![]() |
Foto buram di 2007 dulu. Saya tak punya foto yang lebih baru. Tapi bukan masalah lah, tenang saja. :D |
Sekarang mari kita berjalan menyusuri sisi timur menuju utaranya yang jauh. Melewati barisan pinus yang bergoyang pelan hingga runcingan di
pepucuknya itu. Berjalannya perlahan saja, satu-satu. Dan bila merasa letih, maka sebaiknya kita berhenti dulu, tak perlu diburu-buru. Toh
kita tak dikejar waktu. Sedang tujuannya sudah tentu, pasti, untuk menikmati hari. Lalu minumlah barang
seteguk dari botol minuman kemasan yang kita bawa tadi. Teguk yang perlahan, supaya nanti segar kembali, ceria lagi. Hmm, kita duduk lagi di lantai hutan, cerita apapun yang
kita mau, sambil menikmati gilir angin yang dengan ramahnya datang meniup
pelan-pelan kemana saja. Kita bermanja dengan suasananya. Dan saatnya kini kita merasa siap,
maka jadilah. Kita susuri lagi tiap langkahnya.
Hutan rawatan ini bukanlah sebuah drama. Maka sebaiknya kita
tak perlu membuat drama. Cukup nikmati saja apa yang kita mau, maka cukuplah. Dan bila
sempat, ajaklah orang terkasih. Ucapkan kecupmu dalam bahasa yang lembut. Biarkan
Jayagiri memperhatikan. Lalu kita dibuat ingat karenanya. Seperti riak sungai
kecil yang kita lewati tadi di belakang sana. Mengalirlah dia sepasti-pasti,
hantarkan cerita-cerita dari hulunya, hingga nanti bermuara entah kemana saja.
Kini biarkan saja semua menanggap sekenanya. Tapi satu yang sepertinya
bijaksana: janganlah kau merasa sedih. Karena Jayagiri terlalu megah untuk
dijadikan arena sesenggukan sesali semua kejadian di luar rencana.
Lepas berjalan belasan menit, lewati rimbun hutan heterogennya
yang semarak oleh rasamala, puspa, kayu putih, herba lain yang teduh, dan akhirnya kita tiba
juga di sini. Di sebuah lantai dansa yang luar biasa. Sebuah permadani coklat
tua yang terhampar sampai ke kaki langit di arah utara. “Ini apa?”, salah satu
dari kita bertanya. Ternyata adalah tumpukan serasah dedaun pinus yang
berguguran entah sudah berapa lama. “Ah, masa? Bisa sampai setebal ini?”, begitu
pertanyaan lanjutannya bercampur takjub. Ternyata, ya! Tumpukan serasah pinus yang menebal
hingga dua puluhanan senti! "Ah, sudahlah", kita menenangkan diri. Dan duduk-terlentang di atasnya adalah seolah lepaskan letih di atas
sebuah kasur kamar idaman, empuk! Ah, jadi betah sekali. Maka kita
putuskan untuk membuka perbekalan dari ransel kecil yang kita bawa. Di bawah
teduh yang ini, kita susun sejenak sebuah kompor parafin sederhana, merebus air. “Kita ngopi dulu!”, kita berucap dalam
antusias. Sambil menunggu, kita rebahkan tubuh. Lepaskan mata menuju pepucuk
pinus yang membentuk puluhan garis serupa tongkat sihir, gemerlap di ujungnya. Atau terpejam. Mendadak
kita merasa seperti diberkati. Tuhan tengah hampiri kita. Di sini!
Jayagiri. Adalah sebuah fenomena alam pikir yang memabukkan, kita pikir. Seperti
juta kisah kasmaran yang gemerlapan, tapi tak akan berlebihan. Maka sebaiknya
bersenanglah hati, saat mengunjunginya di awal sebuah pagi yang akan selalu kita
ingat hingga nanti-nanti. Teringat kelak saat kita jauh, dialah yang memegahkan
cerita. Mengajarkan bahwa bahagia itu tak pernah jauh dari arti kata bersyukur.
Tak pernah jauh. :)
Cikarang, 3 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar