Pagi yang menyenangkan di awal bulan Maret yang ini. Di kisaran
jam 10 pagi yang cerah dan angin yang bertiup lembut-lembut lewat sebuah
jendela kaca besar dengan tirai gulung yang terangkat setengah di belakang
pintu rumah. Juga tumpukan bantal sofa berwarna coklat muda di sebelah meja tamu,
taplak kecil yang licin dengan warna senada, dan sebuah novel Agatha Christie
berjudul “Murders on the Orient Express” yang tergeletak rapi di atasnya. Pagi ini,
selepas mandi pagi dan segelas es kopi buatan sendiri, saya membaca
buku itu sambil terlentang santai di atas sofa ukuran medium. Berhenti sejenak,
layangkan pandang contemplative melalui jendela yang berdiri tenang dengan
latar belakang mobil dan motor yang sudah dicuci bersih di sehari
sebelumnya, saya benar-benar berpikir bahwa ini adalah hari yang indah.
Tiup angin pagi dari pekarangan kembali menyapa saya untuk
berhenti sejenak dari kisah pembunuhan berencana yang diceritakan di bab ke-5
dari buku itu. Saya pikir lebih baik saya tuliskan saja apa yang saya
pikirkan. Bukan tentang sebuah pemikiran rumit yang biasa
menghantui saya di saat-saat tertentu, tapi hanya tentang pemikiran sederhana tentang
bersyukur. Untuk melihat istri yang saat ini tengah hamil muda dan jatuh
tertidur di ruang istirahat kami di belakang sana, atau aroma masakan yang sedang
disiapkan oleh ibu mertua yang baik sekali, tentang ayah yang saat ini
sepertinya sedang mendaftar di perpustakaan daerah di kota kecil di Bengkulu
sana, atau juga kakak perempuan yang sedang menikmati hari-hari mereka di
Serang sana. Saya jadi teringat tentang penggal percakapan di sebuah film yang
kami (saya dan istri) tonton kemarin malam, yaitu tentang surga itu ada di sini
juga, di dunia tempat kita hidup saat ini. Ah, mungkin memang benar seperti itu,
siapa yang tahu.
Berjalan menuju pekarangan rumah sejenak dengan langkah-langkah ringan, untuk sekedar melihat birunya langit Jakarta di pagi ini serta mendengarkan dialog pedagang sayur keliling
dengan seorang tetangga di depan sana, juga segerombolan kucing milik tetangga yang suka buang
air di pekarangan rumah kami -sepertinya kucing-kucing ini sedang rapat mingguan, atau tentang pekerjaan kantor yang tengah saya jalani
di 6 tahun terakhir ini, saya tersenyum sendiri. Untuk kemudian kembali ke
dalam rumah, menuju kamar istirahat, dan memperhatikan istri yang sepertinya
tengah bermimpi dalam lelapnya yang setenang air. Atau menatap kembali layar
monitor di komputer lipat tentang bahasan perkembangan embrio dari sudut
biologi molekuler yang tengah saya pelajari di awal pagi yang tadi. Setelahnya,
hampiri ibu mertua yang masih saja sibuk dengan mencampur bumbu-bumbu dapur
yang beraneka ragam. Memandang lingkaran tangga besi melingkar di atas pot-pot
tanaman di taman belakang rumah ditimpa cahaya matahari dan riak air kolam
kecil kami yang sederhana tempat 5 ekor ikan koi berenang sebebas mungkin. Menenangkan
sekali.
Perjalanan hidup adalah sebuah misteri. Di dalamnya berisi
kecamuk, ketenangan, kejutan, dan apa saja yang mungkin terjadi. Lingkaran-lingkaran
waktu, ruang, dan kejadian yang bersinggungan dalam interaksi sederhana
sehari-hari, dan sujud yang sekali-kali. Layangkan pandang sekali lagi menuju
jendela yang masih diam tak bergerak, saya pikir hidup adalah tentang menikmati
keadaan. Bersenang-senanglah semesta, dengan jalan yang kalian inginkan, tanpa
paksaan.
Pasar Minggu, 12 Maret 2017
Tulisan ketika sdh tak sendiri lagi
BalasHapus