Dimulailah dialog ini dengan pertanyaan
sederhana yang tiba-tiba melintas saja, “bila kamu menemukan sebuah sungai biasa di
salah satu perjalanan rohanimu, apa yang kamu lakukan?”. Pastinya saya akan
mencoba mandi di sungai itu, bila mememungkinkan. Berenang cara anak kampung
menikmati sungai di desa mereka. Sepertinya itu menyenangkan. :)
(Dan kontan saja, saat
ini, ingatan saya terbang melewati waktu belasan tahun yang lewat, menuju satu
kampung di kaki Bukit Basa, di jajaran pesawahan luas menguning dan saluran
irigasi besar mengular yang di sepanjang sisi kanannya tumbuh tanaman kacang panjang menghijau, yang biasa
kami (saya dan kawan-kawan sepermainan kala itu) makan sambil berjalan sepulang
menikmati sore. Menyelami airnya yang jernih dan aromanya yang
khas, serta pekik gembira kawan sebaya di tengah jelipak air ditimpa matahari
sore. Saya masih ingat betul bagaimana rasanya. Senang sekali.)
“Hahaa, airnya dingin, seperti es”, katanya sambung dialog yang tadi. Hmmm, bagi saya tidak masalah, masuk ke
dalamnya barang 30 detik sudah hebat, naik lagi dan pakai baju hangat, hangat lagi.
Disambungnya, “wah, itu bukan
berenang, cuma tahan-tahanan dingin doank, ngapain juga?”. Saya tertawa, karena
sebenarnya berenang dan menahan dingin bukan tujuannya. Merasakan airnya basahi
seluruh tubuhmu, sempatkan berpikir sejenak, biar ingat! Lalu naik kalau memang
sudah tak tahan lagi, Minum kopi hangat. :D
***
Saya selalu suka
menikmati memori. Juga menciptakan memori yang baru saat ini. Saya pikir itu
tidak terlalu jauh berbeda dengan melestarikan cerita rakyat turun temurun seperti
legenda Empat Petulai di tanah Rejang, kesaktian Sangkuriang di Pasundan, atau heroiknya
kisah Si Pitung di masyarakat Betawi. Semuanya hanya tentang mengambil hikmah
dari sebuah cerita. Terserah legenda itu benar terjadi atau tidak, siapa
peduli! Nikmati saja, belajar dari mereka.
Cikarang, 19 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar