Kami di depan warung gubug sederhana itu pagi tadi, setelah 7 tahun absen datang bersama |
Sepertinya ini bermula di pertengahan 2007. Saat itu, saya berencana
mengunjungi suatu tempat atas saran dari seorang dosen pembimbing yang baik. Sebuah saran untuk melakukan riset Tugas Akhir S1 yang akhirnya saya
kerjakan sebaik mungkin, dan diberi judul: Kerapatan dan Distribusi Cacing
Tanah Pontoscolex corethrurus Mull. di
Hutan Jayagiri, Bandung –sebuah hutan seluas 150 hektar yang berbatasan dengan Cikole,
Lembang, Cisarua dan hutan Tangkuban Parahu di sebelah, timur, selatan, barat
dan utaranya. Sebuah hutan wisata dengan dominasi signifikan pohon pinus di
berbagai sudutnya, juga beberapa kelompok eucalyptus dan pepohonan heterogen di
beberapa titiknya yang lain. Dan untuk keperluan riset tersebut, saya mengelilingi
hampir setiap sudut hutannya. Rasanya itu menyenangkan sekali, untuk berulang
kali mendatanginya, mendata berbagai hal yang tak semuanya saya tahu apa
manfaatnya, atau hanya sekedar melepas penat dari kegiatan kampus yang kadang
menjemukan.
Bersama seorang kawan yang baik sekali, dari pagi buta
hingga siangnya yang panas atau bahkan tengah hujan raya, adalah sebuah cerita besar dari kenangan pribadi saya tentang Jayagiri. Seorang kawan yang dulunya tak terlalu saya kenal dengan baik di sepanjang hari-hari yang saya lewati,
baik itu di kelas, di kegiatan himpunan, ataupun yang lain. Tapi satu hal yang
masih saya ingat benar: saat siang atau sore itu dimana saya meminta bantuannya untuk menemani mengerjakan
riset Tugas Akhir di Jayagiri, dan dia mengangguk tanda setuju. Saya senang dan jadi bersemangat
sekali saat itu. :)
Bantuannya itu sepertinya tak akan pernah bisa saya lupakan,
saya mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana saya tidak berkata seperti itu, karena
nyatanya membantu saya di riset ini berarti mendaki-turuni perbukitan dengan
jurang dan tebing yang kadang terlalu terjal, semak belukar yang seolah belum pernah
dilewati siapapun, sungai-sungai kecil yang sedikit misterius, jauh dari
keramaian, berikut mengangkat tanah hasil samplingnya
yang dalam satuan kilogram. Hmm, mungkin kamu tak akan percaya bila saya
katakan bahwa dia tak pernah saya beri imbalan serupiahpun, atau bahkan ongkos dan
makannya di perjalanan inipun kadang dia keluarkan dari uang sakunya sendiri. Satu-satunya hal yang dia dapatkan saat itu adalah rasa lelah. Kamu
percaya? :) Ya, sebaiknya percaya saja, karena memang seperti itu
kenyataannya. Dan sekarang bisa saya katakan seperti ini: “mungkin dia memang tak mendapatkan manfaat nyata apapun dari bantuannya
saat itu, tapi sebenar-benarnya dia mendapatkan rasa hormat dan kekaguman yang
besar sekali dari saya sebagai pribadi”. Dan rasanya saat itu saya mulai mengerti bahwa berbuat baik adalah suatu hal yang sangat mulia. Satu hal yang
benar-benar mulia. :)
Dan pagi ini, di awal Juni yang baik sekali, kami berdua
baru sempat mendatangi lagi tempat dimana kami dulu biasa niagakan pagi dengan
segelas kopi di depan sebuah warung gubug sederhana sebelum mulai bekerja. Tapi
kali ini tidak, kami hanya habiskan paginya dengan meminum kopi, menghisap tutut yang enak sekali, menyantap aneka gorengan di piring kaca,
mendengarkan Dylan bernyanyi, dan obrolan khas kawan lama yang selalu saja berusaha
saling menasehati di selang gelak tawa kami yang sekali-sekali. Itu saja. Hingga
akhirnya hari mulai lebih siang dan pengunjung yang lain mulai berdatangan jadi lebih ramai, kami
memutuskan pulang.
***
Saya sering kali ucapkan: bagi saya, bicara mengenai Jayagiri
tanpa mengingat kawan yang ini adalah sebuah hal yang salah. Dan apakah kamu
tahu, bahwa mengingat kebaikan dari kawan tersebutlah yang menjadi cerita mula
dari keterpesonaan saya pada hutan yang selalu saja terlihat cantik dari sudut manapun ini. Jayagiri.
Terima kasih yang banyak sekali untuk Dicky Rachmansyah. Juga untuk
Lusfikar Sheba. Semoga selalu sehat, Kawan-kawan. Saya doakan. :)
Lembang, 1 Juni 2014
*Foto oleh salah seorang pengunjung yang saya lupa tanyakan namanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar