Sabtu, 18 Mei 2013

Sungai dalam foto dan memori


Dimulailah dialog ini dengan pertanyaan sederhana yang tiba-tiba melintas saja, “bila kamu menemukan sebuah sungai biasa di salah satu perjalanan rohanimu, apa yang kamu lakukan?”. Pastinya saya akan mencoba mandi di sungai itu, bila mememungkinkan. Berenang cara anak kampung menikmati sungai di desa mereka. Sepertinya itu menyenangkan. :)


(Dan kontan saja, saat ini, ingatan saya terbang melewati waktu belasan tahun yang lewat, menuju satu kampung di kaki Bukit Basa, di jajaran pesawahan luas menguning dan saluran irigasi besar mengular yang di sepanjang sisi kanannya tumbuh tanaman kacang panjang menghijau, yang biasa kami (saya dan kawan-kawan sepermainan kala itu) makan sambil berjalan sepulang menikmati sore. Menyelami airnya yang jernih dan aromanya yang khas, serta pekik gembira kawan sebaya di tengah jelipak air ditimpa matahari sore. Saya masih ingat betul bagaimana rasanya. Senang sekali.)


“Hahaa, airnya dingin, seperti es”, katanya sambung dialog yang tadi. Hmmm, bagi saya tidak masalah, masuk ke dalamnya barang 30 detik sudah hebat, naik lagi dan pakai baju hangat, hangat lagi.
Disambungnya, “wah, itu bukan berenang, cuma tahan-tahanan dingin doank, ngapain juga?”. Saya tertawa, karena sebenarnya berenang dan menahan dingin bukan tujuannya. Merasakan airnya basahi seluruh tubuhmu, sempatkan berpikir sejenak, biar ingat! Lalu naik kalau memang sudah tak tahan lagi, Minum kopi hangat. :D


***
Saya selalu suka menikmati memori. Juga menciptakan memori yang baru saat ini. Saya pikir itu tidak terlalu jauh berbeda dengan melestarikan cerita rakyat turun temurun seperti legenda Empat Petulai di tanah Rejang, kesaktian Sangkuriang di Pasundan, atau heroiknya kisah Si Pitung di masyarakat Betawi. Semuanya hanya tentang mengambil hikmah dari sebuah cerita. Terserah legenda itu benar terjadi atau tidak, siapa peduli! Nikmati saja, belajar dari mereka.
Cikarang, 19 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar