 |
Yudi Apiko. Foto ini diambil dari FB nya yang sepertinya sudah tak aktif lagi. Saya benar tak butuh izin untuk menggunakan foto ini. Dia pasti membolehkan. Pasti! :) |
Malam ini saya sedang mendengarkan lagu berjudul “Reuni”. Sebuah
lagu yang baru pertama kali ini saya dengar. Salah satu dari Album terbaru grup band
beraliran SKA yang sangat saya gandrungi dulu, Tipe-X. Mendengarnya, ingatan
saya melayang kembali ke saat-saat itu, menuju seorang kawan lama yang
sangat baik. Salah satu sahabat terbaik yang pernah saya jumpai. Kami senang
sekali mendengarkan lagu-lagu dari grup band ini, benar-benar suka. Kini jadi
teringat penggal cerita saat-saat pertama kami saling mengenal dulu, beberapa belas
tahun yang lewat.
***
Hari itu senin pagi, di pertengahan tahun 2000, hari pertama
saya masuk sekolah menengah atas. Di saat upacara pertama saya di sekolah itu, dan mendengar pengumuman yang menyebutkan bahwa
saya akan menjadi bagian dari kelas 1-7. Lepas upacaranya, saya berjalanlah
menuju salah satu kelas di salah satu pojok sekolah tua itu. Saya masuki kelasnya, tak
banyak yang saya kenal. Memilih kursi sendiri, saya duduk di salah satu
bangku di baris tengah sayap kanan kelas. Suasana kelasnya gaduh. Sangat gaduh. Di sana, saya melihat beberapa anak laki-laki bermuka berandal sedang duduk di atas kursi dan meja
seolah mereka adalah raja-diraja penguasa darat-lautan, berkumpul, entah sedang obrolkan apa.
Sekitar pukul 8 pagi, akhirnya seorang guru bermuka teduh masuk ke kelas itu, wali kelas kami. Beliau
berikan pengarahan singkat tentang pengenalan kelas dan sekolah ini berikut
tata-tertib yang wajib kami patuhi. Sedang beberapa anak berandal yang duduk di daerah belakang itu
tetap saja gaduh tak henti. Saya sangat tak suka melihatnya. Hingga selang beberapa
menit-jam waktu berjalan, dan mereka tetap seperti itu. Saya tak tahan lagi. Membentak,
saya palingkan wajah ke arah mereka sambil berucap kasar dengan mata
dipelototkan. “Hei, diam!!!”. Mereka terdiam, terkejut. Dengan mata merah
menyala, mereka seperti menahan amarah untuk balas menghardik. Tapi tak berani apa-apa
karena guru kami masih ada di situ.
Kelas dilanjutkan, dan ternyata saya terpilih masuk ke kelas
unggulan. Itu artinya saya akan pindah ke kelas 1-1. Meninggalkan kelas yang penuh dengan anak-anak
semrawut bermuka kriminal itu. Saya senang bukan kepalang. Saya benar-benar sangat
tak menyukai anak-anak ini. Apalagi satu orang yang sepertinya menjadi bosnya
itu. Dari presensi tadi, saya tahu, namanya adalah Yudi Apiko. Huah, saya
sangat tak suka melihat alis tebal dan muka kriminalnya itu. Yang syukurnya, saat
itu juga, saya dipersilahkan pindah kelas. Dengan langkah yang pasti dan penuh
kelegaan, karena tak harus berlama-lama melihat si muka penjahat itu mengacaukan
kelas, saya melangkah keluar menyandang tas ransel berikut dua buku tulis yang ditenteng ringan.
Belajar di kelas unggulan sangat menyenangkan. Suasananya asik,
jauh lebih tenang. Di kelas ini, wajah anak-anaknya lebih bersahabat dan
berseri-seri penuh energi positif. Selain itu, saya sudah mengenal sebagian
besar anak-anak yang ada di kelas ini, sebagian besarnya perempuan, laki-lakinya hanya belasan saja. Sebagian besar dari mereka adalah
kawan-kawan SMP saya dulu. Ya, karena kami kami berasal dari SMP favorit di
kota itu, maka tak aneh di kelas unggulan SMA ini jadi lebih didominasi oleh kami-kami
lagi. Saya merasa jauh lebih nyaman di sini, jauh lebih tentram.
Waktu menunjukkan jam 09.30 seiring bel sekolah yang mirip
seperti lagu penjual es krim keliling itu berbunyi. Waktu istirahat tiba. Beberapa
anak-anak kelas ini pergi ke luar kelas, sedang saya tidak. Saya sedang ingin
berada di dalam kelas saja, bercengkrama dengan kawan-kawan sekelas, mengobrol
sana-sini.
Tak lama, terdengar sedikit kegaduhan di luar kelas. Ternyata
anak-anak berandalan dari kelas 1-7 itu sudah ramai di halaman depan kelas kami. Saya melihat
si bos penjahat itu tengah petantang-petenteng memimpin kawan-kawannya yang lain. Saya
tetap saja diam di dalam kelas. Saya mendengar samar-samar dari teriakan gaduh
di luar sana bahwa mereka datang untuk mencari saya. Mungkin mereka datang
untuk membuat perhitungan atas bentakan saya tadi pagi. Mereka tak suka. Sama! Saya
juga tak suka!
Jujur, di dalam hati, saya sedikit takut juga waktu itu. Anggota
mereka ramai sekali. Sepertinya si bandit kecil itu memiliki banyak pengikut. Saya
tetap diam saja di dalam kelas sebentar, sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan ke luar kelas, mau menanyakan apa yang mereka inginkan dari saya. Yang sayangnya, saya
tak bisa berharap banyak dari kawan-kawan di kelas unggulan ini untuk menolong
saya. Mereka anak-anak baik-rumahan semua. Saya pasrah saja. Keluar kelas
menjemput para berandal kecil itu, dengan niat agar tak terlihat pengecut,
itu saja.
Yang akhirnya datanglah seorang kawan yang juga salah satu murid dari kelas
unggulan ini, berani datang melerai. Ya, si kidal ini adalah sebuah pengecualian dari
stereotype kelas unggulan. Dia memang sudah nakal dari dulu. Namanya Muhammad Haikal
Sedayo, Haikal panggilannya. Saya sudah mengenalnya dari SMP, kami sudah
sekelas di SMP selama 2 tahun. Meski dulu saya tak pernah terlalu dekat
dengannya. Saat itu, dia sepertinya baru tiba dari kantin di belakang kelas. Dia datang
untuk menahan para berandalan tadi yang semakin bersemangat karena melihat saya
tengah berjalan keluar kelas untuk memenuhi panggilan mereka.
Syukurnya, ternyata Haikal mengenal mereka, juga mengenal
Yudi. Setelah mereka bernegosiasi selama beberapa menit, akhirnya Yudi dan kawan-kawannya mau mengurungkan niatnya untuk memberi saya pelajaran, mereka pergi. Saya
sangat lega waktu itu. Dalam hati saya sangat berterima kasih kepada kawan yang
sebenarnya tak terlalu saya sukai di SMP dulu ini. Haikal.
Semenjak saat itu, saya mulai dekat si kidal ini. Haikal
juga mengenalkan saya pada Yudi. Yudi lanjut mengenalkan saya pada teman-teman
berandalnya yang lain. Saya dan Yudi menjadi lebih dekat setelahnya. Tak dinyana, ternyata Yudi
adalah kawan yang sangat menyenangkan. Hingga akhirnya kami menjadi kawan yang
susah dipisahkan. Ya. Sejak saat itu, anak
ternakal di sekolah kami ini menjadi salah satu sahabat terdekat saya. Dari dulu, bahkan sampai sekarang. Ribuan kisah senang-bodoh-drama-marah
kami buat di rentang waktu itu. Kami berjalan layaknya kawan terdekat.
***
Dan saat malam ini Tipe-X bernyanyi: “berkumpul lagi bersama
kawan lama/ berbagi suka dan duka bersama-sama/ mengenang masa-masa yang indah
dahulu/ sewaktu kita masih bersama// Masih adakah rasa rindu di hatimu/ menanti
saat kita kan bertemu?”. Ah, jujur, saya jadi sedikit sentimentil dibuatnya.
Saya merindukan berjuta aksi dan obrolan dengan berandal kecil bermuka kriminal
itu. Dialah salah satu sahabat terbaik yang pernah saya kenal. Think I miss u, man! Semoga
baik-baik saja kamu di sana. :)
Cikarang, 26 November 2013