Selasa, 03 Desember 2013

Jayagiri: Edisi Berikut

Foto buram di 2007 dulu. Saya tak punya foto yang lebih baru. Tapi bukan masalah lah, tenang saja. :D
Sekarang mari kita berjalan menyusuri sisi timur menuju utaranya yang jauh. Melewati barisan pinus yang bergoyang pelan hingga runcingan di pepucuknya itu. Berjalannya perlahan saja, satu-satu. Dan bila merasa letih, maka sebaiknya kita berhenti dulu, tak perlu diburu-buru. Toh kita tak dikejar waktu. Sedang tujuannya sudah tentu, pasti, untuk menikmati hari. Lalu minumlah barang seteguk dari botol minuman kemasan yang kita bawa tadi. Teguk yang perlahan, supaya nanti segar kembali, ceria lagi. Hmm, kita duduk lagi di lantai hutan, cerita apapun yang kita mau, sambil menikmati gilir angin yang dengan ramahnya datang meniup pelan-pelan kemana saja. Kita bermanja dengan suasananya. Dan saatnya kini kita merasa siap, maka jadilah. Kita susuri lagi tiap langkahnya.

Hutan rawatan ini bukanlah sebuah drama. Maka sebaiknya kita tak perlu membuat drama. Cukup nikmati saja apa yang kita mau, maka cukuplah. Dan bila sempat, ajaklah orang terkasih. Ucapkan kecupmu dalam bahasa yang lembut. Biarkan Jayagiri memperhatikan. Lalu kita dibuat ingat karenanya. Seperti riak sungai kecil yang kita lewati tadi di belakang sana. Mengalirlah dia sepasti-pasti, hantarkan cerita-cerita dari hulunya, hingga nanti bermuara entah kemana saja. Kini biarkan saja semua menanggap sekenanya. Tapi satu yang sepertinya bijaksana: janganlah kau merasa sedih. Karena Jayagiri terlalu megah untuk dijadikan arena sesenggukan sesali semua kejadian di luar rencana.

Lepas berjalan belasan menit, lewati rimbun hutan heterogennya yang semarak oleh rasamala, puspa, kayu putih, herba lain yang teduh, dan akhirnya kita tiba juga di sini. Di sebuah lantai dansa yang luar biasa. Sebuah permadani coklat tua yang terhampar sampai ke kaki langit di arah utara. “Ini apa?”, salah satu dari kita bertanya. Ternyata adalah tumpukan serasah dedaun pinus yang berguguran entah sudah berapa lama. “Ah, masa? Bisa sampai setebal ini?”, begitu pertanyaan lanjutannya bercampur takjub. Ternyata, ya! Tumpukan serasah pinus yang menebal hingga dua puluhanan senti! "Ah, sudahlah", kita menenangkan diri. Dan duduk-terlentang di atasnya adalah seolah lepaskan letih di atas sebuah kasur kamar idaman, empuk! Ah, jadi betah sekali. Maka kita putuskan untuk membuka perbekalan dari ransel kecil yang kita bawa. Di bawah teduh yang ini, kita susun sejenak sebuah kompor parafin sederhana, merebus air. “Kita ngopi dulu!”, kita berucap dalam antusias. Sambil menunggu, kita rebahkan tubuh. Lepaskan mata menuju pepucuk pinus yang membentuk puluhan garis serupa tongkat sihir, gemerlap di ujungnya. Atau terpejam. Mendadak kita merasa seperti diberkati. Tuhan tengah hampiri kita. Di sini!

Jayagiri. Adalah sebuah fenomena alam pikir yang memabukkan, kita pikir. Seperti juta kisah kasmaran yang gemerlapan, tapi tak akan berlebihan. Maka sebaiknya bersenanglah hati, saat mengunjunginya di awal sebuah pagi yang akan selalu kita ingat hingga nanti-nanti. Teringat kelak saat kita jauh, dialah yang memegahkan cerita. Mengajarkan bahwa bahagia itu tak pernah jauh dari arti kata bersyukur. Tak pernah jauh. :)
Cikarang, 3 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar