Malam sudah jauh, dan saya baru melangkah pulang dari
komplek perkantoran kami yang besar. Saya senang-senang saja untuk pulang
selarut ini mengerjakan pekerjaan yang saya sukai. Beberapa kawan berkomentar
dengan candaan bahwa saya bekerja hingga malam untuk mendapatkan reward yang
pantas, atau untuk dipuji oleh atasan. Ahahaa, biasanya saya hanya akan tertawa
mendengarnya. Tak pernah sekalipun saya membantah komentarnya, malah biasanya
saya ikut mengiyakan. Meski sepenuhnya yakin, mereka pasti tahu bahwa saya kurang tertarik dengan hal-hal seperti itu.
Sekarang memutuskan duduk sejenak bersama dua orang pedagang
keliling yang masih mengais rezeki di depan pagar kantor kami, saya buka dialog. Semenit-dua-menit,
di antara gerimis yang turun panjang sekali, dan renungan ini datang. Saya jadi
tertawa sendiri menyadari bahwa sekarang saya tengah sedikit kecewa karena kawan
yang rencananya akan saya tumpangi malam ini ke arah pulang, ternyata sudah pulang
duluan. Tersirat cepat, saya menyadari bahwa sekarang saya menjadi manja sekali. Ah, bodohnya, :p. Lepas tertawa-tawa sendiri, akhirnya saya memutuskan untuk pulang berjalan
kaki. Saya pikir ini adalah sebuah ide yang bagus, untuk berjalan
di bawah gerimis malam yang sepi menuju tempat beristirahat. Jaraknya juga tak jauh, mungkin hanya
dua kilometer-an saja. Dan di antara langkah-langkah kaki yang pendek dan
genangan air yang tersebar di sepanjang jalan, saya jadi teringat saat dimana
saya pertama kali menginjakkan kaki di kota ini.
***
April pertengahan, 2011.
Pagi ini saya ditelpon oleh seseorang dari bagian HRD Dexa Medica. Dia mengabarkan bahwa tiga hari lagi saya diminta untuk interview dengan
calon user di salah satu anak
perusahaan Dexa Medica di Jababeka, Cikarang. Dia juga menambahkan bahwa user tersebut adalah calon atasan saya
di posisi yang saya lamar kemarin-kemarin. Tentu saja saya antusias sekali mendengarnya. Dan setelah
telpon itu ditutup, ternyata semangat saya menjadi sedikit redup karena menyadari uang yang saya miliki saat ini sangat-sangat-lah tipis. Kenyataannya adalah saya bahkan tak punya ongkos untuk pergi ke
Jababeka, heheu. Bertanya-tanya sebentar ke beberapa kenalan yang mengetahui rute perjalanan ke tempat
itu, saya hitung setidaknya saya perlu uang Rp 100.000 agar bisa menemui calon
atasan saya tersebut.
Singkat kata, akhirnya saya mendapatkan uang pinjaman. Saya merasa
beruntung untuk memiliki banyak kawan dan kenalan. Meski ternyata uang pinjaman
itu kurang Rp 10.000 dari yang saya harapkan. Itu adalah jumlah semua uang yang dimiliki oleh kawan
tersebut. Saya masih ingat sekali, saat itu saya katakan padanya: “tenang saja, dengan uang 90 ribu ini, nantinya saya akan
menjadi orang kaya”. Dia aminkan, lanjut disambut dengan tawa kami yang lepas
sekali. Ah, what an amazing moment.
:)
Dan tibalah hari itu. Pagi-pagi, saya sudah berangkat dari
kos-kosan. Naiki bus Damri yang jelek sekali, menuju terminal Leuwi
Panjang di barat jauh. Ongkos Rp 1.500 kontan saya bayarkan pada kernet Damri
yang tangkas menagih ke seluruh penumpang yang ada di dalamnya. Hingga setibanya di terminal, saya segera berburu bis jurusan Bandung-Jababeka. Nah, ongkos bis ini menurut saya mahal sekali, Rp
35.000. Uang pinjaman saya kemarin akan tersedot banyak di bis ini. Sedikit berat
saya serahkan uangnya, hingga dua jam berikutnya saya tiba di sebuah jalanan
besar bernama Niaga Raya, Jababeka.
Turun dari bus itu, seorang tukang ojek menghampiri saya yang sedang berdiri bebas di
bawah lindung mahoni raksasa. Untungnya, ojek tersebut tahu persis lokasi DLBS, anak
perusahan Dexa Medica yang akan saya datangi hari ini. Dan di sepanjang perjalanan di atas
motor bebek itu, saya berusaha berkonsentrasi mengingat jalan mana saja yang saya lewati. Saya harus
mengingat jalannya, karena di jalan pulangnya nanti, saya akan berjalan kaki ke pool bis ini lagi. Budget saya tak cukup
bila harus membayar lagi jasa ojek sebesar Rp 3.000 ini. :p
Tiba di kantor itu, saya bertemu seorang kawan sekelas saya
di kampus dulu yang juga tengah melamar di posisi yang sama. Saat itu dia tengah duduk-duduk manis di atas sofa biru pudar di lobby kantor. Kami mengobrol pendek
dulu sambil menunggu antrian interview-nya. Kabarnya, hari itu akan ada 3 orang pelamar yang di-interview oleh user tersebut. Saat itu saya mendapat
giliran terakhir. Hingga akhirnya giliran saya tiba, saya menemui si user –dia adalah gadis muda dengan terusan batik coklat
muda yang saya ceritakan di tulisan “Rabu Pertama” di Mei 2014 di blog ini.
Selang satu jam, akhirnya interview
itupun selesai.
Perjalanan kembali ke pool
bis itu adalah sesuatu yang mungkin tak akan pernah bisa saya lupakan. Pasalnya saya
berjanji pada kawan sekelas tadi untuk pulang bersama ke Bandung
menggunakan bis jam 12. Saat itu saya terlalu malu untuk mengatakan bahwa saya
tak punya uang untuk ongkos ojek. Jadi saya katakan pada kawan tersebut untuk pergi
duluan ke pool bis, dan saya akan
menyusul. Lepas dia pergi dengan ojeknya dan hilang dari pandangan, sesegera mungkin
saya berlari. Saat itu sudah jam 11.30 lebih, saya hawatir saya tak bisa tiba tepat
waktu bila tidak berlari. Lepaskan sepatu, saya berlari di atas trotoar di
sepanjang jalan menuju tempat kami janji bertemu. Cikarang adalah tempat yang
sangat panas. Dan bisa dibayangkan, di tepat tengah harinya yang cerah, saya
berlari sejauh 2 km tanpa alas kaki dikejar waktu. Dan bila kamu tak terbayang,
saya beritahu saja: itu melelahkan sekali. :D
Dengan keringat bersimbah dan sengal napas yang tak teratur,
saya tiba di pool bis-nya. Kemeja yang
saya kenakan ini sudah basah seperti cucian yang baru akan dijemur, heheu. Lalu
menemui kawan yang tadi, kami bicarakan hasil interview tadi di sepanjang jalan menuju Bandung. Kami saling
mendoakan agar sama-sama diterima di posisi itu.
Bandung adalah kota sejuta cerita. Dia saksikan perjalanan pulang
saya menuju kos-kosan di utara sana, dan sisa uang pinjaman yang akhirnya ludes saya
belanjakan di tukang nasi keliling dalam terminal. Dan detik itu adalah makanan
pertama yang saya telan hari ini. Di pelataran terminal itu saya merasa lega, saya sudah selesaikan interview-nya. Satu hal
lagi: saya lega, saya sudah sampai di rumah. :)
Cikarang, 23.30, 28 Januari 2015
Ah km masih aja malu minta bantuan...pdhal akan banyak sekali teman yg mau bantu kamu... dan bisa membantu tmn itu hal yg menywnangkan partner..bisa jd km ambil kesenangan mereka krn tidak diberi kesempatan membantu..heheheheh
BalasHapusAhahaaa, siapp, Partner. Coba sekarang saya mau minta ditraktirin minum es dulu ke kamu. Es pokat, dua gelas gede. :)))))
HapusKarena orang yang bener-bener lagi butuh biasanya jauh lebih susah buat minta tolong dibandingin sama yang butuhnya setengah-setengah. Saya juga bingung kenapa bisa kaya gitu. :D