Rasanya sudah ratusan
kali saya melewati ruas jalan ini. Dari Bandung ke barat, dari barat ke Bandung. Seperti juga sore ini, saat saya pergi lagi dari kota ini. Di sepanjang jalannya,
yang ada cuma lamunan atau kantuk yang serasa tak tertahan, juga Owl City yang
bernyanyi lewat pasangan ear-phone di
kanan-kiri. Melintas sejauh ini, melihat tegak Tangkuban Parahu dari jauh dan
sudah lewat. Sekarang berganti punggung Burangrang yang tersedia. Saya selalu
berpikir, kenapa gunung yang ini pandai sekali membolak-balikkan hati?
Dua hari yang
lalu, saat melihat punggung ini di kiri jalan, rasanya senang sekali. Seakan diberi tahu
bahwa sebentar lagi akan masuki kota itu, Bandung. Terus begitu, hingga Tangkuban
perlihatkan megahnya dari jauh. “Selamat datang di Bandung!” begitu
kira-kiranya Tangkuban berkata, hahaa. Sedang kini, melihat punggung ini berarti saya pergi lagi. Meski dalam hati saya berucap sendiri, “ah, bukan
masalah, nanti juga saya bisa ke sini lagi”.
Saya pikir, dalam perjalanan
ini, Tangkuban memang selalu seperti lebih menyenangkan. Tapi Burangrang seperti mengajarkan tentang kenyataan. Saya tak akan pernah memilih salah satu dari keduanya. :)
Di perjalanan Bandung-Cikarang
Purbaleunyi, 4 Agustus 2013
bagus!
BalasHapusTerimakasihterimakasih. :D
BalasHapus