Kamu tahu? Ibu saya bernama Kartini. Nama lengkapnya Kartiniwati
binti Abbas. Dan kenalan-kenalannya biasa menyebutnya dengan panggilan singkat:
Kar. Dia adalah seorang gadis –saya lebih suka mengingatnya sebagai seorang
gadis (cerita serupa bisa dilihat di blog ini dalam tulisan Pelukan Sore) –
ramah yang penuh senyum. Wajahnya oval sedikit sendu, hidung kecil-mancung dan
manis sekali saat tertawa. Kulitnya kuning dengan rambut lurus-hitam dan postur tubuh yang tak
terlalu tinggi, mungkin sekitar 160 cm. Hampir semua kenalan lamanya menceritakan
dia sebagai pribadi dengan pesona yang berlimpah. Sedari dulu, dia selalu
memiliki banyak kawan buah dari keluwesannya dalam bersikap dan penampilannya
yang menarik.
Sedikit cerita, saya mendengar sedikit darinya langsung,
bahwa dulu saat masih muda, dia pernah beberapa lama menjadi model di sebuah studio
foto, namanya Salon Photo. Sebuah studio yang terhitung besar dan lumayan terkenal
di daerah itu saat itu –atau mungkin masih sampai sekarang. Saya yakini cerita
itu benar, berdasarkan cerita ayah dan beberapa bukti foto yang dicetak di
studio tersebut. Disebutkannya bahwa dulu foto ibu sering dipajang di barisan
terdepan dari studio tersebut. Ah senang dan bangga sekali saya mendengarnya. Hingga
sekarang, beberapa foto-foto dengan berbagai gaya klasik tersebut masih
tersimpan rapi di album foto milik keluarga kami.
Senyumnya yang terkembang lepas adalah bagian favorit yang
paling saya ingat, baik itu dari foto-foto saat dia masih muda sampai rekaman
video dan gambar dirinya sebelum dia akhirnya pergi di pertengahan 2009. Ah,
menyenangkan sekali mengingat senyumnya itu di antara baris memori dan tatap-kecup-peluknya
di teras rumah. Rasanya hangat, nyaman dan lembut sekali. Satu-satunya tempat
dimana saya bisa merasa sangat terlindungi dari apa dan siapapun. Saya masih
mengingat rasa itu dengan sangat persis, bahkan hingga detik ini saat saya
menuliskan beberapa potong paragraf sederhana ini sekalipun.
***
Dan hari ini, Hari Kartini, saat hampir semua orang di ranah
sosial tengah ramai membahas sosok Kartini sebagai seorang pahlawan nasional,
saya senyum-senyum saja. Bagi saya, Hari Kartini memiliki kesan yang sedikit
pribadi dan emosional. Karena di harinya ini, saya mengingat
Kartini dengan makna yang lebih spesifik. Itu tentang rasa kasih, sorot mata, dan
kelembutan yang sama sekali tak rumit. Sesuatu yang tak bisa habis diterjemahkan
hanya dengan melihat saja, tapi lebih jauh dari itu, mesti dirasakan. Hingga akhirnya berusaha menerjemahkannya
dengan lebih jujur sekaligus menyenangkan. Bahwa dalam konteks yang terbesar dan
tersempit sekalipun, Kartini selalu melambangkan makna perlindungan yang benar-benar
nyata. Bahwa sosok wanita lah yang sebenarnya menjadi tempat berlindung, bahkan
bagi laki-laki terkuat di muka bumi sekalipun. Saya yakin sekali seperti itu.
Selamat Hari Kartini!
Cikarang, 21 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar