Saya pikir, adalah normal bagi seorang lelaki, saat dia berbicara
tentang seorang wanita, maka sebenarnya dia tengah berbicara tentang sosok
ibunya. Meski dengan semua upaya dia berusaha menyangkal, tapi sebenarnya dia
tahu, bahwa yang disebutnya sebagai wanita adalah ibunya. Setidaknya, sejauh
ini, menurut saya begitu. Dan timbul pertanyaan kini: “apakah nanti pemahaman itu akan berubah saat saya sudah memiliki istri
atau anak perempuan? Apakah nanti saya akan menyebut yang dimaksud dengan
wanita adalah istri atau anak perempuan saya?” Pastinya saya tak tahu. Tapi
seandainya saya boleh meminta pada Sang Pembolak-balik Hati, maka sepertinya saya
akan meminta untuk membiarkan saja pemahaman saya seperti itu, jangan diubah.
Semoganya nanti benar bisa begitu.
Saya pikir lagi, hubungan ibu dan anak itu jauh lebih rumit
sekaligus juga jauh lebih sederhana bila dibandingkan dengan hubungan
horizontal yang lain. Bahkan hubungan ayah dan anak sekalipun. Itu seperti
sesuatu yang susah dijelaskan dengan bahasa apapun. Yang mungkin hanya bisa
dirasakan dengan bahasa sorot mata saat sang ibu menatap lekat pada sang anak
yang tengah tertidur pulas di atas kasurnya yang sederhana dan nyaman sekali, dalam
bahasa kecup dan doa-doanya yang panjang dan khas sekali. Seperti sang anak
merasakannya saat dia tengah tertidur pulas, sedang sang ibu merasakannya saat
dia sepenuhnya terjaga. Ya, mungkin seperti itu.
Dan hari ini, yang kalau tak salah katanya adalah hari ibu,
saya mencoba berdiam dulu sejenak. Mencoba merenungkannya dulu barang sebentar,
sebelum mengucapkan selamat hari ibu kepada siapapun. Baru setelahnya, mungkin
akan jadi sangat baik, bila sekarang saya kirimkan sebuah ucapan selamat yang
sederhana saja kepada (Almh) ibu saya di belahan sana. Semoga benar dia bisa
mendengarnya, lalu merasa lebih senanglah dia karenanya. :)
Selamat hari ibu, Bu. Senang-senanglah di sana, saya doakan
dari sini. ;)
Cikarang, 22 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar