Ada seorang anak yang menonjol di kelas kami dulu, di sebuah
kelas unggulan sekolah favorit di kota kami, SMP Negeri 1 Curup. Muhammad
Haikal Sedayo namanya. Kami biasa memanggilnya Haikal saja. Saya ingat, si
kidal ini selalu duduk di barisan belakang kelas, tempat para penjahat-penjahat
cilik sekolah biasa duduk. Jumlah kami di kelas ini mungkin sekitar 40 orang, saya
lupa persisnya. Tapi saya pikir, secara tak formal, anak-anak di kelas unggulan
inipun bisa dibagi lagi menjadi beberapa kelompok: yang lebih pintar, yang
sedang, dan yang sedikit bodoh. Dengan besar hati, saya berani mengakui bahwa
saya ada di kelompok yang sedikit bodoh. Sedang Haikal, saya pikir dia termasuk
di kelompok yang sedang. Saya pikir begitu.
Ya, saya sebut dia adalah seorang yang menonjol di kelas
unggulan kami tadi, tapi bukan karena dia sangat pintar. Di mata saya dan kawan-kawan
dekat saya dulu, dia adalah seorang yang berbeda dari kebanyakan anak di kelas
ini. Kami pikir, Haikal dan beberapa kawan dekatnya dulu sedikit aneh. Mereka seperti
sedikit lebih cepat “dewasa” dibanding kami. Mereka sudah lebih senang berbicara
tentang “cewe kecengan”nya, sedang kami saat itu belum terlalu banyak berpikir tentang hal-hal semacam itu. Selain
itu, mereka juga nakal. Mereka sering berkelahi. Beberapa kali kami mendengar
bahwa Haikal dan kawan-kawannya berkelahi, baik di dalam ataupun di luar sekolah. Waktu itu, kami tak pernah terlalu
mau tahu apa penyebab perkelahiannya itu. Kami lebih tertarik untuk membicarakan hasil
pertandingan klub-klub sepakbola serie-A Italia, bicara makanan kantin yang enak, guru
yang menyebalkan, dan lain-lain, tapi tidak tentang cewe atau perkelahian. Dulu
kebanyakan kami menganggap itu adalah hal yang aneh.
Tapi yang menarik adalah dia tak pernah mencari perkara di
dalam kelas. Dia tak pernah bersikap menyebalkan kepada kami. Dia bukan tipe
orang yang suka petantang-petenteng di depan orang yang lebih “tak berdaya” dibanding dia. Selain itu, dia
juga selalu mau bila kami mengajaknya bermain bola di lapangan sepulang sekolah. Malah, sekali-kali
dia juga pernah membantu kami. Saya masih ingat betul waktu itu saya dan seorang
kawan sebangku pernah dimarahi oleh seorang guru fisika. Saya dan kawan
sebangku tersebut dihukum mengerjakan soal fisika di papan tulis. Dan tentu
saja kami tak bisa mengerjakan soal tersebut. Jadi waktu itu kami hanya diam saja mematung
di depan kelas sambil mengotrat-otret tak jelas di papan tulis itu. Dan saat guru fisika tersebut pergi sebentar dari ruang kelas,
tiba-tiba Haikal maju ke depan dan memberikan kami jawabannya di secarik
kertas. Saya ingat sekali kejadian itu. Tapi anehnya, entah kenapa, kami tetap
tak menyukai Haikal. Kami tetap berpikir dia adalah anak kriminal yang terlalu
banyak bicara tentang cewe dan perkelahian.
Di suatu hari, kalau tak salah dekat ujian kelulusan SMP,
kami mendengar kabar bahwa Haikal tengah dirawat di rumah sakit, dan tak bisa ikut
sekolah dulu. Kabarnya, kemarin malam dia ikut tawuran, dan tangan kirinya terkena
bacokan pedang karena menghindari sabetan yang mengarah ke kepalanya, kabarnya
begitu. Sehingga untuk beberapa lama dia tak bisa masuk sekolah untuk menjalani perawatan
di rumah sakit dulu. Dan saat dia sudah masuk sekolah, dengan perban yang masih
melekat di tangan kirinya, dia terpaksa menulis dengan tangan kanannya. Bayangkan saja,
tulisannya saat menulis normal dengan tangan kirinya saja sudah sangat jelek, apalagi
waktu itu dia menulis dengan tangan kanan, ah jelek sekali, seperti bekas cakaran
ayam di tanah basah. Tapi seingat saya, dia masih menulis dengan tangan kanan
saat ujian kelulusan SMP itu berlangsung.
Hingga saat kami lulus dari sekolah itu, kami tetap tak
terlalu menyukai si kidal ini. Alasannya sederhana: karena dia tak terlalu
mirip dengan kebanyakan kami, dia suka berkelahi!!
Cikarang, 27 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar