Jumat, 27 Desember 2013

Muhammad Haikal Sedayo (1)

Ada seorang anak yang menonjol di kelas kami dulu, di sebuah kelas unggulan sekolah favorit di kota kami, SMP Negeri 1 Curup. Muhammad Haikal Sedayo namanya. Kami biasa memanggilnya Haikal saja. Saya ingat, si kidal ini selalu duduk di barisan belakang kelas, tempat para penjahat-penjahat cilik sekolah biasa duduk. Jumlah kami di kelas ini mungkin sekitar 40 orang, saya lupa persisnya. Tapi saya pikir, secara tak formal, anak-anak di kelas unggulan inipun bisa dibagi lagi menjadi beberapa kelompok: yang lebih pintar, yang sedang, dan yang sedikit bodoh. Dengan besar hati, saya berani mengakui bahwa saya ada di kelompok yang sedikit bodoh. Sedang Haikal, saya pikir dia termasuk di kelompok yang sedang. Saya pikir begitu.

Ya, saya sebut dia adalah seorang yang menonjol di kelas unggulan kami tadi, tapi bukan karena dia sangat pintar. Di mata saya dan kawan-kawan dekat saya dulu, dia adalah seorang yang berbeda dari kebanyakan anak di kelas ini. Kami pikir, Haikal dan beberapa kawan dekatnya dulu sedikit aneh. Mereka seperti sedikit lebih cepat “dewasa” dibanding kami. Mereka sudah lebih senang berbicara tentang “cewe kecengan”nya, sedang kami saat itu belum terlalu banyak berpikir tentang hal-hal semacam itu. Selain itu, mereka juga nakal. Mereka sering berkelahi. Beberapa kali kami mendengar bahwa Haikal dan kawan-kawannya berkelahi, baik di dalam ataupun di luar sekolah. Waktu itu, kami tak pernah terlalu mau tahu apa penyebab perkelahiannya itu. Kami lebih tertarik untuk membicarakan hasil pertandingan klub-klub sepakbola serie-A Italia, bicara makanan kantin yang enak, guru yang menyebalkan, dan lain-lain, tapi tidak tentang cewe atau perkelahian. Dulu kebanyakan kami menganggap itu adalah hal yang aneh.

Tapi yang menarik adalah dia tak pernah mencari perkara di dalam kelas. Dia tak pernah bersikap menyebalkan kepada kami. Dia bukan tipe orang yang suka petantang-petenteng di depan orang yang lebih “tak berdaya” dibanding dia. Selain itu, dia juga selalu mau bila kami mengajaknya bermain bola di lapangan sepulang sekolah. Malah, sekali-kali dia juga pernah membantu kami. Saya masih ingat betul waktu itu saya dan seorang kawan sebangku pernah dimarahi oleh seorang guru fisika. Saya dan kawan sebangku tersebut dihukum mengerjakan soal fisika di papan tulis. Dan tentu saja kami tak bisa mengerjakan soal tersebut. Jadi waktu itu kami hanya diam saja mematung di depan kelas sambil mengotrat-otret tak jelas di papan tulis itu. Dan saat guru fisika tersebut pergi sebentar dari ruang kelas, tiba-tiba Haikal maju ke depan dan memberikan kami jawabannya di secarik kertas. Saya ingat sekali kejadian itu. Tapi anehnya, entah kenapa, kami tetap tak menyukai Haikal. Kami tetap berpikir dia adalah anak kriminal yang terlalu banyak bicara tentang cewe dan perkelahian.

Di suatu hari, kalau tak salah dekat ujian kelulusan SMP, kami mendengar kabar bahwa Haikal tengah dirawat di rumah sakit, dan tak bisa ikut sekolah dulu. Kabarnya, kemarin malam dia ikut tawuran, dan tangan kirinya terkena bacokan pedang karena menghindari sabetan yang mengarah ke kepalanya, kabarnya begitu. Sehingga untuk beberapa lama dia tak bisa masuk sekolah untuk menjalani perawatan di rumah sakit dulu. Dan saat dia sudah masuk sekolah, dengan perban yang masih melekat di tangan kirinya, dia terpaksa menulis dengan tangan kanannya. Bayangkan saja, tulisannya saat menulis normal dengan tangan kirinya saja sudah sangat jelek, apalagi waktu itu dia menulis dengan tangan kanan, ah jelek sekali, seperti bekas cakaran ayam di tanah basah. Tapi seingat saya, dia masih menulis dengan tangan kanan saat ujian kelulusan SMP itu berlangsung.

Hingga saat kami lulus dari sekolah itu, kami tetap tak terlalu menyukai si kidal ini. Alasannya sederhana: karena dia tak terlalu mirip dengan kebanyakan kami, dia suka berkelahi!!
Cikarang, 27 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar