Sabtu, 24 Agustus 2013

Dedaun Bungur

3 bungur peneduh berjajar di Taman Pecenongan, tempat yang asik buat mengamati
Setelah menyantap semangkok penuh soto kudus dan telor dadarnya yang meriah, saya berjalan pulang. Dengan menenteng satu botol teh kemasan dingin tadi, berjalan pelan-pelan mencari jalan-jalan teduh, belindung dari panasnya siang Cikarang di awal musim kemarau yang ini. Ah, panas sekali. Menyebrang kini, memasuki sebuah areal taman pemisah jalan yang luas. Rumputnya masih hijau, juga beragam tanaman yang lainpun tak jauh berbeda. Mungkin belum terlalu terpengaruh musim kemarau yang baru saja datang. Dan pikiran saya masih menjelajah entah kemana. Mungkin hanya sebatas tengah menahan suhu panas saja di antara kernyit dahi yang semakin dalam.

Memilih teduh, saya berjalan sedikit jauh. Melewati rindang tiga bungur yang berjejer. Saya berhenti sejenak. Menghirup sejuk dan pemandangan dari sini. Segar sekali. Saya berhenti dulu. Kemudian memutuskan duduk di bawahnya menghadap timur, dengan aliran sungai di hadapan beriak pelan-pelan entah menuju kemana. Mereguk beberapa tegukan teh yang tadi, juga gilir angin dan bias matahari di sela dedaunan bungur di atas sana, saya melihat jauh-jauh. Seperti memulai suatu kontemplasi singkat dalam pejam mata yang sekali-kali. Memandang jutaan potret realita yang pernah terjadi sebelumnya, melihat cerita yang ini di sini. Semuanya seolah berjalan dalam ketika. Dengan mesin pemutarnya yang seperti tengah di puncak sibuknya kini, saya mulai bertanya tentang banyak hal. Saya mulai bertanya tentang semuanya.

Adalah sebuah kerumitan dan kesederhanaan di semua cerita. Mereka tak pernah saling unggul sebenarnya, tapi saya pikir, pikiran sajalah yang memaksa-bentuknya menjadi satu-satu, seolah terlepas, padahal tidak. Seperti memisahkan angin-angin dari udara. Seperti daun-daun bungur yang memilah panas matahari dari lurus cahayanya yang akhirnya tetap saja sampai ke bawah.
Cikarang, 25 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar