Di penghujung sore ini,
di tempat biasa, melihat lagi semua yang biasa. Ditemani matahari sore yang
bersinar dengan senang dan gemilang. Mandi cahaya. Untuk kemudian duduk sendiri
di bawah rimbunan mahoni berteman kopi hitam itu dan giliran orang-orang yang
lewat kesana-kemari. Hoah, meleburkan sore dalam pikiran yang terus berjalan dan
angin-angin yang sesekali datang. Segar sekali.
Rasanya saya sudah
terlalu biasa sendiri. Hingga sore ini, saat datang sendiri pun tak merasa
sedang sendiri. Ah, rasanya begitu saja. Karena sebenarnya saya selalu merasa
mudah mencari kawan bicara. Seperti saat ini, beberapa preman kawasan yang
biasa berbagi lapak di warung kecil ini pun datang dengan ramah mengajak habiskan
sore bersama. Kami berniaga obrolan, apa saja. Satu-satu, hingga azan magrib
yang datang seolah mengajak pulang. Dan merasa cukuplah untuk hari ini.
Awalnya saya tak terlalu
mengerti mengapa saya suka sekali mendengarkan cerita. Cerita apa saja, dari
siapa saja. Hingga akhirnya saya sadar bahwa semua itu seolah bisa membantu saya
mencapai orgasma dalam menjalani cerita sehari-hari. Kadang hanya sepintas
saja, tapi banyaknya saya dengarkan dengan segenap sungguh. Untuk sekedar
melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang yang berbeda. Tak selalu cerita
yang bagus dan menarik memang, toh
sari pati suatu cerita itu tidak melulu berarti seru. Kadang hanya dua penggal
kalimat yang tak sengaja terdengar dari obrolan telpon, kadang cerita
panjang-lebar yang berputar-putar, kadang cerita renungan yang menderu hingga
habis isya, dan banyak.
Mungkin banyak yang
berpikir, untuk apa mendengarkan hal-hal seperti itu, karena kita sendiri pun
sudah terlalu banyak cerita pribadi yang lebih pantas untuk dipikirkan. Tapi
saya pikir bukan begitu. Untuk saya, melihat dan mendengarkan itu seperti
santapan rohani. Untuk dapat melihat sudut cerita yang tak berbatas pada kata
ganti saya, kamu, dia, kami, mereka. Hingga akhirnya hanya terbatas pada satu kata
ganti saja, ya, itu saya. Saya saja.
Cikarang, 24 Juni 2013
ya, betul, saya juga sangat bahagia mendengarkan cerita atau dongeng. Tadi sore nganter Saepul Anwar mengajukan lamaran mengajar ke Al-Irsyad. Pulang lewat sekitaran Pemkot Cimahi baru, lalu didapati ada warung pernak-pernik 'Sunda'; ikat dan semacamnya. Entah, otomatis turun lalu ngawangkong ini-itu, ke sana-ke mari.
BalasHapusBanyak sisi-sisi cerita humanis macam begini, barangkali setiap orang. Cuma jadi pertanyaan buat diri sendiri; kenapa luput ketergerakan untuk menuliskannya macam dikau? Ringan, renyah dalam tapi jernih tak menghimpit.
Tapi benar, sepertinya saudara mesti menceritakan apa itu cerita dengan renyah; hingga kenapa dibutuhkan. Tak tunggu perspektifnya.
Dan mengenai 'Ibing' dan perspektifnya saya cinta; meski kemudian sadar diri jika saya tak akan dan tak perlu seperti Ibing bukan; atau seperti dirimu yang indah dan romantis (menurut citra penangkapanku).
Karena buat apa ada kalian; dan saya menikmati cerita-ceritanya yang meresap dalam diri sebagai milik justru karena bukan.
:)
Iya! Benar seperti itu! Cerita-cerita humanis yang terlalu sayang kalo terlewatkan begitu saja.
BalasHapusKang ibing memang contoh kerennya, seseorang yang bisa bercerita dengan keterbukaan yang super luas, sekaligus membalutnya dalam kesan-kesan humor yang ajaib. Kalo kita, mungkin perlu terus belajar lagi. Memang harus tak seperti beliau, dia terlalu khas untuk bisa ditiru. Tak akan bisa. Tapi kita juga bisa menjadi hebat dengan cara kita sendiri. Contohnya saja: kau bisa menulis kalimat "meresap sebagai milik justru karena bukan". Saya sebenarnya sedikit iri kenapa tak terpikir untuk menulis kalimat seperti itu di tulisan tadi, padahal sangat mewakili apa yang ada dalam pikiran saya, dan dalam lagam yang sangat merdu untuk didengar!
Iya, Sodara, tak perlu menunggu perspektif yang (menurut kita) pas. Karena saya pikir semuanya tetap sama, yang itu-itu juga, cuma kadang kita merasa lebih pas saja, padahal sudah selalu pas dari kemaren-kemaren juga. Seperti purnama 13? Hahaa, ya seperti itu.