino yang menghantam lipatan kardus air mineral di bawah bayang lindung mahoni adalah sebuah penjelmaan nyata dari gesekan hukum fisik dan mitologi. Jangan mencari terlalu jauh. :)

Cikarang, awal Ramadhan, 24 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar